Terkait Makelar Pajak; Reformasi Pajak Jangan Setengah Hati
Reformasi pajak sudah digulirkan setidaknya sejak tahun 2005 dengan dua strategi utama, yakni ekstensifikasi dan intensifikasi pajak. Ekstensifikasi langsung mengena pada masyarakat pekerja, berapa pun penghasilannya, karena merupakan program menambah jumlah wajib pajak aktif.
Adapun intensifikasi jauh lebih terasa oleh wajib pajak yang memang sudah sejak lama membayar pajak karena ini adalah program penggalian sebesar mungkin uang yang bisa disetor wajib pajak aktif. Dengan dua strategi besar ini, Direktorat Jenderal Pajak optimistis pada tahun 2010 total uang pajak yang bisa dihimpun dari masyarakat adalah Rp 1.000 triliun atau nyaris dua kali lipat dari penerimaan pajak yang sudah dihimpun saat ini.
Di tengah ”pengejaran” wajib pajak baru dan pendalaman setoran wajib pajak lama inilah muncul kasus makelar pajak dan Pengadilan Pajak yang memunculkan sosok seorang pegawai muda (masih golongan IIIA), Gayus Tambunan.
Dengan isi rekening, total dana masuk dan keluar, kurang lebih Rp 25 miliar, penghasilan Gayus disimpulkan oleh aparat kepolisian sebagai abnormal.
Namun, seperti yang diungkapkan Direktur Jenderal Pajak Mohammad Tjiptardjo, Gayus hanya mengaku menikmati uang Rp 370 juta. Nah, inilah yang menegaskan kepada masyarakat bahwa Gayus tidak melanggar norma sebagai seorang pegawai negeri sipil atau etika hukum (belum dibuktikan pengadilan) seorang diri.
Sebagai PNS yang mengaku menerima uang di luar penghasilan pokoknya yang mencapai Rp 12 juta per bulan, Gayus sudah pasti salah dan karena itu Menteri Keuangan bisa memecatnya secara tidak hormat sesegera mungkin.
Namun, perkara aliran dana Rp 25 miliar yang diperkirakan masuk ke kantong-kantong rekening orang lain (ada yang menyebut oknum polisi, oknum jaksa, hingga hakim Pengadilan Pajak) tak bisa diputuskan Sri Mulyani Indrawati karena posisi Menkeu sangat terbatas.
Kalau reformasi perpajakan ingin dilakukan secara menyeluruh, jangan berharap terlalu banyak pada reformasi internal yang dilakukan Ditjen Pajak. Kasus Gayus menunjukkan bukan hanya aparat Ditjen Pajak yang terlibat, tetapi juga wajib pajaknya yang memberikan dana dan oknum lain yang juga menerima aliran uang dari Gayus.
Melihat Amerika
Bagi pengamat pajak, Darussalam, langkah yang dilakukan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama beberapa saat setelah terpilih sebagai Presiden patut ditiru. Obama yakin reformasi perpajakan tak hanya bisa diserahkan kepada Kementerian Keuangan, tetapi harus ditangani langsung Presiden.
Atas dasar itulah, Obama membentuk The Volcker Task Force atau gugus tugas khusus reformasi perpajakan yang dipimpin mantan Gubernur The Federal Reserve Paul Volcker (81). Anggotanya ada empat orang, antara lain penasihat senior bidang ekonomi Obama, yakni Austan Goolsbee; lalu ekonom Harvard University, Martin Feldstein; serta Guru Besar Ekonomi Universitas California di Berkeley, Laura D’Andrea Tyson.
Komposisi anggotanya mirip Komite Pengawas Perpajakan (KPP) yang baru dilantik Menkeu Sri Mulyani pada 26 Maret 2010. Namun, The Volcker Task Force langsung melapor ke Presiden, sedangkan KPP hanya melapor ke Menkeu.
Di sinilah letak kelemahan KPP, hanya terfokus pada hubungan Ditjen Pajak dan wajib pajak, tanpa memedulikan pihak lain yang terlibat. Dan masalahnya, hanya Presiden yang memiliki kewenangan lintas lembaga.
