Tak Ada Alasan Perpanjangan Usia Pensiun Hakim Agung

Perdebatan tentang perpanjangan usia hakim agung dinilai oleh sementara pihak semakin absurd. Perdebatan tersebut telah melebar dan meninggalkan substansi dari perlunya perubahan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.

Ketua Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Patra M Zen, Rabu (8/10), mengatakan, pembahasan tentang usia pensiun hakim agung telah tuntas dibicarakan dalam pembahasan perubahan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung pada 2004.

Patra mengatakan, dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA disebutkan perpanjangan usia hakim agung dari 65 tahun menjadi 67 tahun.

Namun, perpanjangan itu mensyaratkan hakim agung yang diperpanjang usia pensiunnya mempunyai prestasi kerja luar biasa, sehat jasmani dan rohani.

Patra juga menegaskan, rencana perubahan Undang-Undang MA tidak ditemukan dalam daftar RUU Prolegnas mulai tahun 2005-2009.

”Dengan demikian, tidak ada argumen dan perkembangan yang dapat dijadikan dasar untuk mengubah undang-undang itu,” kata Patra.

Munculnya permohonan uji materi 31 hakim agung pada Maret 2006 atas Undang-Undang tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menurut Patra, juga tidak dapat menjadi dasar perubahan atas Undang-Undang MA.

”Pasal-pasal yang diuji dalam perkara itu tidak termasuk Pasal 11 tentang usia pensiun. Oleh karena itu, revisi yang dilakukan pun seharusnya revisi terbatas,” kata Patra.

Reformasi gagal

Dihubungi secara terpisah, Emerson Juntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, MA membutuhkan pemimpin baru. Kepemimpinan baru itu diperlukan untuk mengoptimalkan kerja reformasi birokrasi di tubuh lembaga tersebut.

Emerson mengatakan, sejak digulirkan sekitar tujuh tahun lalu, reformasi birokrasi di MA tidak membuahkan hasil optimal.

”Kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung tetap rendah. Beberapa hakim yang dinilai publik bermasalah justru mendapat promosi. Kuncinya, butuh pemimpin baru,” kata Emerson.

Bagir Manan sebagai Ketua MA, kata Emerson, tentu sangat berpengaruh dalam persoalan itu. ”Karena ia adalah penentu utama,” kata Emerson. (JOS)

Sumber: Kompas, 9 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan