<p>Staf khusus presiden
Staf khusus presiden bidang hukum, Denny Indrayana, mendesak DPR segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Molornya pembahasan dinilai akan berdampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. "Tidak ada pilihan selain mengegolkan rancangan ini," katanya dalam diskusi di gedung Dewan Perwakilan Daerah, Jakarta, kemarin.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, seperti diamanatkan dalam keputusan Mahkamah Konstitusi pada 19 Desember 2006, harus selesai pada 19 Desember 2009. Jika hingga tenggat tersebut pembahasan belum selesai, kata Denny, Komisi Pemberantasan Korupsi akan kehilangan fungsi penindakan dan hanya bisa melakukan fungsi pencegahan. "KPK akan kena stroke," kata Denny.
Selain itu, Denny melanjutkan, jika pembahasan tak selesai hingga 19 Desember, keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi akan kehilangan payung hukum. Padahal, tanpa pengadilan tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi akan lumpuh.
Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption, Watch Emerson Yuntho, mengatakan kinerja pengadilan umum dalam pemberantasan korupsi masih jauh di bawah pengadilan tindak pidana korupsi. ICW mencatat, dari 444 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan umum sepanjang 2008, hanya 167 yang divonis bersalah. "Sebanyak 62,38 persen bebas," kata Emerson.
Selain berkinerja buruk dalam memutus perkara korupsi, kata Emerson, keputusan yang diambil pengadilan umum dalam perkara korupsi tak menimbulkan efek jera. Ia menyebutkan, vonis penjara yang diberikan oleh pengadilan umum kepada pelaku korupsi rata-rata hanya 5,82 bulan penjara.
Kinerja pengadilan umum tersebut berbanding terbalik dengan pengadilan tindak pidana korupsi. Dari sedikitnya 92 terdakwa yang diadili dalam pengadilan tindak pidana korupsi pada 2005-2008, kata Emerson, tak satu pun divonis bebas. Vonis yang dijatuhkan juga dinilai memberi efek jera. "Rata-rata 4 tahun 2 bulan penjara," kata Emerson.
Dia menilai, lambatnya pembahasan rancangan ini karena adanya konflik kepentingan antara anggota DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia mengingatkan soal delapan anggota Dewan yang dijerat kasus korupsi oleh Komisi. "DPR ingin membunuh secara perlahan KPK dan pengadilan tindak pidana korupsi," kata Emerson.Dwi Riyanto Agustiar
Sumber: Koran Tempo, 16 Januari 2009