Terlambat, Pencekalan 8 Obligor; Sebagian Sudah di Luar Negeri
Takut semua obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kabur, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akhirnya mengusulkan cekal. Usul telah dikirim menteri keuangan sekitar satu dua minggu lalu. Berarti hampir bertepatan dengan diumumkannya selisih perhitungan obligor dan pemerintah yang melebihi Rp 800 miliar.
Mereka yang dicekal adalah Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Atang Latief (Bank Indonesia Raya), Lidya Muchtar (Bank Tamara), Omar Putirai (Bank Tamara), Adis Saputra Januardy (Bank Namura Internusa), James Januardy (Bank Namura Internusa), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).
Pemerintah telah mengabaikan kasus hukum delapan obligor tersebut. Namun, kemudian muncul indikasi mereka tidak kooperatif. Saat ini sudah dicekal. Menurut UU Keimigrasian, menteri keuangan berwenang mengusulkan pencekalan kalau ada piutang kepada negara, jelas Kepala Biro Hukum Departemen Keuangan Hadiyanto di gedung DPR kemarin.
Mengapa insiatif pencekalan itu tidak dari awal? Ini soal bagaimana memanfaatkan instrumen cekal itu untuk efektivitas penyidikan. Sekarang kita perlu mempercepat koordinasi dan memanggil mereka lagi, kilahnya.
Pernah diberitakan, Ketua Tim Pelaksana Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) J.B. Kristiadi mengatakan, kedelapan obligor tersebut telah kooperatif. Karena itu, mereka tidak perlu dicekal.
Pencekalan sekarang bisa jadi terlambat. Sebab, beberapa nama ditengarai telah berada di negeri orang. Lidya Muchtar diketahui masih menetap di Singapura. Marimutu Sinivasan dinyatakan buron dan dimasukkan ke daftar pencarian orang (DPO) karena diduga mengemplang kredit Rp 20 miliar dari Bank Muamalat. Diduga, bos Texmaco itu berada di India.
Agus Anwar pernah disebut-sebut berada di Singapura. Berkas perkaranya yang diproses Kejagung sudah lama selesai. Bahkan, berkasnya siap diajukan ke pengadilan. Pihak Agus pernah menyatakan sanggup membayar kewajibannya, namun hingga sekarang belum terealisasi.
Atang Latief yang lahir pada 1925 juga pernah bersembunyi di Singapura pada 2000. Dia sempat mencicil kewajibannya Rp 155 miliar dari total utang BLBI Rp 325 miliar. Januari 2006, dia kembali ke Indonesia dan menyatakan sanggup memenuhi kewajibannya.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengakui, ada tiga obligor yang tidak kooperatif. Mereka adalah obligor berinisial AA, LM, dan MS. Dari data obligor BLBI yang mendapat deponering (pengabaian kasus hukum), AA mungkin adalah Agus Anwar (Bank Pelita), LM adalah Lidya Muchtar (Bank Tamara), dan MS adalah Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa).
Menurut dia, semua obligor juga akan diproses sesuai SOP (prosedur standar operasi) dan arahan tim pengarah. Kalau mereka menyatakan siap membayar melalui surat pernyataan, ya kita terima juga, jelasnya.
Minggu depan, tim pelaksana PKPS akan memanggil obligor untuk menyatakan kesanggupan membayar. Pernyataan itu bakal mengindikasikan seberapa jauh iktikad baiknya. Kooperatif tidaknya baru bisa dinilai setelah mereka menendatangani pernyataan kesanggupan itu.
Kalau masalah ada yang jadi tersangka, itu wewenang tim enforcement, yaitu kejaksaan dan polisi. Kita hanya melihat aspek piutang negara dan kita coba menyelesaikan itu, jelasnya.
Khusus mengenai Sinivasan, Hadiyanto mengatakan bahwa pembayaran piutang BLBI bisa jalan terus meski dia sedang dijerat kasus hukum. Harus dibedakan. Kita akan panggil sesuai prosedur dan arahan tim pengarah. Bahwa kemungkinan ada yang tidak datang, kan ada kuasanya, jelasnya.
Untuk memburu Sinivasan, Polri berkoordinasi dengan jaringan polisi internasional (Interpol). Namun, polisi belum bisa memastikan apakah Sinivasan benar-benar berada di India. Jika benar dia di sana (India, Red), kita berkoordinasi dengan ICPO-Interpol untuk membantu memulangkan, ujar Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton Bachrul Alam.
Sinivasan ditetapkan sebagai buron karena kasusnya sudah dinyatakan P-21 (berkas penyidikan lengkap). Bahkan, berkas itu sudah diserahkan ke kejaksaan. Namun, keberadaan dia tidak diketahui.
Mengapa polisi tidak segera menahan dia ketika ditetapkan sebagai tersangka sehingga tidak lari? Waktu akan ditahan, dia sudah tidak ada, jawabnya.
Sinivasan ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2005. Dia diadukan Bank Muamalat pada Juni 2005 terkait kredit bermasalah PT Multikarsa Utama, anak perusahaan Texmaco, yang ketika itu dipimpin Sinivasan.
Ceritanya, pada Mei 1997, PT Multikarsa Utama mengajukan kredit ke Bank Duta Rp 50 miliar. Tapi, itu hanya bisa dipenuhi Rp 30 miliar. Sisanya diberikan Bank Muamalat. Setelah terjadi krisis ekonomi, utang di Bank Duta ditanggung BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional).
Sedangkan utang Rp 20 miliar di Bank Muamalat tidak ditanggung BPPN dan belum dilunasi oleh debitor. Direksi Bank Muamalat kemudian mengajukan perkara tersebut ke Mabes Polri dengan dasar pasal 372 (penipuan) dan pasal 378 (penggelapan) KUHP. Belakangan, begitu kasusnya dinyatakan P-21, Sinivisan menghilang. Dia diketahui pergi ke India untuk berobat.
Deputy Secretary Interpol Indonesia Kombespol Iskandar Hasan mengakui, Indonesia dan India tidak memiliki kerja sama secara khusus. Tapi, kita bisa meminta bantuan lewat Interpol. Hanya, saya belum tahu apakah dia sudah kita mintakan red notice. Saya sedang di luar kota dan daftarnya ada di Jakarta, ujarnya tadi malam. (sof/naz)
Sumber: Jawa Pos, 8 Juni 2006