Suap Rp 200 Juta Diduga Permintaan Hakim Imas
Uang Rp 200 juta dari Manajer Administrasi PT Onamba Indonesia Odi Juanda diduga atas permintaan hakim Imas Dianasari. Menurut Syafruddin Lubis, pengacara Odi, kliennya memberikan uang itu setelah hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial tersebut menyatakan bahwa rekannya di Mahkamah Agung sudah meminta uang. "Pada siang hari Odi mengambil duit itu dari bank dan diserahkan ke Imas pada malam harinya," ujar Syafruddin di Komisi Pemberantasan Korupsi kemarin.
Dia menyatakan uang yang diberikan Odi kepada Imas berasal dari perusahaan dan diketahui pemimpinnya. Namun, menurut Syafruddin, pemimpin PT Onamba yang berwarga negara Jepang itu tidak mengetahui penggunaan uang tersebut. "Dia hanya bertanya,'Apa memang di Indonesia semuanya harus dengan duit?'," ujarnya.
KPK menangkap Imas dan Odi di rumah makan La Ponyo, kawasan Cibiru, Jawa Barat, pada Kamis lalu. Saat mereka ditangkap, ada duit Rp 200 juta yang diduga kuat uang suap. Berdasarkan penyidikan KPK, uang itu bertujuan agar Imas melobi MA untuk memenangkan sengketa PT Onamba di tingkat kasasi. Syafruddin mengatakan kliennya mengakui duit itu merupakan dana perusahaan dan dikeluarkan atas setahu dia. Kemarin KPK memeriksa Presiden Direktur PT Onamba Toshio Shiokana. Dia diperiksa sebagai saksi bersama dua anggota stafnya, Muhammad Mujalmin dan Eja Jubaedah.
Imas dan Odi juga diperiksa. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha mengatakan Imas diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Odi. Begitupun sebaliknya dalam pemeriksaan Odi. Namun keduanya memilih bungkam saat datang ke KPK. Demikian pula setelah diperiksa selama hampir enam jam.
Imas adalah anggota majelis hakim yang bakal memutus sengketa PT Dirgantara Indonesia dengan buruh. Putusan akan dibacakan pada 8 Juli mendatang. Ketua Pengadilan Negeri Bandung Joko Siswanto telah menunjuk hakim ad hoc pengganti Imas. "Kami sudah menunjuk hakim ad hoc Totoh Buchori untuk menggantikan Imas dalam persidangan," ujar Joko saat dihubungi kemarin. RUSMAN PARAQBUEQ | ERICK P. HARDI
Sumber: Koran Tempo, 5 Juli 2011