Tak Goyah Ditimpa Kasus Helikopter [18/07/04]
Masalahnya, seberapa berani Megawati mengambil keputusan yang bisa memenuhi harapan masyarakat antikorupsi: menonaktifkan Puteh.
Agaknya Abdullah Puteh, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, bakal lebih sering berada di Jakarta. Ia harus menjalani pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk kasus dugaan manipulasi dana pembelian helikopter, juga pemeriksaan Mabes Polri untuk kasus pembelian genset oleh Pemda Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam kasus helikopter, KPK telah menetapkan dia sebagai tersangka. Dalam kasus genset, ia masih sebagai saksi.
Yang lebih seru, memang, kasus pembelian helikopter MI-2. Puteh sempat mangkir alias tidak bersedia menjalani pemeriksaan di KPK, sampai-sampai KPK mengeluarkan jurus terakhir: mengancam menjemput paksa. Pihak kuasa hukum Puteh sendiri berusaha melawan apa yang dilakukan KPK. Setelah menganjurkan Puteh agar tidak menghadiri pemeriksaan, kemudian mereka menggugat lembaga itu.
Mereka telah mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Juli lalu. Karena pengadilan harus dibentuk dulu sebelum seseorang itu diperiksa sebagai tersangka, kata Purwaning Yanuar, salah seorang kuasa hukum Puteh, kepada Maria Ulfah dari Tempo News Room. Namun, KPK tidak goyah dengan hal-hal semacam itu.
Sebaliknya, semangat KPK terus terpompa. Sejumlah kalangan antikorupsi terus berdatangan ke sana, salah satu di antaranya Teten Masduki dari ICW. Teten jelas tidak diam saja dan berbasa-basi di sana. Ia bahkan meminta KPK agar menahan sang Gubernur. KPK bisa menggunakan kewenangan yang dimiliki, kata Teten. Itu tercantum dalam Pasal 12 (i) UU Nomor 30/2002.
Dalam pasal itu disebutkan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang ditangani.
KPK akan menahan Puteh? Itu yang belum jelas. Hingga saat ini, Puteh hanya dicekal untuk tidak bisa pergi ke luar negeri. Lembaga itu memang sudah mengirim surat kepada Presiden Megawati agar menonaktifkan Puteh dari jabatannya sebagai gubernur. Hingga kini belum ada jawaban dari Presiden. Sementara itu, desakan agar Puteh diberhentikan sementara terus datang dari segala penjuru.
Rabu lalu, misalnya, delapan LSM, antara lain ICW, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Transparency International Indonesia, dan Solidaritas Masyarakat Antikorupsi meminta agar Presiden segera menonaktifkan sang gubernur. Tidak ada alasan untuk tidak menontaktifkan Puteh, kata Teten.
Mereka juga menuding tidak lancarnya proses penyidikan terhadap Puteh bukan karena posisinya sebagai gubernur, melainkan karena ada kepentingan politik lain. Ada kekhawatiran ini bagian dari lobi politik yang dijalankan Megawati, karena faktor rencana koalisi PDIP dengan Golkar untuk menghadapi pemilihan presiden putaran kedua, kata Teten.
Sebelumnya, Megawati sudah menyatakan ingin bertemu dengan pimpinan KPK. Itu setelah sang presiden menerima surat rekomendasi lembaga itu agar Puteh diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Gubernur Aceh. Hingga kini, pertemuan itu belum terlaksana. Rabu lalu, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas mengaku belum mendapat pemberitahuan mengenai rencana pertemuan itu.
Jumat kemarin, Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki kembali menyatakan belum mendapat informasi lebih lanjut mengenai rencana Presiden untuk bertemu dengannya. Mengenai pemberhentian sementara Puteh, menurut Ruki, bagi KPK itu bukan hal penting dan utama. Tanpa diberhentikan pun, KPK masih memiliki banyak wewenang berdasarkan undang-undang untuk terus melaksanakan tugas dalam penyidikan, ujarnya.
Jadi, kata Ruki, seperti dilaporkan Tito Sianipar dari Tempo News Room, diberhentikan atau tidak, Buat kami tidak mengganggu. Pihaknya menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada Presiden.
