Tentang Rasa Keadilan
Semua orang tahu pemerintah selalu berada dalam posisi dilematis setiap kali harus menaikkan harga BBM. Jika tidak dinaikkan puluhan triliun rupiah menguap percuma, kalau dinaikkan hidup akan semakin sulit karena harga kebutuhan sehari-hari membubung tinggi.
Masuk akal jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan dia siap dipandang tidak populer oleh rakyat. Dengan perolehan suara lebih dari 60 persen dalam pemilihan presiden, Yudhoyono mempunyai legitimasi yang kuat untuk mengambil keputusan yang paling kontroversial sekalipun.
Masalahnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan segera disambut oleh demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di berbagai kota. Demonstrasi mahasiswa, apalagi kalau didukung sopir kendaraan umum atau ibu rumah tangga misalnya, merupakan inspirasi yang murni dan wajib didengarkan oleh pemerintah maupun parlemen.
Kita khawatir, seperti halnya di masa lalu, demonstrasi-demonstrasi seperti itu akan mengakibatkan krisis politik. Juga seperti di masa lalu, krisis politik biasanya mengakibatkan terjadinya instabilitas atau guncangan lain seperti ambruknya nilai mata uang rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) atau urungnya modal asing masuk ke sini.
Jika melihat kembali ke belakang, sebenarnya rencana kenaikan ini sudah dipersiapkan pemerintah dengan rencana untuk mengadakan sosialisasi tentang ihwal kenaikan harga BBM tersebut. Bahkan disebut-sebut oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil bahwa sosialisasi itu juga ditujukan ke berbagai kalangan, termasuk informal leaders.
Namun, sosialisasi itu kurang berjalan. Oleh sebab itu, banyak orang yang terkejut setelah membaca iklan layanan pemerintah di harian ini hari Sabtu (26/2) lalu.
Iklan yang diprakarsai Freedom Institute itu menampilkan dukungan para intelektual yang mengatakan pencabutan subsidi BBM akan mengurangi kemiskinan. Tentunya kenaikan harga BBM akan diikuti kenaikan harga berbagai macam barang. Satu kata yang cukup menghantui mereka yang mempunyai penghasilan tetap, kata seorang pembaca yang bersikap kritis atas pemuatan iklan itu.
Andaikan sosialisasi dilakukan sesuai dengan rencana ke berbagai tempat di Tanah Air, hasilnya tentu akan lain.
Ingat saat kenaikan harga gas elpiji, bahan bakar minyak pertamax dan pertamax plus diumumkan? Para pengguna ketiga produk itu, yang konon masuk kategori rakyat berkecukupan, praktis bisa menerima.
Tidak ada pejabat pemerintah yang berterima kasih bahwa orang-orang kaya mau berkorban. Justru yang terjadi, kalangan pemakai BBM mahal itu menjadi sasaran iklan negatif di televisi.
Rakyat ingin dihibur, juga diucapkan rasa terima kasih. Di mana pun hubungan antara pemerintah dan rakyat selalu bersifat tit-for-tat atau berasas timbal balik.
ANGGAP saja kenaikan harga BBM merupakan keputusan yang bertujuan menyelamatkan sebuah nyawa. Katakanlah kenaikan harga itu dianalogikan dengan seorang korban kecelakaan motor yang oleh para dokter harus dioperasi jantungnya.
Tentu yang pertama-tama dilakukan oleh dokter-dokter adalah merawat dulu sang pasien supaya fit waktu berada di atas meja operasi. Kakinya yang luka-luka lecet diobati, tekanan darahnya dibuat stabil, kepalanya dicek dengan peralatan modern untuk mengetahui apakah gegar otak sudah terjadi atau tidak.
Jantung pasien yang bernama Indonesia itu sebetulnya belum siap dioperasi. Sudah terlalu banyak terjadi pembiaran yang, disengaja atau tidak, membuat luka-luka di sekujur tubuh sang pasien menjadi semakin parah dan bahkan menjadi busuk.
Luka-luka itulah yang bernama rasa keadilan. Sudah terlalu sering rasa keadilan itu dibiarkan menjadi bertumpuk-tumpuk, membuat rakyat menjadi apatis.
Sekadar mengingatkan, pembiaran-pembiaran itu pasti akan menumpuk. Pada gilirannya, ia bisa mengakibatkan sebuah pembusukan politik (political decay).
Pembiaran-pembiaran terhadap rasa keadilan itu bisa disebutkan satu per satu.
Belakangan ini sering terjadi bencana alam, yang terbesar adalah tsunami di Aceh dan wilayah sekitarnya. Dunia internasional dan masyarakat kita menunjukkan rasa simpati dan memberikan bantuan yang tidak terhitung banyaknya.
Perhatian, simpati, dan bantuan itu tidak diimbangi oleh sikap transparan para pejabat pemerintah. Sejak dulu kita sudah menunggu datangnya pengumuman berapa sebenarnya jumlah bantuan yang masuk dan bagaimana pengelolaannya?
Hati saya tersentuh ketika lebih dari 400 warga Iran terkena bencana gempa bumi yang cukup besar. Di tengah perhatian dunia internasional terhadap Aceh, kok tidak ada pernyataan resmi pemerintah yang menyatakan ikut berkabung dan memberikan bantuan?
Pembiaran pada tahap awal pemerintahan ini adalah ketika terjadi tabrakan yang melibatkan iring-iringan Kepala Negara dengan beberapa kendaraan di Jalan Tol Jagorawi. Sampai saat ini belum ada penjelasan tentang penyebab kecelakaan: sopir bus atau polisi?
Pembiaran lainnya menyangkut perlunya beberapa menteri diganti karena terbukti tidak performed sesuai dengan rencana. Dalam aksi para mahasiswa kemarin, salah satu tuntutan mereka adalah meminta Presiden Yudhoyono mengganti tiga menteri bidang ekonomi.
Begitu juga dengan penyidikan kematian Munir di pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan ke Amsterdam, Belanda. Hingga kini tidak ada kejelasan mengenai penyidikannya dan juga memicu spekulasi politik yang tidak-tidak.
Kita bergembira ketika Presiden Yudhoyono menyatakan akan langsung memimpin pemberantasan korupsi. Apakah rakyat sudah cukup puas dengan berbagai upaya pemberantasan korupsi?
Rakyat malahan heran, kok Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malahan ribut soal siapa yang pantas menjadi maling dan siapa pula yang cocok menjadi ustadz.
Awal April 2005, Jakarta dan Bandung akan menjadi tempat perayaan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika, yang diadakan secara besar-besaran, yang menghabiskan dana dalam jumlah raksasa. Ketika hidup semakin susah, apakah kita pantas memilih mengadakan komedi ketimbang memakan roti?
Kita menghendaki kenaikan harga BBM ini tidak menimbulkan gejolak politik yang tidak perlu. Namun, semua orang mengharapkan setelah kenaikan harga BBM ini tidak akan terjadi lagi pembiaran-pembiaran tersebut.
Tidak ada yang mau penyakit pasien bernama Indonesia ini menjadi semakin parah dan dibiarkan sampai akhirnya mati.(Budiarto Shambazy, e-mail: bas2806@kompas.com )
Tulisan ini diambil dari rubrik politika Kompas, 1 Maret 2005