Sulitnya Menjerat Korupsi Kepala Daerah
Apa bedanya kepala daerah dengan Ketua DPRD dalam hal pengusutan tindak pidana korupsi? Pertanyaan ini muncul di benak masyarakat dan para pencinta gerakan pemberantasan korupsi. Pertanyaan itu diawali dari fakta di lapangan mengapa kalau yang melakukan korupsi Ketua DPRD atau anggota DPRD dalam hal ini berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah lebih mudah diusut dan diproses.
Namun kalau yang terlibat adalah kepala daerah (wali kota atau bupati) selalu sulit dan memakan waktu yang sangat lama? Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN) hingga sekarang sudah ada 10 daerah yang Ketua DPRD II bisa diproses tindak pidana korupsinya (ada yang sudah divonis, dalam proses persidangan, dan sebagai terdakwa).
Di sisi lain kepala daerah di Jawa Tengah baru terdapat satu terpidana yaitu Bupati Temanggung; satu tersangka Bupati Semarang; jadi saksi ada 10 orang yaitu Kendal, Kudus, Salatiga, Blora, dan Pemalang; dan mantan bupati dari Purworejo, Klaten, Rembang, Sukoharjo, dan Surakarta.
Sulitnya mempercepat proses untuk menjerat kepala daerah (bupati, wali kota, dan gubernur) dalam tindak pidana korupsi dapat dilihat dari beberapa hal.
Pertama, masalah perizinan. Untuk menyidik seorang anggota DPRD di kabupaten atau kota, izinnya cukup dari gubernur dan DPRD provinsi dari Menteri Dalam Negeri. Berdasarkan fakta, seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) untuk meminta izin setingkat gubernur seminggu bisa keluar. Karenanya tidak ada alasan menghambat proses penyidikan dengan alasan perizinan.
Adapun kepala daerah (kota atau kabupaten) dan gubernur bila diduga terlibat korupsi atau bahkan sekadar menjadi saksi saja harus mendapat izin dari presiden. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 36 bahwa rentang waktu perizinan dari presiden dua bulan.
Dan dua bulan, ada atau tidak jawaban dari presiden, penyidikan bisa dilanjutkan. Masalah izin presiden inilah yang dijadikan alat tarik ulur dan mengundur-undur pemeriksaan oleh pihak kejaksaan atau kepolisian terhadap kepala daerah.
Dalam praktiknya, rentang waktu dua bulan tersebut masih debatable. Menurut praktiknya, waktu dua bulan pengajuan izin itu bukan dari jaksa yang menangani perkara (kejari/kejari) langsung ke presiden, melainkan melalui pintu-pintu yang banyak dan berliku. Dari kejari/kejati dimintakan rekomendasi dari Kejaksaan Agung (Kejagung). Berapa lama di Kejagung tidak ada ketentuan. Setelah Kejagung mengajukan ke Seskab, baru sejak diterima dengan nomor register Seskab itulah yang dijadikan acuan untuk menghitung dua bulan. Bisa dibayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa keluar surat izin dari presiden.
Perlu diingat pula bahwa setiap pos-pos tersebut sangat dipengaruhi oleh ada tidak adanya KKN. Kalau di setiap pos itu ada kemampuan untuk melakukan KKN maka bisa dipastikan kapan akan turun surat izin tersebut. Oleh karena itu, ada beberapa kepala daerah yang terindikasi korupsi sejak awal menjabat sampai akhir jabatan izin pun belum turun.
Kedua, adanya konsep muspida plus. Dalam konsep ini kejaksaan dan pengadilan negeri adalah menjadi bagian dari muspida yang kekuasaan tertinggi berada di kepala daerah (kota, kabupaten, dan gubernur).
Karena penegak hukum berada di bawah koordinasi kepala daerah, untuk menyidik tindak pidana yang dilakukan bupati, wali kota, atau gubernur tidaklah semudah itu. Ewuh, pakewuh, dan adanya koordinasi menjadikan problem tersendiri bagi penegak hukum untuk menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Maka, banyak kasus korupsi yang diduga melibatkan kepala daerah macet di tengah jalan apakah di SP3 atau dianggap tidak memenuhi unsur korupsi.
Ketiga, wewenang dan kekuasaan. Kepala daerah adalah orang yang memiliki kekuasaan tertinggi di daerah. Di era otonomi daerah ini kepala daerah (bupati/wali kota) ibarat raja-raja kecil di daerah. Mereka menjadi pusat kekuasaan di daerah sehingga sulit untuk dikontrol oleh institusi-institusi penegak hukum atau masyarakat.
Dengan wewenang yang dimiliki pula, kepala daerah bisa memanfaatkan dana ABPD untuk merangkul, mengerim, dan memperkecil partisipasi publik untuk mengontrol keuangan daerah.
Keempat, kurang jelasnya konsep tanggung jawab bersama masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di mana dalam mengesahkan APBD eksekutif dan legislatif menyetujui secara bersama- sama. Namun dalam beberapa kasus, ketika APBD tersebut menjadi masalah seperti dobel anggaran, penyalahgunaan alokasi anggaran yang tidak ada dasarnya, mengapa yang terjerat hanya legislatif saja? Sedangkan eksekutif untuk menjadi saksi saja tidak ada yang dilibatkan? Mengapa bisa terjadi seperti itu? Solusi
Berdasarkan permasalahan di atas, bila pemerintah benar-benar ingin melakukan percepatan pemberantasan korupsi, maka masalah perizinan bagi pemeriksaan kepala daerah harus dipersingkat atau bahkan dihilangkan sama sekali. Mengapa harus menunggu dua bulan sejak diterima Seskab? Tidak mungkinkah dipersingkat lagi bahwa dua bulan itu sejak diajukan oleh jaksa penyidik. Ini sangat berkaitan erat dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Karena itu, presiden perlu menilik ulang proses pemberian izin yang hingga kini masih menjadi problem bagi perwujudan inpres tersebut.
Selanjutnya, jika kenyataannya konsep muspida plus menjadi penghambat percepatan pemberantasan korupsi di daerah, maka perlu dibikin pengadilan-pengadilan ad hoc di masing-masing daerah yang khusus menangani kasus korupsi (pengadilan Tipikor di daerah). Jabir Alfaruqi Sekretaris KP2KKN Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Kompas, 31 Mei 2006