Susno, Bicaralah!
Akhirnya, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dijadikan sebagai tersangka dan langsung ditahan terkait dengan praktik mafia hukum dalam penanganan kasus PT Salmah Arwana Lestari di Rumbai, Riau. Susno diduga menerima suap Rp 500 juta.
Tidak banyak yang terkejut dengan status baru yang disandang Susno. Dari jauh hari telah diduga, perubahan status hukum dan penahanan Susno hanya masalah waktu. Bagaimanapun, banyak kalangan percaya, membiarkan Susno melanjutkan sepak terjangnya berpotensi menimbulkan guncangan dahsyat di internal kepolisian. Mulutnya harus dibungkam!
Bahkan, selang beberapa waktu setelah penahanan Susno, dalam sebuah percakapan santai dengan Zainal A Mochtar, Direktur Pusat Kajian Anti-korupsi Fakultas Hukum UGM ini mengemukakan rumusan yang amat sederhana: jika yang dijadikan tersangka dan ditahan adalah bintang tiga, maka yang dilindungi sesungguhnya adalah elite dengan bintang tiga ke atas. Meskipun rumusan ”sederhana” itu masih memerlukan pembuktian lebih lanjut, melihat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh ”informasi” yang dimiliki Susno, pendapat Zainal Mochtar bisa mendekati kebenaran.
Anehnya, penahanan dan pemberian status tersangka kepada Susno didasarkan keterangan saksi, antara lain Sjahril Djohan, pengacara Haposan Hutagalung, dan Ajun Komisaris Besar Syamsu Rizal (Kompas, 11/5). Padahal, di antara pemberi keterangan itu ada tersangka dalam skandal mafia pajak yang melibatkan Gayus HP Tambunan, bekas pegawai golongan III A Direktorat Jenderal Pajak.
Membungkam Susno
Sulit dibantah, dalam kurun hampir satu tahun terakhir, Susno menjadi sosok sentral yang kontroversial dalam rimba penegakan hukum di negeri ini. Setidaknya, skandal cicak versus buaya membuka mata banyak orang bahwa Susno tidak peduli dengan tekanan publik bahwa kriminalisasi atas pimpinan KPK, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah, akan menjadi langkah mundur dalam memberantas korupsi. Namun, setelah diberhentikan sebagai Kepala Bareskrim Polri, keterangan di depan Pansus Century sedikit menyadarkan publik bahwa Susno bukan merupakan lapis pertama pengambil keputusan kriminalisasi atas Bibit-Chandra.
Seperti ingin menebus ”dosa” dalam skandal kriminalisasi atas Bibit-Chandra, Susno mulai memberikan keterangan yang mengagetkan banyak orang, di antaranya pengakuan Susno tentang praktik mafia hukum di lingkungan Mabes Polri. Pengakuan Susno itu menimbulkan guncangan hebat di Mabes Polri yang merambat begitu cepat terutama setelah Susno menyebut skandal pajak yang melibatkan Gayus HP Tambunan. Tidak berhenti sampai di situ, Susno mengemukakan sejumlah nama yang disebutnya sudah malang melintang menjadi makelar kasus di Mabes Polri. Misalnya, nama Sjahril Djohan tidak akan dikenal secara luas sekiranya Susno tidak menyebutkan inisial nama tersebut.
Bisa jadi, sejumlah keterangan yang diucapkan Susno berembus kencang sehingga menimbulkan hawa panas di lingkungan Mabes Polri. Bahkan, bukan tidak mungkin udara panasnya mulai menerobos pintu kekuasaan lain. Karena itu, mulut Susno harus dibungkam. Cara yang paling tradisional yang pernah dilakukan adalah memberikan tekanan psikologis kepada Susno. Sebagai bagian dari upaya itu, Susno dijemput paksa di Bandara Soekarno-Hatta ketika hendak berangkat ke luar negeri. Namun, langkah penjemputan paksa tersebut tidak dihitung secara cermat oleh Mabes Polri. Karena itu, tidak hanya gagal memberikan tekanan terhadap Susno, tindakan Mabes Polri itu justru dikecam berbagai kalangan. Sejak kejadian itu, dukungan publik kepada Susno cenderung semakin meluas.
