Tahun Penuh Skandal Hukum
Bebaskan Koruptor, Dagang Sapi, dan Perselingkuhan
MENDUNG menyelimuti "dewi" keadilan hukum sepanjang 2009. Karut-marut bidang hukum, baik bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif sangat mewarnai sepanjang tahun ini. Tahun 2009 merupakan salah satu tahun terburuk bagi penegakan hukum sejak sepuluh tahun masa reformasi. Berbagai kasus dan skandal membuat kekusutan reformasi bidang hukum ini.
Jika mengamati perjalanan hukum sepanjang 2009, serasa amanat konstitusi yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, hanya merupakan utopia belaka. Hukum yang sejatinya sebagai panglima dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, justru diserongkan bagi kepentingan sesaat oleh sekelompok pihak. Anomali-anomali tatanan bernegara terasa merobek-robek rasa keadilan masyarakat.
Bidang Yudisial
Upaya pemberantasan korupsi pada 2009 mengalami titik balik (turning point) kemunduran. Menurut data yang dilansir ICW, dalam paro pertama 2009, 70 persen dari 222 terdakwa kasus korupsi divonis bebas oleh pengadilan, baik di tingkat pertama hingga di Mahkamah Agung. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi ironisnya, putusan-putusan pengadilan yang menghukum rakyat kecil semakin meningkat. Tiga butir kakao telah mengantarkan Mbok Minah ke pengadilan, sebutir semangka juga menyeret Samsul Hadi ke meja hijau. Demikian pula Prita yang sedang mencari keadilan malah justru diadili. Semua rakyat kecil tersebut divonis oleh palu hakim, sementara koruptor-koruptor yang menilap uang negara sampai triliunan rupiah dibebaskan
Selain putusan di bidang perkorupsian yang sangat memprihatinkan tersebut, Mahkamah Agung juga sering mengeluarkan putusan kontoversial karena di luar batas kewenangannya. Misalnya, Putusan Nomor 15 P/HUM/2009 yang isinya memerintahkan KPU merevisi SK tentang penetapan kursi DPR. Belum lama ini, MA juga memutus perkara mengenai kebijakan unas dan sistem pendidikan nasional. Seharusnya memutus perkara-perkara ini adalah wewenang Mahkamah Konstitusi, sehingga putusan MA tersebut hanya berlaku di atas kertas belaka.
Bidang Legislasi
Proses legislasi yang digodok para wakil rakyat di Senayan juga diwarnai berbagai skandal korupsi kebijakan. Beberapa mereka yang sudah divonis oleh pengadilan. Di antaranya, Al Amin Nasution, Sarjan Taher, dan Yusuf Faisal dalam kasus alih fungsi hutan, Antony Z. Abidin dan Hamka Yamdu dalam kasus aliran dan gratifikasi dana BI, Saleh Jasit dalam kasus Damkar, Abdul hadi dalam kasus korupsi PDT, serta masih sederet nama-nama lain. Korupsi kebijakan oleh oknum anggota DPR merupakan kejahatan dengan modus "dagang sapi" kebijakan.
Produk-produk legislasi dalam 2009 juga ikut memperburam potret hukum di Indonesia. Banyak undang-undang yang kualitasnya sangat memprihatinkan serta bermuatan keberpihakan pada segelintir kelompok orang dan merugikan kepentingan rakyat. Tahun 2009 merupakan tahun periode terakhir anggota DPR 2004. Sebagaimana sebelumnya, pada akhir periode jabatan anggota DPR terjadi fenomena pengelontoran pengesahan undang-undang. Fenomena ini diduga sebagai ajang "jual-beli" atas lolosnya kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu sebagai sponsor.
Jika dari segi kuantitas, jumlah UU pada 2009 melonjak tajam, dari segi kualitas malah sebaliknya turun tajam. Pada tahun ini disahkan UU baru yang juga menimbulkan banyak kontroversi di dalamnya. Belum lama ini telah disahkan UU Perubahan Mahkamah Agung yang memperpanjang masa usia pensiun hakim agung, UU Kesehatan yang membuka peluang pelegalan abortus provocatus criminalis, UU Perfilman yang lebih mengarah pada pengaturan tata niaga perfilman daripada peningkatan kualitas dan kreativitas, UU Ketenagalistrikan yang melegitimasi liberalisasi kelistrikan di Indonesia sehingga mengancam TDL tidak terkendali, dan sejumlah legislasi lain.
Hal sangat memalukan di bidang legislasi yang terjadi pada 2009 adalah skandal hilangnya satu ayat dalam UU Kesehatan. Pada UU Kesehatan yang sudah disetujui dalam rapat paripurna DPR, tiba-tiba ayat 2 dari pasal 113 menghilang di Sekretariat Negara sebelum disahkan presiden untuk kemudian diundangkan dalam lembaran negara. Ayat yang hilang ini mengatur pengamanan zat aditif, termasuk tembakau. Hilangnya ayat tembakau ini diduga terkait adanya invisible hand yang bermain di belakangnya. Sebab, kalau ayat 2 tersebut masuk, akan ada turunannya yang mengatur zat adiktif. Yang terkena dampaknya adalah industri rokok. Kalau ayat tembakau ini hilang, tidak bisa diatur peredaran rokok.
Bidang Eksekutif
Ranah eksekutif juga tidak luput dari berbagai skandal hukum. Belum lama ini kepada publik dipertontonkan drama selingkuh hukum dengan lakon berjudul "cicak versus buaya" yang berakhir sang buaya lari terbirit-birit entah ke mana perginya. Presiden telah mengakhiri lakon buaya tersebut secara tepat, meskipun sedikit terlambat. Hikmah dari kasus ini adalah bahwa ternyata hukum telah dijadikan barang komoditas oleh oknum cukong yang bisa mengatur ke mana hukum akan bermuara. Kita patut gelisah terhadap fakta ini karena satu fakta yang terungkap, tetapi berapa banyak fakta perselingkuhan hukum yang tidak terungkap di republik ini.
Di penghujung 2009, skandal Bank Century melengkapi keterpurukan hukum akibat permainan oknum elite negeri ini. Kasus yang jika tidak dikelola dengan sungguh-sungguh oleh pemimpin negeri ini, tidak menutup arah ke proses pemakzulan (impeachment), seperti yang menimpa Presiden Gus Dur pada 2001 lalu. Kita semua tidak menghendaki pemakzulan kembali terjadi di republik ini karena akan menelan ongkos politis, ekonomis, dan sosial yang sangat besar. Tetapi, fakta ini harus membuka mata semua pihak bahwa suara rakyat tidak boleh dilawan karena suara rakyat adalah suara kebenaran yang berasal dari Tuhan (vox populi vox dei).
Semua peristiwa tersebut di atas harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua dalam meninggalkan 2009 untuk menapak lembaran baru 2010. Negeri ini tidak akan pernah keluar dari kubangan keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan jika hukum tidak ditegakkan dan masih menjadi alat kekuasaan. Semoga Allah SWT merahmati kita semua di tahun depan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dr M. Hadi Shubhan SH MH CN , dosen Fakultas Hukum dan Sekretaris Universitas Airlangga.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 Desember 2009