Tarif Busway Bisa (hanya) Tiga Ribu Rupiah

Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan indikasi dugaan korupsi yang merugikan negara/daerah sekitar Rp. 62 miliar dalam pengadaan dan oprasional bus transjakarta koridor 4,5,6, dan 7 pada tahun 2007-2009. Sebelumnya pada tahun 2006 diketahui bahwa pemda DKI berencana mengoperasikan transjakarta koridor 4 sampai 7, kemudian pada tanggal 20 Juli 2006 Dinas Perhubungan DKI Jakarta memberitahukan kepada perusahaan bus kota perihal pengadaan kendaraan. 

File presentasi oleh Leo Nugroho, unduh disini ...

 

Pada kenyataannya dalam proses pengadaan bus transjakarta koridor tersebut ditemukan beberapa penyimpangan. Pertama, penunjukan langsung konsorsium sebagai operator busway koridor 4,5,6, dan 7. Penunjukan konsorsium untuk menjadikan operator busway karena sebagai bentuk akomodasi terhadap perusahaan-perusahaan yang trayeknya terkena dampak langsung terhadap restrukturisasi trayek transjakarta. Alasan tersebut tertuang dalam surat Kepala Dinas Perhubungan No. 3480/-1.811.1 dan dalam Peraturan Gubernur (pergub) DKI Jakarta No. 123 tahun 2006 pada tanggal 7 desember 2006. Kemudian dalam pasal 1 ayat 11 pergub tersebut disebutkan bahwa konsorsium merupakan penggabungan-penggabungan beberapa perusahaan angkutan umum buskota yang terkena dampak restrukrisasi. Yang jadi masalah menurut Febri yang merupakan peneliti hukum ICW adalah penunjukan langsung konsorsium oleh PT Jakarta Mega Trans (PT JMT) dan T Jakarta Trans Metropolitan (PT JTM) sebagai operator bus transjakarta koridor 4,5,6, dan 7 karena melanggar prosedur Keppres tahun 2003 khususnya tentang pengadaan barang dan jasa dan harus diperhatikan bahwa penunjukan konsorsium langsung dilakukan terlebih dahulu sebelum tarif resmi pemerintah diberlakukan. Febri menambahkan bahwa pembentukan konsorsium juga tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena pergub no. 123 tahun 2006 yang mengatur penetapan operator bus, baru disahkan pada tanggal 7 desember 2006. Artinya, diduga kuat pergub tersebut dikeluarkan untuk meligitimasi penunjukan langsung operator busway koridor 4,5,6, dan 7.

Kedua, operasional operator konsorsium hanya berdasarkan surat perintah kerja (SPK). Ini diperkuat oleh surat nomor 042/JTM/BLU/VI/2007 tentang permohonan penetapan tarif dari PT JMT dan PT JTM. Salah satu materi surat ini menyebutkan:

“bahwa salama ini kami beroperasi dengan tarif Rp/km berdasarkan Surat Perintah Kerja (SPK) No. 005/007.922 tanggal januari 2007…”

Menurut pasal 31 ayat 4 keppres 80/2003 disebutkan bahwa pengadaan dengan nilai diatas Rp. 5.000.000,00 sampai 50.000.000,00, bentuk kontrak berupa SPK tanpa jaminan pelaksanaan. Dalam operasional koridor 4,5,6,dan 7 membutuhkan sejumlah armada bus lebih dari 100 bus yang tentunya akan bernilai lebih dari 50 juta. Ini artinya kerjasama operasi operator konsorsium seharusnya didasarkan atas kontrak bukan SPK. Dengan demikian jika melihat mengacu pada pedoman pasal 31 ayat  5 keppres 2003 pengadaan diatas 50 juta harus berupa kontrak pengadaan barang/jasa (KBBJ) dengan jaminan pelaksanaan. Dengan demikian jelas bahwa pemberian SPK kepada operator konsorsium telah melanggar hukum.

Ketiga dalam penentuan konsorsium tanpa tender sehingga terjadi polemik, bahkan pada tahun 2008 dua konsorsium yaitu PT JMT dan PT JTM pernah mengancam akan menghentikan operasional seluruh armada bus yang melayani koridor 4,5,6, dan 7 karena tidak sepakat dengan penyesuaian tarif hasil tender yang ternyata lebih murah. Mengacu pada pergub 123/2006 pasal 7 ayat 1 dan 2, penentuan tarif dilakukan melalui dua mekanisme yaitu negoisasi untuk operator konsorsium dan mekanisme tender untuk operator baru. Sedangkan dalam pasal 3 disebutkan apabila terjadi perbedaan nilai rupiah maka akan dilakukan negoisasi ulang terhadap harga yang lebih tinggi. Mengingat penentuan tarif berkaitan dengan pengadaan armada bus yang bernilai diatas Rp. 50 juta, maka seharusnya tetap mengacu pada Keppres 80 tahun 2003 pasal 17 yaitu dengan cara pelelangan umum. Hal ini karena penyedia bus tidak terbatas, bukan pekerjaan yang kompleks dan tidak dalam keadaan khusus.