Desakan pemberhentian sementara juga datang dari Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004). Sebelum KPK meminta Puteh dinonaktifkan, Forum 2004 justru menghendaki lebih jauh. Menurut koordinator presidiumnya, Romli Atmasasmita, selain pencekalan dan penonaktifan, KPK juga harus memblokir aset Puteh. Apabila nanti dia terbukti tidak bersalah, kan ada aturan rehabilitasi, ujarnya.
Di Aceh, awal Juli lalu, 24 elemen sipil dan mahasiswa di Aceh menyurati Presiden yang isinya mendesak agar Puteh dinonaktifkan. Puteh, menurut mereka, perlu dinonaktifkan untuk mempermudah proses penyidikan yang dilakukan KPK, sekaligus memperlancar roda pemerintahan di Aceh yang sedang berstatus darurat sipil. Kondisi Aceh saat ini memerlukan perhatian yang maksimal dan sungguh-sungguh, ujar Zulfikar dari salah satu elemen itu.
Boleh saja desakan itu makin kuat, tapi soal menonaktifkan atau tidak, soal itu ada pada Megawati. Masalahnya, seberapa berani Megawati mengambil keputusan yang bisa memenuhi harapan masyarakat antikorupsi itu: menonaktifkan Puteh.
Mega tidak punya keberanian, kata Nasir Djamil, anggota DPRD Nanggroe Aceh Darussalam, kepada Koran Tempo. Ia mengaku tidak banyak berharap pada Mega.
DPRD Aceh sendiri--jangan ditanya! Mereka sama saja: tidak punya keberanian untuk menentukan sikap. Masalahnya, kata Nasir, selama ini eksekutif selalu memenuhi segala kebutuhan Dewan. Itu, menurut dia, menjadi salah satu faktor mengapa mereka tidak berani. Kalau DPRD berani, Puteh bisa omong: kalian jangan sok suci, ujarnya.
Apa yang dikatakan Nasir tampaknya tidak keliru. DPRD kelihatan lunak. Ketua DPRD Teungku Muhammad Yus mengakui pihaknya tak punya dasar politik apa pun untuk memberhentikan Puteh. Masalahnya, DPRD belum mempunyai bukti secara hukum bahwa Puteh menjadi tersangka korupsi kasus pembelian helikopter. DPRD akan bertindak kalau situasi di Aceh mengganggu. Tapi ini tidak terganggu apa-apa, ujarnya di Jakarta, Jumat (8/7) lalu.
Tampaknya posisi Puteh memang aman. Apalagi, seperti dikatakan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno, jika KPK dan DPRD belum memberi rekomendasi penonaktifan, belum bisa dikeluarkan surat keputusan untuk itu. Keputusan apa pun dari menteri atau presiden, wilayah administrasi negara menunggu rekomendasi dari KPK dan DPRD sebagai rujukan untuk surat keputusan bagi pejabat negara, kata Hari dalam satu kesempatan awal bulan ini.
Rekomendasi pemberhentian sementara dari KPK memang sudah turun, tapi dari DPRD jelas belum ada. Kalau untuk pemberhentian sementara membutuhkan rekomendasi dari kedua lembaga itu, tanpa rekomendasi dari DPRD tentu Puteh tak tergoyahkan.
Hari membantah melindungi Puteh sebagaimana rumor yang beredar. Saya atas nama pemerintah tidak melindungi siapa-siapa. Saya hanya akan berjalan sesuai dengan norma aturan hukum, kata Hari kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/7) lalu.
Meski banyak yang mencela, bukan berarti tak ada yang membela. Lihat saja apa yang dilakukan sekitar 15 orang yang menamakan diri Komunitas Menteng Peduli Aceh, Senin (12/7) lalu. Mereka datang ke kantor KPK untuk mempertanyakan langkah lembaga itu menetapkan Puteh sebagai tersangka. Menurut mereka, proses penetapan sang gubernur sebagai tersangka itu dinilai terlalu cepat dan bernuansa politis.
Puteh sendiri tampak kalem saja. Dalam sejumlah kesempatan di depan publik, ia tetap terlihat tersenyum. Tentang desakan agar dirinya dinonaktifkan, kepada wartawan di Banda Aceh awal bulan ini Puteh menjawab dingin saja, Bagus, bagus. mus/tim koran tempo/tnr
Sumber: Koran Tempo, 18 Juli 2004