Tak Serius Berantas Korupsi
Pemberantasan korupsi selayaknya mendapat tempat utama dalam urutan prioritas kebijakan pemerintah karena masalah itu berkaitan erat dengan segala macam persoalan dalam rangkaian sebab-akibat yang rumit.
Namun, belum lagi berumur 100 hari, seluruh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (bukan saja cabang eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif) kian menunjukkan tiadanya niat sungguh-sungguh untuk menanggulangi korupsi yang sudah menjadi penyakit dan membudaya dalam kehidupan bangsa selama bertahun-tahun.
Sebaliknya, terkesan ada tanda-tanda melemahnya niat, kemauan, serta mungkin rasa percaya diri karena merasa kurangnya kemampuan mengatasi masalah yang mahaberat dan kompleks. Jika demikian, cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil, dan sejahtera yang menjadi slogan kampanye SBY selama kampanye pemilihan presiden tahun lalu kian jauh dari kehidupan bangsa.
LEBIH menyedihkan lagi, terasa adanya keengganan seluruh pemerintahan, yang meliputi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, untuk saling mendukung dalam memberantas korupsi. Awalnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil kesimpulan, kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berlaku retroaktif jadi tidak berwenang menangani kasus-kasus korupsi yang telah terjadi sebelum dibentuknya lembaga KPK (Kompas, 18/2). Kemudian, di depan para gubernur, Presiden mengatakan, pemerintah memfokuskan usaha-usaha antikorupsinya pada pencegahan korupsi di masa depan daripada mengurusi kasus- kasus korupsi yang terjadi di masa lalu. Jika kita hanya lihat ke belakang, itu berarti menangani hal-hal yang jauh dari kepastian. Kita lebih baik mencegah jangan sampai kasus-kasus korupsi terjadi lagi di masa depan (Jakarta Post, 26/2). Menanggapi temuan suatu survei oleh Transparency International Indonesia (TII), yang menempatkan Jakarta dan kantor pajak sebagai lembaga paling korup, Menteri Keuangan Jusuf Anwar hanya mengatakan, Saya tidak peduli (Jakarta Post, 18/2).
Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan, Asas tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif) memang merupakan asas yang kontroversial dalam hukum. Fungsi asas nonretroaktif ini di satu pihak menjamin keadilan bagi seseorang agar tidak diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang serta kepastian hukum, tetapi hal itu tidak berarti bisa mengabaikan rasa keadilan orang banyak. Demi keadilan orang banyak, asas ini seharusnya bisa ditembus (Kompas, 19/2). Namun, tidak jelas apakah itu merupakan pendapat pribadi atau pendapat MA. Tidak jelas pula, bagaimana hal itu dapat diimplementasikan.
Yang jelas, menentang keputusan MK bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih perkara-perkara sebelum 27 Desember 2002 itu adalah beberapa orang ahli hukum lain, seperti ahli hukum perbankan Pradjoto, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Uli Parulian Sihombing, dan Asep Rakhmat Fadjar (Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan). Mereka berpendapat keputusan MK harus segera dieksaminasi, amat diperlukan. Meski tidak punya kekuatan mengikat, eksaminasi putusan MK atas hak uji UU KPK dapat menjawab sejumlah pertanyaan berbagai kalangan atas berbagai kejanggalan di dalam putusan MK itu.
Uli mengatakan, permohonan Bram HD Manoppo, rekanan kerja Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh dalam pengadaan helikopter MI-2 buatan Rostov, Rusia, hanya berdasarkan Pasal 68 soal pengambilalihan. Dalam pertimbangan majelis hakim konstitusi disebutkan, Pasal 68 tidak mengandung asas retroaktif, perkara Bram bukan perkara yang diambil alih dan Bram tidak dituntut berdasarkan Pasal 68, tetapi Pasal 6c. MK mempertimbangkan sesuatu yang tidak dimohonkan oleh pemohon, padahal kekuatan hukum pemohon tidak ada, ujar Uli.
Ia mengingatkan, asas hukum yang harus dianut para hakim, yakni hanya memutus apa yang dimohonkan, tidak bisa menjawab sesuatu yang sama sekali tidak dimohonkan oleh pemohon. Dikatakannya, Pemohon tidak mengajukan permohonan soal Pasal 70 dan Pasal 72, tetapi MK di dalam pertimbangannya menjawab Pasal 70 dan Pasal 72 yang sama sekali tidak dimohonkan.
Seharusnya pertimbangan majelis hakim... cukup menjawab, Pasal 68 tidak bertentangan dengan konstitusi. MK harus terbuka terhadap eksaminasi publik agar masyarakat mengetahui mengapa MK bisa memutuskan hak uji UU KPK dengan putusan dan pertimbangan yang berbeda. (Kompas, 18/2).
JUGA perlu dipersoalkan apakah KPK dibentuk hanya untuk memfokuskan tugasnya pada kasus-kasus korupsi sebelum pembentukannya dan lebih mencegah jangan sampai kasus-kasus korupsi terjadi lagi di masa depan, seperti dikatakan SBY yang telah dikutip di atas? Berbagai pertimbangan yang melandasi pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang pembentukan lembaga itu berbunyi sebagai berikut:
a. ...pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan optimal. Karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena....
b. ...lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi;
c. ... sesuai dengan...perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; (cetak miring oleh penulis).
PENULIS memang bukan seorang ahli hukum dan mungkin tidak at home dengan bahasa hukum. Namun, jelas penulis ini sekurang-kurangnya tidak buta huruf, mahir berbahasa Indonesia, dan masih memiliki cara pikir yang cukup logis dan masuk akal, belum pikun. Politisi mungkin mempunyai cara pikir yang berbeda karena kepentingan yang berbeda pula. Meski demikian, hendaknya mereka tidak menggunakan perbedaan itu untuk mengibuli rakyat.
Kegagalan adalah manusiawi. Dan kita tahu, bangsa ini sedang menghadapi banyak masalah berat, rumit, tali-temali, padahal sebagian besar, seperti masalah korupsi, kemiskinan, kesenjangan sosial, yang merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang mencolok, dan sebagainya, merupakan persoalan yang mendesak, tetapi tidak akan bisa diselesaikan oleh pemerintahan mana pun dalam waktu singkat. Kita memerlukan beberapa generasi untuk melaksanakan reformasi di segala bidang kehidupan bangsa dan negara kita agar kian mendekati cita-cita kesejahteraan rakyat.
Menutup-nutupi kegagalan dengan cara-cara tidak jujur, tidak akan menguntungkan. Karena itu sebenarnya merupakan suatu kebodohan dan pikiran gegabah merencanakan sasaran-sasaran (targets) kebijakan dalam kurun waktu seratus hari untuk negeri ini. Pemerintahan SBY perlu belajar dari pengalaman pendahulunya pasca-Soeharto, yang tidak berhasil mencapai keberhasilan kebijakannya dalam waktu singkat, yang memberi kesan sikap latah dan gegabah.
Atau, pemerintahan SBY memang tidak sungguh-sungguh berniat memberantas korupsi? Ini lebih menyedihkan lagi.(J Soedjati Djiwandono Analis Politik, Tinggal di Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 15 Maret 2005