Apalagi, sudah ada pihak yang menyatakan, kasus Gayus mengandung potensi bahaya fundamental, yakni menggerus penerimaan pajak yang seharusnya disetorkan ke APBN.
Jika uang suap yang beredar mencapai Rp 25 miliar, bayangkan nilai penerimaan uang negara yang seharusnya dimenangkan oleh negara pada berbagai sengketa di Pengadilan Pajak. Tentunya akan lebih besar.
Pandangan Melchias Markus Mekeng, Wakil Ketua Komisi XI DPR, bisa menajamkan arah pandangan kita pada apa yang terjadi di Pengadilan Pajak saat ini.
Jika sengketa pajak banyak yang dimenangi wajib pajak, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, aparat Ditjen Pajak dan hakim Pengadilan Pajak yang disuap. Kedua, ada celah-celah hukum yang bisa dimanfaatkan wajib pajak ”nakal” untuk mengalahkan negara. Keduanya bisa terjadi bersamaan dan sangat berbahaya jika dibiarkan terus terjadi.
25 persen
Dampak dari ketidakjelasan di Pengadilan Pajak setidaknya bisa diraba melalui data Ditjen Pajak yang menyatakan, dari piutang pajak yang mencapai Rp 44 triliun (data per 19 Februari 2010), hanya 25 persen dari target tahunan yang kemungkinan dapat ditagih kembali.
Adapun 75 persen dari target penagihan tahunan tertahan dalam proses sengketa di Pengadilan Pajak. Itu belum memperhitungkan besaran uang yang digelapkan untuk suap atau pelicin dalam penyelesaian sengketa pajak.
Jika dirunut ke belakang, Darmin Nasution (saat masih menjabat Dirjen Pajak) pernah menyebutkan, potensi penerimaan pajak yang hilang (tax gap) akibat uang suap, penyelundupan, dan kriminal lainnya mencapai Rp 300 triliun per tahun.
Itu setara 34,8 persen dari potensi penerimaan pajak maksimum yang seharusnya diterima, yakni Rp 860 triliun per tahun.
Untuk masalah tax gap ini jugalah Obama membentuk satuan tugas Volcker. Sebab, tax gap di Amerika lebih gila lagi, yakni 300 miliar dollar AS per tahun. Ini adalah nilai selisih antara kewajiban pajak individu dan perusahaan di Amerika dengan pajak yang dihimpun Ditjen Pajak mereka. ”Amerika butuh upaya seagresif mungkin yang bisa dilakukan,” ujar Direktur Anggaran Amerika Peter Orszag.
Apalagi di Indonesia, penerimaan pajak menyumbang 70 persen pada penerimaan negara. Jika sumber penerimaan itu diganggu para makelar pajak, dampaknya jelas dan pilihannya tak banyak, yakni menambah utang. Sebab, APBN hanya memiliki tiga sumber dana untuk menutup belanjanya, yakni pajak, penerimaan bukan pajak, dan utang.
Di Amerika bahkan sudah ada pandangan ekstrem yang muncul untuk mereformasi perpajakan, seperti yang diungkapkan seorang penulis yang juga praktisi bisnis properti asal Memphis, Gwyn Guess.
Menurut Guess, satu-satunya formula reformasi pajak di Amerika yang paling ampuh adalah membubarkan IRS (semacam Ditjen Pajak Amerika).
Alasan Guess cukup ilmiah. Transkasi di underground economy sekalipun tidak akan bisa menghindari pajak, mulai dari prostitusi, perjudian, hingga pengedar minuman keras ilegal. Sebab, pelaku ekonomi tersembunyi itu sudah pasti akan membelanjakan uangnya. Pada saat membelanjakan uang itulah mereka terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN), mulai dari belanja pakaian, makanan, perhiasan mewah, atau mobil baru.
Namun, Guess tetap mensyaratkan sistem pajak yang sudah maju, di mana tidak ada aparat yang korup dan wajib pajaknya sudah memiliki tingkat kepatuhan tinggi. ”Fungsi IRS hanya mengaudit pendapatan bisnis dan bukan menggali-gali data pribadi individu pada setiap pembayar pajak di AS,” ujarnya. [Orin Basuki]
Sumber: Kompas, 31 Maret 2010