Tepis Sebutan Jompo, Hakim Agung Beber Kiat Jaga Kebugaran
Tuntaskan 10 Perkara Per Hari dengan Madu Kuat Lelaki
Banyak di antara hakim agung yang bertugas di Mahkamah Agung berusia kepala enam. Namun, mereka menolak dianggap jompo alias lemah fisik karena sudah tua. Bagaimana kiat mereka menjaga kebugaran tubuh agar tetap bisa menangani ribuan perkara?
SUYUNUS RIZKI, Jakarta
ADA insiden kecil di gedung Mahkamah Agung sebelum pergantian tahun 2009 lalu. Hari itu Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin A. Tumpa siap melantik enam hakim agung baru. Namun, Harifin yang tampak gagah dengan baju kebesaran (toga) tiba-tiba terhuyung. Andai tak cepat ditolong kolega yang berdiri di sebelahnya, tubuh lunglai itu terjerembab ke tanah. Prosesi memang berlanjut meskipun Harifin -yang hari itu sedang sakit asam urat- sambil duduk.
Harifin, si hakim senior itu, memang berusia 66 tahun. Bagi sebagian orang, itu usia yang lebih dari cukup untuk pensiun dan menimang cucu. Namun, dengan undang-undang tentang MA yang baru disahkan DPR, Harifin masih bisa berdinas empat tahun lagi. Bahkan, kini dia menjadi kandidat kuat ketua MA yang baru.
Tugas para hakim agung memang tidak ringan. Sisa perkara di MA hingga akhir 2008 lebih dari delapan ribu. Menghadapi tumpukan ribuan perkara itu, hakim agung harus punya fisik yang amat sehat. Seperti insiden yang terjadi pada Harifin, sebagian masyarakat dan LSM menilai bahwa usia rata-rata hakim agung yang 65 tahun sudah uzur untuk memikul tugas aman berat itu.
Namun, anggapan perpanjangan usia pensium hakim agung dari 65 tahun ke 70 tahun itu membuat gedung MA jadi ''panti jompo'' ditolak beberapa hakim agung.
''Masak kami dibilang jompo, Mas. Padahal, kami masih sanggup menyelesaikan lebih dari 10 perkara tiap hari,'' kata I Made Tara, salah seorang hakim agung, saat ditemui Jawa Pos di kantornya.
Mantan ketua Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali, itu termasuk salah seorang hakim agung yang terbuka membahas isu-isu mutakhir soal hakim agung. Menurut Made, para hakim agung tidak menutup diri terhadap kritik. Namun, kritik tersebut harus membangun dan tidak untuk menjerumuskan. ''Kami ini bekerja secara profesional dan tidak pernah mengeluh atas pekerjaan,'' ujar pria yang pada Desember 2008 genap berusia 65 tahun itu.
Made mengatakan, dirinya selama ini tidak pernah mengalami gangguan kesehatan saat menjalankan tugas. Bahkan, dia mengklaim pernah menyelesaikan puluhan berkas perkara dalam sehari. ''Sampai jam segini saja (saat bertemu Jawa Pos sekitar pukul 15.00 WIB, Red), lebih dari 10 berkas perkara sudah saya selesaikan,'' katanya.
Made adalah salah seorang hakim yang ikut mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dua pria korban salah tangkap, Imam Hambali alias Kemat dan Devid Eko Priyanto, di Jombang, Jawa Timur. Saat memutus perkara itu, Made didampingi dua hakim agung lain, Artidjo Alkotsar dan Djoko Sarwoko.
''Karena itu, saya berharap agar masyarakat bisa secara jernih menilai kinerja hakim. Jangan terpengaruh kritik yang tidak benar,'' harapnya.
Soal kesehatan, kata dia, dirinyaa yakin bahwa semua hakim agung benar-benar menjaga kesehatan. Buktinya, kata Made, tidak ada pekerjaan yang terbengkalai. MA sendiri secara rutin menggelar checkup kesehatan -tiap enam bulan hingga setahun sekali- bagi para hakim agung. Hasilnya, dalam kurun enam bulan terakhir, tidak ditemui para hakim mengalami sakit yang kronis.
Ditanya tentang kiat sehatnya, Made mengaku selalu memaksakan diri tidur di rumah setiap pukul 21.00. "Tapi, kalau memungkinkan, saya tidur di bawah jam 9 malam,'' paparnya.
Paginya Made selalu bangun pukul 03.30. Sebelum berangkat ke MA pada pukul 06.00, Made selalu menyempatkan diri berjalan kaki setengah jam keliling sekitar apartemennya di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Setiap pagi, pria yang dilantik sebagai hakim agung pada 2004 itu juga melaksanakan sembahyang Tri Sandhya. Pada ajaran Hindu, sembahyang Tri Sandhya dilakukan tiga kali sehari, yakni pagi, siang, dan sore atau malam hari. Setelah melakukan rutinitas olahraga dan ibadah pagi itu, Made langsung menuju kantor.
''Soal makanan, saya tidak rakus. Tidak ada pantangan. Saya hanya membatasi makan daging saja. Biasanya saya makan ayam, ikan, dan tahu tempe,'' katanya.
Pria bertubuh ramping itu hampir tidak pernah makan di luar. Dia selalu berusaha makan di rumah. Kalau ke kantor, dia selalu membawa bekal. ''Kecuali saat sidang yang dapat nasi kotakan, baru saya makan nasi kotakan. Saya juga tidak suka ngemil (jajanan/makanan kecil),'' kata Made yang sesekali pada Sabtu dan Minggu berolahraga golf itu.
Made juga tidak pernah mengeluh soal kesehatannya. ''Gula saya normal. Tekanan darah juga normal. Tapi, saya memang ada radang usus. Karena itu, saya menghindari makanan pedas,'' katanya.
Hakim agung yang lain, M. Hamdan, juga tidak melupakan menjaga kondisi tubuh agar bisa bekerja dengan baik. Hakim ramah dan murah senyum itu juga tidak sepakat dengan kata jompo. ''Masak dibilang jompo, ada-ada saja. He he he," katanya mengawali pembicaraan di ruangannya, lantai 3 gedung MA.
Di usianya yang 64 tahun (lahir Juli 1944), Hamdan memang masih terlihat segar. Tawa renyah selalu mengiringi saat menjawab pertanyaan. ''Saya selalu minum madu. Ini madu dari Kendari yang selalu ada di meja saya,'' katanya sambil menunjukkan botol yang madunya mulai menipis.
Agar lebih prima, Hamdan biasa masukkan bawang putih yang tak bercabang/bonggol tunggal ke dalam madu yang akan dikonsumsi. ''Itu menjadi ramuan madu kuat lelaki. Mas juga perlu mimun itu,'' katanya seperti memberi advis kepada Jawa Pos.
Bagi Hamdan, tidak ada kata tua selama bertugas. Apalagi, dia mengaku mampu bekerja dengan cepat. Saat masuk MA pada 2003, ruang kantornya (berukuran 6 x 4 meter) penuh berkas perkara. Tidak itu saja, Hamdan juga pernah menerima "bonus" satu lemari berkas perkara. ''Tapi, karena tugas sebagai hakim adalah ibadah, saya jalani dengan senang. Sekarang tidak ada lagi berkas yang menumpuk,'' katanya.
Seperti yang dilihat Jawa Pos, di meja Hamdan memang hanya terlihat empat berkas perkara. Dua berkas sisa 2007 dan dua lagi sisa 2008. ''Jadi, bagaimana saya dibilang jompo. Padahal, tugas pekerjaan dilakukan dengan baik dan tidak pernah terbengkalai,'' ujarnya.
Sama dengan Made, Hamdan tidak pantang makanan. Asal halal dan sehat, semua makanan dilahap. ''Yang wajib hanya madu yang dicampur bawang putih itu,'' katanya.
