Teror Mafia Peradilan
Pemberantasan korupsi dalam sistem peradilan yang sarat praktek mafia peradilan sesungguhnya bak mimpi di siang bolong. Pemberantasan korupsi harus dimulai dengan membumihanguskan korupsi di peradilan, dengan memutus rantai kenikmatan para pelaku mafia peradilan: the real terrorists.
Tak ada pilihan lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini harus semakin menggiatkan upayanya untuk terus melakukan penjebakan dan pembongkaran praktek mafia peradilan.
Dua kasus terakhir, di mana KPK menangkap advokat dari Abdullah Puteh dan advokat dari Probosutedjo, sudah merupakan langkah tepat. Meskipun demikian, pembongkaran ala KPK ini harus dilakukan dengan lebih hati-hati, cerdas, dan sistematis agar yang terjerat kelas jenderal, bukan kopral.
Modus operandi mafia peradilan ibarat transaksi jual-beli. Penjual pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, misalnya, adalah hakim yang memutuskan perkara, dan pembeli adalah terdakwa yang membutuhkan putusan bebas.
Dalam praktek jual-beli tersebut, posisi panitera, pegawai pengadilan, dan advokat hanyalah makelar perkara. Sebagai calo, mereka hanya berfungsi sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli. Ibarat makelar jual-beli tanah, mereka hanya mendapat komisi dari transaksi jual-beli. Tanah akan langsung dinikmati oleh pembeli, sedangkan penjual akan mendapatkan sebagian besar uang hasil jual-beli.
Sayangnya, dalam dua kasus tersebut di atas, KPK baru berhasil menjaring para broker perkara, tapi masih belum menyentuh para penjual dan pembeli -nya sebagai penikmat praktek mafia peradilan yang sesungguhnya.
Praktek mafia peradilan bisa dilawan dengan gerakan radikal-revolusioner di bidang hukum. Dengan adanya fakta praktek mafia peradilan yang menjamur di Mahkamah Agung, argumen bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi adalah menyesatkan.
Prinsip independensi demikian memang diakui, namun hanya berlaku bagi sistem peradilan yang bersih dari judicial corruption. Di dalam sistem peradilan yang sarat dengan praktek kotor, di mana putusan dapat dipesan dan diperjualbelikan, intervensi justru menjadi wajib hukumnya.
Di Amerika Serikat, misalnya, konstitusinya secara jelas mengatakan, para hakim sangat independen selama mereka berada dalam pagar good behaviour. Sekali sang hakim melakukan perbuatan tercela, apalagi suap-menyuap, dia harus siap diberhentikan dan dipidanakan. Artinya, independensi kekuasaan kehakiman hanyalah satu sisi koin yang harus dimiliki dunia peradilan.
Sisi lain adalah integritas-moralitas yang terjaga. Hanya sistem peradilan yang terhormat, bersih, dan jujur yang berhak mengklaim agar putusannya tidak diintervensi. Sebaliknya, jika suatu putusan pengadilan nyata-nyata dihasilkan dari praktek mafia peradilan, maka menggunakan hujah independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng adalah argumentasi yang memalukan, sekaligus menyesatkan.
Dari mana mafia peradilan harus diberantas? Secara teori, diperlukan aturan hukum yang memberikan hukuman seberat-beratnya bagi para hakim, polisi, dan jaksa yang telah memperjualbelikan dan mengkhianati keadilan yang seharusnya mereka jaga. Undang-undang perlindungan saksi harus segera diberlakukan agar para whistle blowers mempunyai kepastian dan perlindungan hukum jika mereka melaporkan praktek mafia peradilan.
Bahkan, untuk tingkat korupsi peradilan yang sudah parah, perlu dipertimbangkan untuk membatasi privasi para hakim -- khususnya hakim agung -- agar mereka tidak dapat bertemu dengan siapa pun yang berhubungan dengan perkara, lalu dapat memiliki satu nomor rekening bank; dan hanya memiliki satu nomor telepon pribadi yang kesemuanya terus dapat dimonitor penggunaannya.
Pengetatan privasi kehidupan para hakim agung tersebut diperlukan sebagai manajemen antisipasi di ?negeri kampung maling?. Bentuk hukum dari aturan-aturan tersebut bisa dalam Kode Etik Hakim atau melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang tentang pemberantasan mafia peradilan.
Pada tingkat strategi lapangan, perang melawan mafia peradilan dapat dimulai dengan terlebih dahulu membersihkan Mahkamah Agung (MA). Jikalau MA sudah dapat dikuasai, melalui hakim-hakimnya yang tidak hanya mempunyai kapasitas intelektual yang mumpuni tapi juga integritas-moralitas yang tinggi, maka satu rantai utama jaringan praktek mafia peradilan dapat diputus. Apabila putusan MA sudah bersih dari praktek mafia peradilan, praktek-praktek korupsi peradilan lainnya yang dilakukan oknum kejaksaan dan kepolisian akan menjadi sia-sia dan lambat-laun berkurang dengan sendirinya.
Dalam kaitan itu, menjadi penting untuk mempercepat proses suksesi para hakim agung. Akselerasi kocok ulang hakim agung dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, misalnya dengan langkah tawaran pensiun dini dengan kompensasi golden handshake bagi para hakim agung yang bersedia. Alternatif lainnya, mengintensifkan upaya penegakan hukum dengan memecat dan mengganti para hakim agung nakal yang terbukti melakukan praktek mafia peradilan.
Untuk alternatif kedua ini, Komisi Yudisial harus bekerja bahu-membahu dengan KPK melacak dan menjebak para hakim agung yang korup, serta dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak aliran dana haram hasil praktek mafia peradilan.
Hanya dengan langkah-langkah radikal demikian, benang kusut mafia peradilan dapat sedikit demi sedikit diurai, dan bangsa ini dapat berharap terhindar dari ledakan bom kehancuran yang telah lama dirakit oleh para teroris mafia peradilan.
Denny Indrayana, Doktor di Bagian Hukum Tata Negara UGM dan Indonesian Court Monitoring
Kolom yang sama bisa dibaca di Majalah Tempo edisi 10 - 16 Oktober 2005