Terperangkap Program 100 Hari
Tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk menyusun program 100 hari. Sistem perencanaan kita hanya mengenal perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka menengah, dan perencanaan tahunan sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Baru pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pertamalah istilah program 100 hari populer. Lima tahun lalu tim sukses SBY menyusun program 100 hari. Ketika pemerintahan baru terbentuk, presiden tidak menggunakannya sebagai acuan untuk dilaksanakan para menterinya, tetapi presiden menginstruksikan para menteri menyusun sendiri-sendiri program kerja 100 hari itu.
Kita tidak tahu persis proses penyusunan program 100 hari pada masa jabatan kedua SBY sekarang ini. Yang kita tahu, ada tim yang dikomandoi oleh Kuntoro Mangkusubroto yang bermarkas di Jalan Jambu. Setelah SBY-Boediono resmi terpilih, pemerintah menggelar National Summit pada akhir Oktober 2009 untuk memperoleh masukan dari berbagai kalangan.
Beberapa waktu kemudian pemerintah mengumumkan program aksi yang disebut sebagai Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu II. Dari 45 program aksi itu, telah ditetapkan 15 program yang di antaranya disebut sebagai program pilihan yang wajib diimplementasikan dalam jangka waktu 100 hari pertama.
Dari program pilihan tersebut, terdapat sembilan program prioritas yang terkait dengan bidang perekonomian. Lihat situs resmi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian: http://www.ekon.go.id/content/view/524/1/.
Kalau dipadatkan berdasarkan sektor, sebetulnya hanya ada tiga program prioritas di bidang ekonomi, yakni pangan, energi, dan infrastruktur. Setiap program prioritas tersebut memiliki 12, 8, dan 14 program aksi sehingga keseluruhannya berjumlah 34 program aksi.
Terus terang, saya agak bingung untuk memetakan program 100 hari ini. Misalnya, revitalisasi pabrik pupuk dan gula tercantum dalam 15 program pilihan, tetapi tidak kita jumpai dalam matriks program aksi versi situs Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Demikian pula program kelancaran arus barang dan daya saing.
Namun, kedua program itu bisa kita temukan pada dokumen dalam bentuk hardcopy. Di dalam dokumen tertanggal 18 November 2009 ini tercantum 49 program aksi.
Katakanlah kita mengacu pada dokumen yang lebih lengkap. Muncul masalah kedua, yakni bagaimana menilai keberhasilan program aksi. Perumusan program aksi sangat gegabah. Sebagai contoh, tercantum program aksi ”Penuntasan restrukturisasi menyeluruh PLN dan Pertamina”.
Tidak jelas apa yang mau dituju
Kata penuntasan mengandung konotasi yang sangat lugas, bahwa persoalan mendasar yang menggelayuti PLN dan Pertamina akan diselesaikan secara menyeluruh dalam 100 hari. Sungguh sangat ambisius dan hampir mustahil terpenuhi, dan kenyataannya memang demikian.
Contoh lain yang tidak kalah membingungkan adalah yang terkait dengan revitalisasi pabrik pupuk dan pabrik gula. Program ini merupakan salah satu dari 15 program pilihan, dengan judul ”Revitalisasi pabrik pupuk dan gula”. Sementara itu, di dalam dokumen hardcopy tercantum dengan judul ”Penyusunan rencana aksi revitalisasi industri pupuk dan gula”.
Kebetulan saya memiliki dokumen ”Program Kerja 100 Hari Pertama dan Lima Tahun Menteri Perindustrian Republik Indonesia 2009-2014”. Di sana tercantum ”Terealisasikannya restrukturisasi industri tahun 2009 sebanyak 210 perusahaan tekstil, 40 perusahaan alas kaki, dan 32 pabrik gula”.
Kita tidak tahu persis apa yang dimaksud dengan revitalisasi. Yang pasti, sampai sekarang belum pernah dilakukan audit menyeluruh terhadap pabrik-pabrik gula milik pemerintah. Bagaimana mungkin melakukan revitalisasi tanpa didahului oleh pemetaan masalah sehingga bisa diduga bahwa yang mungkin dilakukan paling banter adalah proyek pengadaan mesin baru atau komponen.
Keganjilan kian bertambah mengingat pada waktu bersamaan tercantum pula program ”Menyusun Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula”. Baru sedang menyusun rencana revitalisasi, tetapi aksi revitalisasinya sudah sangat jauh. Tidak tanggung-tanggung, 32 pabrik gula. Sungguh sangat fantastis.
Kita tidak tahu lagi apa sebenarnya yang hendak dituju dengan program 100 hari. Apakah untuk menghasilkan quick win untuk memelihara dukungan publik kepada pemerintah ataukah sebagai alat ukur bagi Presiden untuk menilai kinerja 100 hari para menterinya.
Kalau tujuan pertama yang hendak dicapai, sebagaimana diterapkan di beberapa negara, jumlah program aksi tidak perlu banyak dan hasilnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat luas. Beberapa janji kampanye harus ada yang segera terwujud untuk menunjukkan bahwa janji bukan sekadar janji.
Quick win sangat penting untuk menjaga pengharapan (ekspektasi) masyarakat terhadap pemerintah. Jika pengharapan masyarakat tetap tinggi, maka kebijakan-kebijakan pemerintah yang dalam jangka pendek tidak populer sekalipun—tetapi dalam jangka menengah dan panjang akan menghasilkan perbaikan mendasar dan berkelanjutan—tidak akan menimbulkan gelombang penentangan yang besar.
Oleh karena itu, sangat disayangkan momentum yang telah tercipta tidak termanfaatkan dengan optimal. Modal dasar sungguh sangat banyak. Perekonomian kita tidak terempas karena krisis global dan stabilitas makroekonomi tetap terjaga. Ditambah lagi dengan modal politik yang besar dari Presiden SBY: sebagai incumbent, memenangi pemilihan presiden dalam satu putaran, dan didukung koalisi partai-partai yang memiliki kursi mayoritas melimpah di DPR.
Keberhasilan yang sudah diraih, seperti pengoperasian 24 jam 7 hari seminggu di empat pelabuhan terbesar dan peluncuran National Single Window, terbenam di tengah hiruk-pikuk demonstrasi yang menilai pemerintahan SBY dalam 100 hari gagal. Kestabilan makroekonomi yang terjaga tak beroleh apresiasi.
Mungkin ada satu hal yang belum terhadirkan selama 100 hari pertama pemerintahan SBY, yakni rasa keadilan dan kepatutan. Kedua unsur ini tidak melekat di dalam program 100 hari.
Dengan demikian, program 100 hari sebatas list of wants yang disusun sekadar untuk memenuhi janji kampanye, tanpa penjiwaan. Sungguh ini merupakan awal yang kurang menggembirakan. Kita harus siap menerima kenyataan bahwa tawaran-tawaran kebijakan pemerintah selama lima tahun ke depan berpotensi menghadapi penentangan yang serius, kecuali kalau Presiden mengubah gaya kepemimpinannya.
Sumber: Kompas, 1 Februari 2010