Syaf Merasa Benar Obral Aset Murah; Tetap Merasa Tak Bersalah
Mantan Ketua BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Arsjad Temenggung mengaku terkejut atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penjualan pabrik gula PT Rajawali III Gorontalo (dulu PT Rajawali Nusantara Indonesia). Dia menilai terlalu prematur langkah Kejati DKI meningkatkan penanganan perkara tersebut ke tahap penyidikan.
Selain proses pemeriksaan berlangsung satu hari, mantan pejabat yang akrab disapa Syaf itu juga beralasan belum ditanyai penyidik terkait kebijakan menjual aset BUMN senilai Rp 600 miliar tersebut.
Bayangkan, klien saya baru sehari diperiksa. Itu pun hanya menuliskan identitas. Tiba-tiba esoknya langsung dijadikan tersangka. Saya kira proses hukum seperti ini tidak masuk akal, kata Frans Hendra Winarta, koordinator tim pengacara Syaf. Ketika dihubungi Jawa Pos, Frans mengatakan sedang rapat bersama Syaf di sebuah hotel di Jakarta.
Syaf sulit dihubungi sejak ditetapkan sebagai tersangka. Dia seakan menghilang. Pria berkaca mata itu bersama tim pengacaranya sejak akhir pekan lalu ternyata menggelar serangkaian rapat menyikapi penetapan dirinya sebagai tersangka. Rapat tadi malam mulai pukul 19.00 WIB hingga 22.00 adalah yang terakhir sebelum hari ini pukul 11.00 menggelar jumpa pers di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan.
Menurut sumber koran ini, hadir dalam rapat tersebut sejumlah mantan pejabat BPPN yang membawahi kewenangan penjualan aset PT Rajawali III Gorontalo. Tim hukum BPPN (kini PT PPA -Perusahaan Pengolah Aset), juga hadir untuk memberi masukan.
Frans sendiri mempertanyakan langkah Kejati DKI yang terburu-buru menetapkan kliennya sebagai tersangka. Ada kesan penyidik beradu cepat dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang sejak dua bulan lalu juga menangani kasus tersebut.
KPK sebenarnya juga pernah memanggil Pak Syaf sekitar dua bulan lalu. Saya tidak tahu mengapa penyidik Kejati tiba-tiba mengambil alih dan langsung menetapkannya sebagai tersangka, jelas pengacara berpenampilan rapi ini.
Ditanya apakah ada motif politis atau kepentingan di luar hukum, Frans menolak menjawab. Yang pasti, dia menilai proses hukum kliennya tidak wajar sekaligus diskriminatif dibanding perkara korupsi lain yang disidik di Kejagung maupun Timtastipikor.
Pada hari yang sama mengapa Jaksa Agung hanya mengumumkan Pak Syaf sebagai tersangka, sedang empat tersangka kasus Setneg justru ditutupi identitasnya. Padahal, penanganan kasus Setneg sudah berjalan berbulan-bulan, beber Frans yang juga anggota Komisi Hukum Nasional (KHN) ini.
Lebih jauh Frans membeberkan materi perkara, khususnya kebijakan penjualan aset PT Rajawali III Gorontalo, yang menjadikan kliennya sebagai tersangka. Semasa menjadi kepala BPPN, Syaf dinilai sekadar menjalankan kebijakan pemerintah terkait penjualan aset BUMN yang ditangani BPPN.
Ini kebijakan pemerintah. Tidak bisa dialihkan dalam pertanggungjawaban pribadi. Kebijakan tersebut juga sudah diketahui tim KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) yang di dalamnya ada Menko Perekonomian, Menkeu, Menperindag, Men PPN/ketua Bappenas, dan sejumlah menteri ekonomi lainnya, paparnya.
Kebijakan KKSK sendiri, lanjutnya, kala itu mengamanatkan agar ketua BPPN segera menjual berbagai aset BUMN yang dikelolanya untuk menutupi defisit anggaran negara (APBN). Negara butuh fresh money (dana segar) untuk menutupi defisit. Jadi, apa pun alasannya, aset yang dikelola BPPN harus dijual secepatnya, beber Frans. Terkait kebijakan tersebut, kepala BPPN dibolehkan menjual aset BUMN hingga 15 persen di bawah nilai buku.
Seperti diberitakan, Jumat lalu Syaf dijadikan tersangka karena dinilai menjual pabrik gula PT Rajawali III dengan harga terlalu rendah pada 2003. Aset yang ditaksir senilai Rp 600 miliar dilelang dengan harga Rp 84 miliar.
Menurut Frans, negara ini akan collaps kalau aset di BPPN tidak bisa dijual. Saat itu ada Inpres dan keputusan tim KKSK, yang mengatur kepala BPPN boleh menjual aset dengan nilai di bawah nilai buku. Prosedur itu dilalui Syaf ketika menjual aset PT Rajawali III Gorontalo. Kalau semua prosedur sudah dilalui sesuai ketentuan hukum, lantas apa yang salah pada klien saya? tanya Frans.
Bagaimana tanggapan penyidik? Kepala Kejati DKI M. Rusdi Taher hingga tadi malam sulit dihubungi. Dalam pesan singkatnya Rusdi menyatakan proses hukum Syaf akan terus berlanjut kendati tim pengacaranya mengklaim tidak ada fakta penyalahgunaan jabatan yang menguatkan adanya tindak pidana korupsi. Bahkan, penyidik sudah menjadwalkan pemeriksaan para saksi mulai Kamis mendatang. Surat panggilan kepada saksi akan dilayangkan besok, kata Rusdi. Syaf, seperti umumnya tersangka korupsi lain, biasanya baru diperiksa seusai pemanggilan para saksi.
Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh bahkan sudah menerima permohonan pencekalan dari tim penyidik. Surat tersebut dilanjutkan ke Ditjen Imigrasi. Masa pencekalan efektif berlaku satu tahun sejak tanggal penetapan Syaf sebagai tersangka. Pencekalan itu didasarkan surat penetapan tersangka Syafruddin bernomor 309/0.1/FD.01/02/2006. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 6 Februari 2006