Terjadi Penyimpangan Distribusi Buku Pelajaran
Buku murah tidak diterima siswa.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir telah terjadi penyimpangan distribusi buku pelajaran akibat persaingan usaha yang tidak sehat di antara para penerbitnya. Kami sudah membentuk tim evaluasi. Dengar pendapat awal sudah dilakukan Senin lalu, kata Ketua KPPU Mohammad Iqbal kepada Tempo di Jakarta kemarin.
Koordinator Lapangan Tim Evaluasi Distribusi Buku KPPU Sulistyono menambahkan, indikasi persaingan usaha tidak sehat bisa dilihat pada jalur distribusi buku pelajaran. Seharusnya penerbit mengajukan buku pelajaran kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk dinilai dan memperoleh rekomendasi dari Menteri Pendidikan.
Setelah proses penilaian BSNP rampung, Sulistyono melanjutkan, penerbit baru boleh mengajukan kepada kepala sekolah. Namun, pada kenyataannya, banyak penerbit yang nakal dan berlomba-lomba menjual langsung ke sekolah. Bahkan ada pula penerbit yang langsung memasarkan bukunya kepada guru-guru, katanya.
Berdasarkan hasil kajian KPPU, kata dia, potensi persaingan tidak sehat juga bisa terjadi pada birokrasi penilaian buku oleh BSNP. Penilaian di BSNP bisa menjadi sasaran empuk perusahaan penerbitan yang ingin mengambil kesempatan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005, penerbit dilarang langsung mendistribusikan buku ke sekolah. Guru dilarang menjual buku dan sekolah juga dilarang memaksa siswa membeli buku dari penerbit tertentu. Dengan semangat ini, pemerintah menetapkan jalur ideal distribusi buku: Penerbit -> distributor -> toko buku -> siswa (lihat infografis Jalur Distribusi Ideal).
Menurut Sulistyono, substansi Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2005 sudah benar. Dalam pelaksanaannya, banyak terjadi penyimpangan dan distorsi jalur distribusi.
Dalam analis KPPU yang dimiliki Tempo, distorsi distribusi terjadi misalnya penerbit mendekati kepala sekolah dan menginstruksikan guru memakai buku tertentu. Selanjutnya guru meminta siswa membeli buku pelajaran tersebut (lihat infografis Distorsi Distribusi Buku).
Lebih jauh analisis KPPU menyebutkan persaingan dalam industri buku pelajaran melahirkan persaingan semu. Harga buku murah--harga ditetapkan Rp 22 ribu untuk kategori pasar buku Bantuan Operasional Sekolah--tidak jatuh ke tangan konsumen (siswa), tapi jatuh ke distributor, yakni pejabat dan pelaksana pendidikan.
KPPU, kata Sulistyono, tetap mendukung pemberlakuan Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2005, asalkan dari sisi regulator dan stakeholder tidak boleh memfasilitasi penerbit melakukan persaingan usaha tidak sehat.
Menurut Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Setya Dharma Madjid, penerbit memang tidak boleh memasarkan langsung buku pelajaran ke sekolah-sekolah. Namun, pemasaran buku milik penerbit bisa dilakukan oleh distributor kepada sekolah melalui koperasi (berfungsi sebagai toko buku). Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2005 tidak mengatur penjualan buku harus melalui toko buku, tapi melalui pasar. Pasar itu bisa berbentuk koperasi, kata dia kepada Tempo di Jakarta kemarin.
Menurut dia, adanya penjualan langsung oleh penerbit akibat kurang memadainya sosialisasi Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2005 ke sekolah-sekolah. Kemungkinan pelanggaran, kata dia, bisa saja dilakukan oleh penerbit, kepala sekolah, atau guru, sehingga masalahnya harus dilihat secara proporsional. Kami siap memberi sanksi penerbit yang nakal. Tapi pemerintah juga harus mengevaluasi dan memberi sanksi kepada sekolah.
Dia menegaskan anggota IKAPI mendukung buku pelajaran murah untuk siswa. Karena itu, IKAPI juga meminta pemerintah bersama organisasi profesional mencari solusi yang ideal. cheta nilawaty | padjar iswara
Sumber: Koran Tempo, 25 Juli 2007
----------
Informasi terkait:
Penyimpangan Pengadaan buku di Brebes