Apalagi Badan Layanan Umum (BLU) belakangan melakukan sistem tender tarif yang ternyata hasilnya lebih murah dibanding tarif hasil negoisasi. Tender tarif yang dimenangkan oleh PT Primajasa dan PT Lorena ternyata hanya berkisar Rp. 9.371,74-Rp. 9636,50 (single bus/koridor 4,6,7) dan Rp. 16.661,00 (articulated Bus/koridor 5). Tarif hasil tender jelas menunjukan bahwa tarif yang diberlakukan kepada dua konsorsium sejak tahun 2007 terlalu mahal sehingga merugikan masyarakat serta membebani APBD DKI Jakarta. Setidaknya Agus Sunaryanto, yang merupakan Koordinator Investigasi ICW, menjelaskan tarif yang diberlakukan bisa lebih murah sekitar Rp 2500,00 sampai Rp 3000,00. Hal ini setidaknya dari total dana yang dibayarkan BLU Transjakarta untuk koridor 4,5,6, dan 7 selama tahun 2007 kepada operator konsorsium , 44,86%nya diduga berasal dari APBD. Sedangkan tahun 2008, untuk koridor yang sama APBD juga menyumbang 34,92% dari total jumlah yang dibayarkan kepada konsorsium.  Dari segi hukum tarif yang diberikan kepada konsorsium juga bermasalah karena hanya mengacu pada pergub 123 tahun 2006 yang notabene melanggar peraturan diatasnya yaitu, Keppres 80 tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa.

Table 1: perbandingan besaran tarif antara harga negoisasi (konsorsium) dan hasil lelang koridor 4,5,6,dan 7 selama tahun 2007

Koridor

Bus Km-Tempuh

Harga konsorsium

Harga Hasil Lelang

Selisih

4

2.266.987,7 Km

Rp. 29.210.136.515

Rp. 21.619.128.201,42

Rp. 7.591.008.313,58

5

2.519.853,5 Km

Rp. 32.468.312.348

Rp. 24.030.582.903,12

Rp. 8.437.729.444,88

6

2.679.429,5 Km

Rp. 34.524.449.108

Rp. 25.110.916.622,69

Rp. 9.413.532.458,31

7

2.084.786,4 Km

Rp. 26.862.472.764,5

Rp. 19.686.637.975,57

Rp. 7.175.834.788,93

 

 

 

 

Rp. 32.618.105.032,70

Tabel 2: Perbandingan besaran tarif antara harga negoisasi (Konsorsium) dan Hasil lelang Koridor 4,5,6, dan 7 selama tahun 2008

Koridor

Bus Km-Tempuh

Harga konsorsium

Harga Hasil Lelang

Selisih

4

2.839.518,70 Km

Rp. 31.992.279.952,43

Rp. 23.017.209.570,17

Rp. 8.975.070.382,26

5

3.023.435,90 Km

Rp. 42.817.445.700,42

Rp. 42.817.445.700,42

Rp. 0,00

6

3.524.231,80 Km

Rp. 28.073.956.510,93

Rp. 28.073.956.510,93

Rp. 11.585.805.353,22

7

2.670.360,50 Km

Rp. 21.433.782.071,28

Rp. 21.433.782.071,28

Rp.   8.637.287.300,60

 

 

 

 

Rp. 29.198.163.036,08

Tabel 3: Total Selisih hasil perbandingan tahun 2007 dan tahun 2008

Tahun

Selisih

Tahun 2007

Rp. 32.618.105.032,70

Tahun 2008

Rp. 29.198.163.036,08

Jumlah Total

Rp. 61.816.268.068,78

Pelanggaran hukum tersebut sangat berpotensi merugikan keuangan daerah/negara sebesar Rp 61.816.268.068,78. Dengan demikian, perlu adanya evaluasi dari berbagai stakeholder terhadap pengelolaan bus transjakarta khususnya koridor 4,5,6,dan 7 sehingga uang masyarakat yang digunakan untuk pengadaan bus transjakarta harus tunduk kepada aturan hukum dalam konteks ini pada Keppres 80 tahun 2003 dan yang penting selesaikan proses hukum penyelesaian sengketa tarif antara konsorsium dan BLU di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) – Ghali- Abid

{mospagebreak title=ANALISIS HUKUM } 

ANALISIS HUKUM
Dugaan Korupsi Penetapan Tarif Busway Koridor IV,V,VI,VII

  • Penunjukan Langsung dua konsorsium sebagai Operator Busway Koridor 4,5,6,7 dan penetapan tarif berdasarkan Negoisasi membuat APBD DKI dan masyarakat membayar lebih banyak (dugaan kerugian daerah) sekitar maksimal Rp. 63 miliar.
  • Hal ini diduga MELANGGAR Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
  • Biaya per: kilometer single busway.
  1. Tanpa Tender (penunjukan langsung) Rp. 12.885
  2. Dengan tender berkisar Rp. 9.371,74 sampai dengan Rp. 9.443,0
  • Jika pemilihan Operator dilakukan sesuai dengan Kepres 80 tahun 2003, yakni dengan cara tender, maka:
  1. Ongkos Busway yang dibayar masyarakat (konsumen) akan LEBIH RENDAH
  2. Uang APBD yang digunakan jauh lebih sedikit.
  • Dugaan Kerugian Keuangan Negara/Daerah Rp. 63 miliar

---------------------------------
APAKAH Gubernur Dapat menerbitkan Peraturan yang melanggar Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003?
>> Tentu saja, TIDAK.