Jika Made rajin main golf, olahraga Hamdan adalah olahraga semiliar umat alias jalan kaki. ''Saya jalan kaki di sekitar tempat tinggal setiap habis salat Subuh,'' tambah pria yang lama bertugas di Pengadilan Tinggi Agama Ambon itu.
Pria dengan empat anak itu mengakui, selain jalan kaki, tidak ada yang khusus untuk olah badan. Namun, setiap malam dia berusaha melaksanakan salat tahajud untuk mendapat ketenangan jiwa. "Dengan tahajud, kita dapat olahraga, olah badan, sekaligus olah jiwa. Semua itu positif dan mendukung kerja saya,'' katanya.
Hamdan yang tidur setiap pukul 9 malam dan bangun pukul 03.30 mengaku selalu berusaha menyempatkan wiridan serta membaca surat Yasin 41 kali tiap malam. ''Dengan paduan makanan yang sehat dan halal serta ibadah dengan baik, dengan izin Allah SWT kita bisa bekerja dengan baik,'' katanya. (el)
---------------
Hakim Agung Rutin Checkup
Rapat pleno Mahkamah Agung kemarin memutuskan segera menggelar pemilihan ketua Mahkamah Agung. Pemilihan ketua MA digelar akhir Januari dan berhak diikuti oleh seluruh hakim agung.
"Hanya mekanismenya belum diputuskan, apakah satu babak atau dua babak," ujar Wakil Ketua MA Harifin A. Tumpa di gedung MA kemarin (7/1).
Dalam pemilihan ketua MA sebelumnya, Bagir Manan terpilih sebagai ketua MA setelah pemilihan dua babak. Pada babak pertama, seluruh hakim agung diminta menuliskan tiga nama hakim agung yang dinominasikan untuk menjadi ketua MA. Tiga nama paling atas lantas diperas lagi menjadi satu nama. "Pekan depan kita rumuskan mekanismenya," katanya.
Harifin sendiri mengaku siap mengikuti pemilihan ketua MA pada akhir Januari. Hakim berusia 66 tahun tersebut menilai dirinya memiliki kemampuan kesehatan untuk mengemban jabatan hingga berusia 70 tahun.
"Rapat pleno pimpinan MA tadi memutuskan semua hakim agung memiliki kesempatan dan hak untuk memilih dan dipilih menjadi ketua MA. Saya serahkan pada para hakim agung. Saya tidak mempersiapkan diri secara khusus, karena semua hakim agung punya hak yang sama," katanya.
Beberapa hari terakhir, kondisi kesehatan Harifin menjadi perhatian sejumlah media menyusul peristiwa ambruknya Harifin saat mengucapkan sumpah jabatan sebagai pelaksana tugas ketua MA pada 30 Desember lalu. "Orang boleh menilai bagaimana tentang saya. Yang jelas, setelah pelantikan hakim agung itu, saya tidak pernah absen masuk kantor. Saya juga langsung memimpin sidang 32 perkara," katanya. "Kram kaki itu kan bukan penyakit serius. Semua orang juga bisa kena kram," kilahnya. (noe/yun/agm)
Sumber: Jawa Pos, 8 Januari 2009
-------------------------
Hindari Lift, Lewat 90 Anak Tangga Setiap Hari
Seorang hakim agung boleh punya belasan cucu. Namun, soal kinerja, mereka mengklaim masih bisa mengejar yang muda. Buktinya, mereka selalu melampaui target ''setoran'' penyelesaian berkas perkara yang ditetapkan ketua Mahkamah Agung.
SUYUNUS RIZKI, Jakarta
AHMAD Sukardja adalah sosok hakim agung sepuh yang energik. Saat ditemui di Gedung Mahkamah Agung (MA) kemarin, dia malah mengajak Jawa Pos mengobrol sambil berjalan.
