Telaah Yuridis PP No 21/2007
Pemerintah dalam menentukan kebijakan tentang kedudukan keuangan dan protokoler pimpinan dan anggota DPRD selalu menimbulkan polemik saat implementasinya.
Berlakunya PP No 110/ 2000, banyak pimpinan dan anggota DPRD masuk penjara. PP No 24/2004 yang telah mengalami perubahan tiga kali, yaitu PP 37/2005, PP No 37/2006, dan PP No 21/2007, juga menimbulkan polemik. Di antaranya tentang tunjangan kesehatan, tunjangan perumahan, dan terakhir dana rapel.
PP No 21/2004, jika dikaji, hanya mengatur empat hal yang substansial. Pertama, selain penghasilan yang diatur dalam pasal 10 PP No 24/2004, pimpinan dan anggota DPRD mendapatkan tunjangan komunikasi intensif (pasal 10 A) dan penerimaannya terhitung mulai Januari 2007 (merapel). Besarnya TKI disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah yang dikelompokkan tinggi, sedang, dan rendah.
Pengelompokan kemampuan daerah tersebut diatur dalam Permendagri dengan memperhatikan pertimbangan menteri keuangan.
Kedua, pasal 24 A PP No 21/2007 menambahkan pos belanja penunjang operasional pimpinan (BPOP) di samping belanja penunjang kegiatan sebagaimana yang diatur dalam pasal 24 PP No 24/2004. BPOP diberikan satu bulan berikutnya setelah PP No 21/2007 diundangkan/berlaku, yaitu April 2007.
Ketiga, dana operasional (PP 37/2006) diubah menjadi belanja penunjang operasional pimpinan (PP No 21/2007) yang tidak lagi sebagai penghasilan/gaji.
Keempat, pimpinan dan anggota dewan yang telah menerima uang rapel tunjangan komunikasi dan dana operasional berdasar PP No 37/2006 wajib mengembalikan ke kas daerah dengan cara sekaligus atau mengangsur sampai satu bulan sebelum berakhirnya masa bakti anggota DPRD 2004-2009.
Pemberian TKI dan BPOP
PP No 37/2006 dan PP No 21/2007 sama-sama memberikan dana rapel TKI. Perbedaannya, PP No 37/2006 memberlakukan surut terhitung 1 Januari 2006, sedangkan PP No 21/2007 memberlakukan surut terhitung 1 Januari 2007. Ketentuan seperti itu masih berpotensi untuk dipermasalahkan karena pemberian dana rapel (berlaku surut) bertentangan dengan prinsip hukum.
Policy (kebijakan) pemerintah yang dituangkan PP No 37/2006 maupun PP No 21/2007 terkait dengan dana rapel masih bersifat sumir (kabur). Hal tersebut terkait dengan tidak diaturnya prosedur penganggaran dan mekanisme pencairannya. Atas dasar itu, dengan kewenangan diskresinya, pimpinan DPRD menentukan mekanismenya sendiri dalam pencairan dana rapel.
Dari sudut pandang hukum administrasi, policy (in.casu PP) tidak dapat dinilai hakim pidana karena pembuat PP tidak dapat dijatuhi pidana dengan produk PP yang salah. Namun, diskresi (kewenangan bebas) dari pimpinan DPRD tersebut dapat dinilai hakim pidana. Jika dalam penggunaan diskresi ada unsur penyalahgunaan wewenang/ melawan hukum, pelakunya dapat dijatuhi pidana.
Untuk melaksanakan diskresi, pimpinan dewan wajib memperhatikan norma hukum yang berlaku dalam pengelolaan keuangan negara/daerah, yaitu UU tentang Keuangan Negara, UU tentang Perbendaharaan Negara, UU tentang Pemerintahan Daerah, dan PP tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pimpinan dewan dalam menyikapi peraturan yang tidak jelas wajib melakukan penafsiran sistematis karena berlakunya PP tidak bisa dilepaskan dari aturan hukum lain. PP tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD merupakan subsistem dari peraturan hukum tentang Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah.
Jika dalam melaksanakan diskresi bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku (aturan tentang pengelolaan keuangan negara/daerah), pimpinan dan anggota DPRD dapat dinyatakan menyalahgunakan wewenang/melawan hukum.
Tujuan diberikan TKI adalah mendorong peningkatan kinerja pimpinan dan anggota DPRD. Sementara itu, belanja penunjang operasional pimpinan diberikan dalam rangka menunjang kegiatan operasional yang berkaitan dengan representasi, pelayanan, dan kebutuhan lain guna melancarkan pelaksanaan tugas pimpinan DPRD sehari-hari.
TKI dimasukkan dalam nomenklatur penghasilan yang dianggarkan dalam Pos DPRD (pasal 10 A), sedangkan BPOP masuk nomenklatur belanja penunjang kegiatan DPRD yang dianggarkan dalam Pos Sekretariat DPRD. Penggolongan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa penggunaan BPOP harus dapat dipertanggungjawabkan.
Laporan pertanggungjawaban (LPJ) atas dana TKI termasuk objek pemeriksaan BPK, yaitu jenis pemeriksaan kinerja. BPK dalam memeriksa kinerja menggunakan parameter aspek ekonomi, efisiensi, serta efektivitas.
Jika dari hasil pemeriksaan ternyata kinerja pimpinan dan anggota dewan tidak meningkat, BPK dapat memberikan rekomendasi kepada pejabat (pimpinan DPRD). Jika pejabat tersebut tidak melaksanakan rekomendasi tersebut, dia dapat dikenai sanksi administratif.
BPOP masuk dalam nomenklatur belanja penunjang kegiatan DPRD. Karena itu, LPJ atas BPOP masuk dalam pemeriksaan keuangan. Jika ditemukan indikasi unsur pidana, hal itu berimplikasi pada tindak pidana (korupsi).
Panggar eksekutif dan legislatif perlu mencermati saat menyusun dana BPOP. Sebab, dalam SE Mendagri No 188.31/006/BAKD tanggal 4 Januari 2006, ada beberapa larangan atas penggunaan anggaran belanja penunjang kegiatan DPRD. Di antaranya, BPOP tidak diperbolehkan untuk pembayaran tunjangan representasi. Di sisi lain, BPOP yang masuk nomenklatur belanja penunjang kegiatan dapat dipergunakan untuk membayar tunjangan representasi.
Dr Nur Basuki Minarno, SH,MHum, dosen Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 30 Maret 2007