  • Peraturan Gubernur Nomor 123 tahun 2006 yang diterbitkan 7 Desember 2006, diduga merupakan aturan yang dibuat untuk melegitimasi atau “membenarkan” disain penunjukan konsorsium dan cara penetapan harga per:kilometer dalam bentuk Negosisasi . Hal ini dapat dilihat dari telah terjadinya komunikasi oleh pihak Dinas Perhubungan DKI, BLU dan perusahaan konsorsium terkait dengan penunjukan langsung dan penetapan tarif secara NEGOSIASI, sehingga menghasilkan harga Rp. 12.885 per: kilometer.
  1. 7 Agustus 2006: Dinas Perhubungan DKI sudah memberitahukan pada Direktur PT Mayasari, Perum PPD, Steadi Safe dan Pahala Kencana tentang pengoperasian pengoperasian koridor 4,5,6,7 akan dioperasikan oleh 2 (dua) Konsorsium dari trayek-trayek yang bersinggungan.
  2. 23 Agustus 2006: Dua konsorsium (PT. JMT dan JTM) mengirimkan surat pada Dinas Perhubungan tentang laporkan kesiapan sebagai operator koridor 4 dan 6 (PT. JTM) serta koridor 5 dan 7 (PT. JMT)
  3. 2 Oktober 2006: Dinas Perhubungan Dki Jakarta Memberikan surat kepada BLU Transjakarta dimana salah satu isinya adalah Operator Busway 4,5,6,7 telah terbentuk.
  4. 17 dan 20 November 2006, PT JTM dan JMT kembali mengirimkan surat pada BLU terkait pengusulan tarif.
  • 21 Juni 2007: Penetapan tarif per kilometer Rp. 12.885,- berdasarkan Keputusan Kepala Biro Perlengkapan Provinsi DKI Nomor 2550/073.532.
  • Dua poin penting yang diatur di Peraturan Gubernur 123/2006:
  1. Pengertian konsorsium yang secara “tersembunyi” menunjuk perusahaan-perusahaan tertentu. Terminologi yang digunakan “perusahaan angkutan umum yang terkena dampat restrukturisasi proyek” >> Pasal 1 butir 11 dan Pasal 4 ayat (1)
  2. Menunjuk Kepala BLU sebagai pihak yang berwenang melakukan PENETAPAN konsorsium. (Pasal 4 ayat (2))>> Tidak boleh hanya penetapan, seharusnya pemilihan operator tunduk pada Kepres 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Karena pembiayaan tarif busway sebagian berasal dari kas APBD.>> Sekecil apapun uang rakyat digunakan untuk membiayai pembelian barang atau jasa, harus mengikuti proses sebagaimana disyaratkan Kepres 80 tahun 2003.
  3. Penetapan harga melalui NEGOISASI antara BLU dengan Konsorsium. >> Pasal 7 ayat (1) >> Pilihan melakukan NEGOISASI merupakan perbuatan berlanjut dengan PENETAPAN (penunjukan langsung) konsorsium.
  • Konsorsium I dan II (PT JMT dan PT JTM) terdiri dari 4 perusahaan yang sama, yaitu: PT. Mayasari Bakti, Perum PPD, PT. Steady Safe dan PT Pahala Kencana.
  • Akibat dari penunjukan langsung dan penetapan harga dengan cara NEGOISASI, maka harus lebih banyak uang diambil dari APBD atau Kas Daerah.
  • Dugaan Kerugian Keuangan Negara/Daerah Rp. 63 miliar

-----------------------
Apakah Gubernur DKI Jakarta ketika menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 123 tahun 2006 dapat dikatakan telah menyahgunakan kewenangannya?

>> Hal ini yang harus dijawab oleh Penyidik di KPK, dengan mempertimbangkan aturan Undang-undang yang mengatur tentang Kewenangan Gubernur DKI.

----------------------

  • Pada tahun Januari 2008, dilakukan tender untuk penunjukan Operator untuk lokasi yang lain tetapi masih di koridor 4,5,6,7.
  • Pemenang tender adalah PT Lorena dan PT Primajasa dengan harga terkecil Rp. 9.371, 74 (koridor 6) dan Rp. 9536,50 (koridor 4) untuk single bus.
  • Terbukti jika proses tender dilakukan, harga per:kilometer yang didapatkan lebih murah dibanding penunjukan langsung dan negosiasi harga seperti dilakukan terhadap Konsorsium PT. JTM dan PT. JMT sebelumnya.
  • Seharusnya Konsorsium berkewajiban menyesuaikan harga jika ada operator baru dan harga baru berdasarkan tender.
  • Konsorsium MENOLAK dan meminta NEGOSIASI harga ulang.
  • Saat ini sedang terjadi proses hukum penyelesaian sengketa “tarif per:kilometer” antara Konsorsium dan BLU di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan