Surat ICW ke Presiden Terkait Rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR RI
No: 222/SK/BP/ICW/X/2006
Jakarta, 11 Oktober 2006
Kepada
Susilo Bambang Yudhoyono
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta
Perihal : Rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR RI
Dengan Hormat,
Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum dan Pemerintahan Daerah DPR RI (Gabungan Komisi II dan Komisi III DPR RI) pada rapat Badan Musyawarah DPR RI tanggal 3 Oktober 2006 telah memberikan laporan dan rekomendasi mengenai penanganan/pembahasan terhadap kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD dan Kepala Daerah.
Pada intinya Panja menyimpulkan bahwa penegakan hukum dalam penanganan terhadap kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD dilakukan secara tidak fair, tebang pilih atau diskriminatif, tidak proporsional dan melanggar prinsip-prinsip negara hukum, terutama prinsip kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan prinsip penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Selanjutnya Panja memberikan rekomendasi antara lain:
1. Meminta Presiden RI untuk mengintruksikan kepada pembantunya dibidang penegakan hukum, yaitu kepada Jaksa Agung RI dan Kepala Polri agar dilaksanakan secara adil, tidak tebang pilih atau diskriminatif,proporsional, dan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip negara hukum, serta mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
2. Meminta Presiden RI agar dapat segera memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik beserta segenap hak-haknya atas kerugian yang diderita oleh anggota DPRD dan Kepala Daerah akibat penggunaan PP Nomor 110 Tahun 2000, PP Nomor 105 Tahun 2000, serta Surat Edaran Mendagri.
Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi yang telah dihasilkan oleh Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah DPR RI, ada beberapa hal yang perlu dikritisi secara lebih mendalam.
1. Kesimpulan dan rekomendasi tersebut tidak mengarah pada upaya perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani korupsi. Akan tetapi lebih menonjol sebagai upaya untuk menghambat atau menghentikan proses hukum dalam penuntasan kasus korupsi terhadap politisi daerah.
Desakan untuk menghentikan proses hukum korupsi dan merehabilitasi anggota DPRD yang diduga melakukan korupsi dapat dinilai sebagaibentuk intervensi politik terhadap proses penegakan hukum yang menjadi domain pemerintah. Tekanan politik semacam ini tentu saja telah menjadi ancaman serius bagi usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk menegakkan hukum, sekaligus dapat mengendurkan semangat pemberantasan korupsi yang saat ini sedang gencar dilakukan.
Penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung di balik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat bukan justru meminta adanya rehabilitasi khusus kepada anggota DPRD dan Kepala Daerah.
2. Berdasarkan data Kejaksaan terdapat 265 perkara tindak pidana korupsi dengan jumlah tersangka/terdakwa/terpidana sebanyak 967 anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Dari data tersebut 67 perkara dijerat dengan PP 110 Tahun 2000, 198 perkara dijerat dengan PP 105 Tahun 2000 dan Surat Edaran Mendagri Nomor 161/3211/SJ tanggal 23 Desember 2003, dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1994.
Harus dicermati bahwa banyak kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD terjadi jauh sebelum PP 110 Tahun 2000 tersebut dinyatakan batal oleh MA (Putusan MA No.04/HUM/2001 tanggal 9 Desember 2002). Hal ini berarti bahwa terhadap pelaku tersebut tetap dapat dijerat dengan PP 110 Tahun 2000 atau PP 105 tahun 2000.
Sedangkan kasus korupsi yang terjadi setelah tanggal 9 Desember 2002 tetap dapat dijerat dengan instrumen hukum lainnya misalnya PP 105 tahun 2000 atau Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1994. Dibatalkannya PP 110 Tahun 2000 oleh MA tidak dapat diartikan sebagai penghapusan (atau membebaskan) tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD.
Tetap dapat dihukumnya anggota DPRD yang diduga melakukan korupsi meskipun PP 110 Tahun 2000 telah dibatalkan dapat dilihat dari putusan MA dalam perkara korupsi di DPRD Sumbar dan DPRD Kota Cirebon. Kedua perkara ini dijerat dengan PP 110 Tahun 2002 dan telah divonis MA pada tahun 2005 (telah mempunyai kekuatan hukum - inkracht) yaitu terhadap 33 anggota DPRD Sumbar (4-5 tahun penjara) dan 10 anggota DPRD Kota Cirebon (2 tahun penjara). Dalam pertimbangannya Majelis Hakim Agung menilai bahwa mantan anggota DPRD tersebut dinilai menyimpang dari PP Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Putusan ini harusnya bisa menjadi landasan (jurisprudensi) bagi jaksa, polisi, dan hakim untuk tetap meneruskan proses hukum dalam kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD.
3. Pemberian rehabilitasi dan pemenuhan hak-hak anggota DPRD tidak dapat diberikan secara serta merta atau langsung oleh Presiden. Berdasarkan pasal 14 ayat 1 Amandemen UUD 45 menyebutkan Presiden memberikan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. Dengan demikian harus ada konsultasi terlebih dahulu antara Presiden dengan MA.
Namun sebelum meminta pertimbangan MA dalam memberikan rehabilitasi, Presiden juga harus mempertimbangkan atau melihat kesesuaian dengan arah dan kebijakan yang telah disusun, dalam hal ini kebijakan pemberantasan korupsi. Rehabilitasi yang berujung pada pembebasan terhadap 967 anggota DPRD yang diduga melakukan korupsi jelas-jelas tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi. Oleh karena itu sudah selayaknya rekomendasi pemberian rehabilitasi ini harus ditolak oleh Presiden.
Dari berbagai argumentasi tersebut, kami meminta kepada Presiden:
1. Untuk menolak rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah (Gabungan Komisi II dan Komisi III DPR RI) khususnya dalam memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik anggota DPRD yang diduga terlibat kasus korupsi. Karena rekomendasi tersebut inkonsisten dengan kebijakan pemerintah dalam memberantas korupsi.
2. Menginstruksikan Jaksa Agung RI dan Kapolri untuk terus melanjutkan proses hukum dalam kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang saat ini masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan.
3. Mempercepat keluarnya izin pemeriksaan yang diajukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Demikian permintaan ini kami sampaikan. Atas Perhatiannya diucapkan terima kasih.
Hormat Kami,
Indonesia Corruption Watch
Danang Widoyoko
Wakil Koordinator Badan Pekerja