Langkahnya masih tegap saat mengelilingi sebagian koridor di lantai III Gedung MA. Sambil menghirup udara segar, dia terlihat antusias menjawab soal perpanjangan usia hakim agung menjadi 70 tahun.
''Kalau soal Pak Harifin (Harifin A. Tumpa, wakil ketua MA, yang jatuh saat bertugas), semua orang bisa mengalami. Beliau itu kan kram biasa. Para hakim agung tidak ada yang menderita sakit serius,'' kata Sukardja.
Menurut Sukardja yang masuk MA dari unsur akademisi tersebut, kunci terpenting seorang hakim agung adalah tidak lelet dalam menyelesaikan berkas perkara. Dia lalu mencontohkan aktivitas kerjanya. Dalam sebulan, Sukardja, 66, mampu merampungkan lebih dari 100 berkas perkara.
Pada Oktober 2008 misalnya, dia menyelesaikan 150 berkas pemeriksaan perkara. Lalu, bulan berikutnya turun menjadi 101 perkara. Bulan lalu (Desember 2008) naik lagi menjadi 112 berkas yang tuntas.
''Artinya, kami mampu melebihi target yang diberikan Ketua MA Pak Bagir Manan dulu. Dua kali lipat di atas target,'' ujar Sukardja bangga. Bagir Manan, kata dia, memberi target hakim agung harus menuntaskan 60 berkas perkara tiap bulan.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu selalu tertantang menyelesaikan perkara dengan cepat karena menyadari pentingnya posisi hakim agung. ''Para pencari keadilan tidak boleh terlalu lama menunggu perkara tuntas,'' katanya.
Guru besar hukum Islam bidang fiqh siyasah (tata negara dan politik Islam) tersebut selalu menjaga kesehatannya. ''Alhamdulillah, tidak ada masalah dengan kesehatan saya. Paling-paling sakit gigi dan masuk angin,'' ungkap dosen Pascasarjana Universitas Indonesia dan Universitas Muhammadiyah tersebut.
Soal makanan, kakek 10 cucu dari dua putra dan tiga putri tersebut tidak mempunyai pantangan. Kecuali, mengurangi yang pedas-pedas. ''Bahkan, saya masih sering makan kambing guling,'' ujar hakim agung sejak 2003 itu bangga.
Sukardja membiasakan tidur sejak pukul 20.00 atau 21.00. Lalu, sekitar pukul 01.00 atau 02.00, dirinya bangun. Setelah salat malam, dia melanjutkan menulis. ''Saya selalu menulis sekitar pukul dua malam. Saya lakukan sebelum atau sesudah salat tahajud,'' katanya.
Kondisi yang sama terpotret pada diri Hakim Agung Artidjo Alkostar. Meski, dibanding koleganya, Artidjo termasuk yang paling muda. Usianya ''baru'' 60 tahun. Dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta tersebut juga menyayangkan pemberitaan yang kurang tepat soal hakim agung.
''Menurut saya, berita-berita soal hakim agung yang dinilai tidak mampu bekerja karena terbentur usia sangat tidak tepat,'' tegas pria kelahiran Situbondo, Jatim, 22 Mei 1948 tersebut.
Seperti hakim agung yang lain, sehari-hari Artidjo fokus menangani perkara di pengadilan tertinggi itu. Saat wawancara dengan Jawa Pos, ada lebih dari satu meter tumpukan perkara korupsi yang antre diperiksa. ''Ya beginilah kerja hakim agung. Kami kerja keras memberi keadilan bagi masyarakat, namun masih saja cacian yang kami dapat,'' ujarnya lantas tersenyum.
Sebelum menjadi hakim agung, Artidjo dikenal sebagai advokat. Dia menangani beberapa kasus penting. Di antaranya, anggota Tim Pembela Insiden Santa Cruz di Dili (Timor Timur 1992) dan ketua tim pembela gugatan terhadap Kapolri dalam kasus Udin (wartawan Bernas Fuad M. Syafruddin). Karena merasa sehat, Artidjo juga mengaku tidak punya pantangan makan.
