Suap dalam Hukum Positif dan Fikih
Di tengah derasnya wacana suap-menyuap terkait tertangkap tangan jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), saya tertarik untuk ikut urun rembuk.
Di tengah derasnya wacana suap-menyuap terkait tertangkap tangan jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), saya tertarik untuk ikut urun rembuk.
Bukan bermaksud memberikan tanggapan atas penanganannya, tetapi lebih pada seberapa jauh peraturan perundang-undangan mendefinisikan masalah suap dan seberapa jauh pula budaya suap merambah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dalam praktik sehari-hari, suap-menyuap sudah begitu menyebar ke berbagai sendi kehidupan. Suap-menyuap tidak hanya dilakukan rakyat kepada pejabat negara (pegawai negeri) dan para penegak hukum, tetapi juga terjadi sebaliknya. Pihak penguasa atau calon penguasa tidak jarang melakukan sedekah politik (suap) kepada tokoh-tokoh masyarakat dan rakyat agar memilihnya, mendukung keputusan politik, dan kebijakan-kebijakannya.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada), pilgub, dan pilpres, seorang kandidat di samping harus menyetor uang (suap) ke partai politik agar mendapat rekomendasi, juga melakukan money politics kepada rakyat agar mau memilih atau mengubah pilihannya demi meraih kemenangan.
Luasnya medan kehidupan yang bisa diselesaikan dengan suap, maka dalam tradisi Jawa uangkapan jer basuki mawa bea (segala sesuatu butuh ongkos) kini diubah menjadi jer basuki mawa suap. Ongkos saja tidak cukup, butuh anggaran tambahan (suap) kalau ingin sukses.
Hukum Positif dan Fikih
Dalam hukum positif pembahasan tentang suap dan ratifikasi selalu dikaitkan antara pemberian dan janji kepada pegawai negeri. Hal ini bisa kita lihat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31/1999 jo UU No 20/2001, suap didefinisikan setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi Memahami untuk Membasmi yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Sedangkan dalam fikih, suap atau risywah cakupannya lebih luas. Sebagaimana dikatakan Ali ibn Muhammad Al Jarjuni dalam kitab Ta