Setelah gagal dengan cara tersebut, Mabes Polri berupa membuka rekam jejak Susno. Ketika pilihan sampai pada pelacakan rekam jejak, hampir dapat dipastikan sulit menemukan seorang petinggi polisi yang tanpa kesalahan sama sekali. Jika ditemukan kesalahan, sesuai dengan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP, penahanan terhadap seorang tersangka dapat dilakukan karena diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Sebagai orang yang pernah menduduki jabatan tertinggi di Bareskrim Polri, langkah menahan Susno dapat dikatakan sebagai pilihan yang tidak bijak. Apalagi, dugaan menerima suap Rp 500 juta dalam penanganan kasus PT Salmah Arwana Lestari merupakan kasus yang dicari (-cari) setelah Susno menyuarakan praktik mafia di lingkungan Mabes Polri. Kalaupun ada bukti yang cukup, status tersangka rasanya sudah cukup diberikan kepada Susno. Mengapa harus ditahan?
Mungkin dikhawatirkan status hukum tersangka tanpa diikuti penahanan tidak akan mampu membungkam mulut Susno. Sesuai dengan jabatan yang pernah dipegang, membiarkan Susno terus-menerus berbicara kepada publik tidak hanya akan mengancam Mabes Polri dan Ditjen Pajak, tetapi juga berpotensi mengancam pusat kekuasaan yang lain. Sebagai mantan Kepala Bareskrim, Susno pasti punya banyak informasi dan catatan tentang peristiwa yang terjadi selama sekitar dua tahun terakhir, termasuk skandal Bank Century dan kekisruhan di sekitar penyelenggaraan Pemilu 2009, terutama menyangkut daftar pemilih tetap.
Dukungan publik
Ketika skandal mafia pajak terkuak ke publik, Presiden Yudhoyono memerintahkan untuk membongkar semua praktik mafia hukum yang terjadi. Namun, amat disayangkan, perintah itu hanya menjadi respons sesaat Presiden. Padahal, publik ingin mengetahui bagaimana langkah yang dilakukan Presiden, terutama di tempat-tempat yang ada hubungannya dengan pengakuan Susno. Bentuk langkah konkret Presiden yang ditunggu adalah bagaimana mengoptimalkan pengakuan Susno untuk membongkar mafia di lingkungan perpajakan dan kepolisian.
Karena sumber informasi berasal dari Susno, diharapkan Presiden akan memberikan proteksi kepada Susno sepanjang mantan Kepala Bareskrim Polri itu punya keinginan baik untuk mengungkapkan semua informasi yang ia ketahui. Namun, jangankan proteksi, justru Susno yang semakin berada dalam ancaman. Padahal, sekiranya ada keingian amat kuat, pengakuan Susno dapat dijadikan titik awal membongkar kotak pandora praktik mafia hukum di Mabes Polri dan kemungkinan jejaring mafia hukum yang terkait dengan Polri.
Namun, dengan posisi strategis yang pernah dimiliki Susno, harapan Presiden untuk memberikan proteksi kepada Susno terasa terlalu muluk. Sebaliknya, proteksi politik yang dijanjikan DPR (Kompas, 12/5) diharapkan dapat tetap memberi kekuatan kepada Susno untuk mengungkap mafia hukum. Apalagi Susno pernah menyatakan bahwa mati pun ia tidak takut.
Sekiranya Susno mau mengungkapkan semuanya, potensi dukungan publik bisa lebih besar dari apa yang pernah diberikan kepada Bibit-Chandra. Percayalah, sekiranya dukungan publik berhasil diraih, Istana pun tidak akan mampu menghalanginya. Karena itu, ini saatnya Susno bicara untuk membongkar semuanya.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 Mei 2010