Soal menjaga kebugaran fisiknya, dia punya cara sederhana. ''Saya tidak menggunakan lift menuju ruangan saya di lantai 3 ini. Saya naik tangga saja. Ada lebih dari 45 anak tangga. Kalau dikali dua, total saya melahap 90 anak tangga tiap hari. Itu membuat tubuh saya sehat,'' tegas doktor dari Universitas Diponegoro Semarang tersebut.
Hakim agung lain yang bersemangat diajak ngobrol soal pekerjaan di MA adalah Mansur Kartayasa. ''Meski kecewa dengan isu usia hakim agung, kami tetap sabar saja. Kami harus menunjukkan dengan bekerja yang baik, benar, dan sungguh-sungguh,'' katanya di ruangannya.
Majelis hakim yang tergabung dalam Tim G dan J (antara lain membidangi tahanan dan korupsi) itu saat ini sedang memasuki tahun kesembilan masa kerja sejak dilantik pada 2003. Dia biasa menolak tamu datang ke ruangan, meski itu kerabat sendiri.
Mansur mengaku selalu mengingatkan diri sendiri untuk tidak berkomunikasi dengan pihak luar selama bertugas atau sedang memeriksa perkara. ''Komunikasi dengan sesama hakim agung saja terbatas, apalagi dengan orang luar. Prinsip saya, harus bekerja dengan bersih, independen, dan profesional,'' tegasnya.
Hakim agung yang sudah punya 12 cucu tersebut membantah keras bahwa para hakim agung tidak bisa bekerja maksimal. ''Hari ini saja (kemarin pukul 16.00 WIB), saya sudah menyelesaikan 53 berkas perkara yang dimusyawarahkan dengan hakim agung lain. Lihat, kondisi saya masih segar. Bahkan, saya masih bersedia wawancara dengan Anda,'' katanya lantas tersenyum.
Pria yang akan memasuki usia 67 tahun pada Juli 2009 itu bersemangat menunjukkan tumpukan berkas perkara di mejanya. Hampir satu meter berkas perkara memang tampak di meja Mansur. Rata-rata perkara tahanan dan korupsi. Tiap hari, pria yang hobi golf tersebut mengaku mampu menyelesaikan 15-20 perkara.
''Hakim agung memang harus sehat. Hilang konsentrasi sedetik saja, hilang pula kontinuitas memeriksa perkara,'' kata satu-satunya hakim agung yang berasal dari Kejaksaan Agung tersebut.
Mansur mengaku tidak pernah mengendapkan berkas perkara tahanan di mejanya. Pagi, berkas tahanan sampai ke mejanya, sore langsung diputus. ''MA memang dikonsep untuk memberi keadilan secara cepat. Apalagi jika menyangkut (nasib) tahanan,'' ujarnya.
Mansur merupakan salah seorang majelis hakim MA bersama Bagir Manan, Artidjo Alkostar, Djoko Sarwoko, dan Harifin A. Tumpa yang pada 31 Juli 2008 memidana Adelin Lis, terdakwa pembalakan liar hutan di Sumut, dengan penjara 10 tahun serta uang pengganti Rp 119,8 miliar.
Mansur mengaku tidak mempunyai sakit yang serius. Hanya mag. Sakit itu kambuh jika dirinya telat makan. ''Saya memang sering telat makan karena fokus memeriksa perkara,'' ungkap alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tersebut.
Untuk menjaga kebugaran, tiap hari seusai salat subuh, Mansur selalu memaksakan diri joging di sekitar rumahnya di kawasan Lebak Bulus. Joging hanya terhenti saat terjadi hujan deras. ''Kalau gerimis, saya pakai topi dan tetap joging,'' kata pria mantan kepala Kejaksaan Tinggi Kaltim dan Jambi itu. (el)
Sumber: Jawa Pos, 9 Januari 2009