Terbit, Inpres soal Sektor Riil; Ada Ketidakadilan dalam Hubungan Bisnis Pedagang dan UKM

Pemerintah mengumumkan pemberlakuan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Inpres ini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi tingkat pengangguran serta kemiskinan.

Pengumuman kebijakan pemerintah ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Boediono, didampingi beberapa menteri ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, di Jakarta, Selasa (12/6).

Instruksi presiden (inpres) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Juni 2007 itu menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan 19 menteri lainnya, 3 kepala lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), serta semua gubernur, bupati, dan wali kota untuk melaksanakan Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM.

Ada 141 tindakan
Menurut Boediono, adanya Inpres No 6/2007 akan meningkatkan transparansi rencana kerja pemerintah dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Untuk itu, lanjut Boediono, setiap kebijakan yang ada dalam lampiran inpres itu dirinci dalam bentuk program, tindakan, keluaran, dan sasaran yang terukur dengan jelas, disertai target waktu penyelesaian yang telah dilengkapi dengan menteri/kepala LPND yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikannya.

Terdapat 141 tindakan dalam paket kebijakan percepatan sektor riil dan pemberdayaan UMKM. Dari jumlah itu, 60 tindakan harus dilakukan Departemen Keuangan, ujar Boediono.

Memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen pada tiga triwulan terakhir 2007, pemerintah dan DPR menargetkan pertumbuhan 6,3 persen pada tahun ini dan 6,6-6,9 persen pada tahun 2008.

Tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 10,44 persen atau 11,1 juta pada tahun 2006 telah turun menjadi 9,76 persen atau 10,5 juta pada awal 2007, dan pemerintah menargetkannya untuk turun menjadi 8,0-9,0 persen tahun 2008.

Percepatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan penganggur itu pada gilirannya akan dapat mengurangi tingkat penduduk miskin dari 17,75 persen pada tahun 2006 menjadi 15,0-16,8 persen tahun 2008.

Implementasi lebih penting
Boediono menjelaskan, Inpres No 6/2007 merupakan kelanjutan dari Inpres No 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.

Dalam Inpres soal Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM diatur soal perbaikan iklim investasi, reformasi sektor keuangan, percepatan pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan UMKM.

Tiga kebijakan yang pertama di atas merupakan lanjutan dari kebijakan serupa yang telah dilaksanakan sejak tahun lalu, sedangkan pemberdayaan UMKM merupakan perluasan dari beberapa program yang pada tahun 2006 sudah ditampung dalam Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi.

Berdasarkan pengalaman pada kebijakan-kebijakan sebelumnya, ujar Boediono, Presiden Yudhoyono menekankan pentingnya implementasi dan efektivitas pemantauan dari kebijakan yang terdapat dalam inpres tersebut.

Untuk itu, kata Boediono, Presiden telah menugaskan dirinya untuk memantau pelaksanaan inpres tersebut dengan lebih efektif. Oleh karena itu, Menko Perekonomian kemudian membentuk Tim Pemantau yang terdiri dari Tim Eksternal dan Tim Pemerintah yang juga akan melakukan evaluasi, dialog, dan survei terhadap implementasi itu.

Penerbitan Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi tahun lalu dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh kegiatan investasi menyusul pelambatan pertumbuhan pada triwulan terakhir 2005 dan awal 2006 sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Sementara itu, Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Suryadharma Ali usai membuka pertemuan internasional Asian Productivity Organization (APO) di Jakarta mengatakan, sejauh ini produk-produk UKM sebenarnya sudah berkualitas ekspor, tetapi UKM tidak mempunyai kemampuan untuk mengekspor.

Kondisi ini banyak dimanfaatkan trader atau pedagang. Saya melihat adanya ketidakadilan dalam hubungan bisnis pedagang dan UKM, ujar Suryadharma.

Padahal, jumlah UKM Indonesia itu begitu banyak. Berdasarkan data dari Kantor Kementerian Koperasi dan UKM, tahun 2006 jumlah UKM sebanyak 48,9 juta unit. Itu berarti telah mencapai 99,98 persen dari total unit usaha di Indonesia.

Perlakuan tidak adil
Menurut Suryadharma, perlakuan tidak adil muncul karena barang-barang yang diproduksi UKM biasanya diperoleh dari modal dengkul alias utang.

Setelah barang itu terjual, barulah UKM mendapatkan bayaran. Akibatnya, UKM tidak mempunyai aliran dana untuk melanjutkan produksinya.

Di sisi lain, menurut Suryadharma, harga jual barang di luar negeri yang ditetapkan pedagang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga belinya di tingkat UKM.

Ketimpangan ini harus dibenahi. Karena itulah, posisi tawar UKM Indonesia harus bisa dibenahi melalui APO.

Deputi Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Choirul Djamhari menuturkan, dari hasil penelitiannya, kegiatan ekspor ternyata bukan dilakukan oleh UKM sendiri, melainkan dilakukan oleh pedagang. (GUN/OSA)

Sumber: Kompas, 13 Juni 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan