Testimonis Antasari; Pencabutan Pencegahan dari KPK Palsu
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi membantah menerima suap dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan Direktur Utama PT Masaro Anggoro Widjojo seperti disebut Ketua KPK (nonaktif) Antasari Azhar. Testimoni Antasari itu juga diyakini belum tentu benar.
Selain akan melaporkan Antasari, pimpinan KPK juga menegaskan, surat pencabutan larangan bepergian ke luar negeri (pencegahan) atas nama Anggoro dari KPK, yang ada pada Polri, diduga palsu. KPK minta polisi menindaklanjuti pemalsuan surat itu, termasuk siapa yang memalsukan surat tersebut.
Di Jakarta, Kamis (6/8), tiga wakil Ketua KPK, yaitu M Jasin, Chandra M Hamzah, dan Bibit Samad Rianto, menggelar bantahan atas testimoni Antasari. Wakil Ketua KPK lainnya, Haryono Umar, sedang ke Iran.
”Upaya yang dilakukan Antasari untuk membuka aib di KPK adalah suatu keberanian yang luar biasa, kalau dia kroco. Namun, dia kan komandan. Jika bertanggung jawab di KPK, gantung semua kita,” ujar Bibit.
Antasari, tambahnya, semestinya memberi tahu semua pimpinan KPK agar diperiksa. Tidak peduli apakah wakil ketua.
Untuk menjelaskan testimoni Antasari, Bibit menyatakan, Kamis, ia dan Chandra bertemu Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Dalam pertemuan itu, KPK dan Polri juga membahas langkah yang diambil menyikapi kondisi kini.
Diakui Bibit, pertemuan KPK dan Polri itu penting karena kerawanan yang dihadapi KPK saat ini. Kerawanan itu termasuk jika Polri menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka. Hal ini dipastikan merusak KPK.
Chandra menambahkan, KPK tidak mengenal penyelesaian kasus melalui pembayaran. ”Jadi, tidak bisa orang mengaku-ngaku bisa mengurus kasus,” katanya.
Jasin menegaskan, tidak benar pimpinan KPK menerima suap sehubungan dengan penanganan kasus yang melibatkan Anggoro sebagai tersangka. Hingga kini kasus korupsi PT Masaro masih diusut. Pencegahan terhadap Anggoro juga belum dicabut.
Chandra juga menunjukkan surat pencabutan pencegahan atas nama Anggoro yang ada tanda tangannya. Menurut dia, surat itu palsu. Selain tidak sama dengan format surat yang selama ini dikeluarkan KPK, ada banyak kejanggalan dalam surat yang dikeluarkan tanggal 5 Juni 2009.
Kop surat KPK dalam surat yang ditunjukan pada Dirjen Imigrasi itu letaknya di pinggir. Padahal, seharusnya di tengah. Dasar yang digunakan dalam surat itu dipertanyakan karena tidak menyebut lengkap aturannya.
Secara terpisah, pengacara Antasari, Juniver Girsang, mengatakan, kliennya mungkin menyalahi prosedur karena bertemu Anggoro. Namun, pertemuan itu untuk mendapatkan bukti rekaman penyuapan yang terjadi di KPK. (son/vin/wad/win/dwa)
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2009
------------------
Testimoni Antasari Dianggap Tak Berarti
Jasin mengaku pernah diberi US$ 10 ribu oleh Antasari.
Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan, testimoni Antasari Azhar tidak dapat dijadikan dasar dugaan suap terhadap dua petinggi KPK. "Sebab, testimoni tersebut merupakan keterangan yang diperoleh dari orang lain," ujar Wakil Ketua KPK Mochamad Jasin dalam konferensi pers di kantornya kemarin.
Salinan pengakuan Antasari yang ditulis tangan di atas empat lembar kertas itu berisi informasi tentang dugaan suap terhadap para petinggi lembaga antikorupsi itu terkait dengan penanganan kasus PT Masaro. Antasari mengaku telah bertemu dengan Direktur PT Masaro Anggoro Wijaya di Singapura, dan ia merekam pembicaraan yang menyebutkan adanya pemberian uang Rp 6 miliar kepada komisioner dan seorang direktur di KPK.
Jasin menjelaskan, sesuai dengan Pasal 185 KUHAP, kesaksian "katanya" tidak dapat dijadikan barang bukti. "Rekaman tersebut hanya merupakan keterangan Anggoro. Siapa yang bisa jamin itu benar?" katanya.
Tiga pimpinan KPK hadir untuk memberikan klarifikasi atas tuduhan suap tersebut. Mereka adalah Mochamad Jasin, Chandra Hamzah, dan Bibit Samad Riyanto. Haryono Umar tidak hadir karena tengah bertugas ke luar negeri.
Jasin menjabarkan tiga kemungkinan maksud pemberian uang kepada KPK itu. Pertama, penyuap berharap KPK mengembalikan barang bukti yang telah disita dari PT Masaro. "Faktanya, KPK tidak pernah mengembalikan satu pun barang bukti yang telah disita."
Kedua, adanya permintaan pencabutan larangan bepergian ke luar negeri atas nama Anggoro dan kawan-kawannya. Antasari telah melampirkan surat pencabutan cekal Anggoro Wijaya oleh KPK dalam laporannya ke polisi.
Namun, setelah diteliti, ternyata surat itu tak pernah dikeluarkan KPK. "Surat cabut cekal Anggoro di polisi yang dilaporkan oleh Antasari itu palsu," kata Jasin. Pencekalan atas Anggoro sejak 22 Agustus 2008 lalu masih berlaku.
Chandra Hamzah kemudian menunjukkan surat pencekalan palsu tersebut dan membandingkannya dengan yang asli. "Tak perlu jadi ahli pun, Anda sudah bisa lihat bedanya."
Keinginan ketiga dari pemberi suap adalah untuk menghentikan penyidikan kasus Masaro. "Nyatanya, penanganan kasus Masaro oleh KPK masih berlangsung hingga saat ini," kata Chandra. Kasus yang dimaksudkan itu meliputi dugaan suap kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan korupsi pengadaan alat komunikasi di Departemen Kehutanan.
Bibit menyatakan, percakapan Antasari-Anggoro yang direkam itu berlangsung pada Oktober 2008, sedangkan Antasari baru ditangkap pada Mei 2009. Selama itu Antasari tak pernah membicarakan soal tersebut dengan pimpinan KPK lainnya. "Dia komandan di KPK, seharusnya bertanggung jawab. Gantung saja kita semua kalau suap itu benar," kata Bibit.
Dalam kesempatan itu, Jasin mengungkapkan pernah menerima gratifikasi dari Antasari senilai US$ 10 ribu atau sekitar Rp 100 juta. "Waktu itu istri saya sedang sekarat di rumah sakit di Malang. Uang itu tidak disampaikan, tapi diblesekkan ke sak (dimasukkan ke saku) saya," kata Jasin.
Istri pertama Jasin, Suwarti binti Supardi, meninggal pada 24 Oktober 2008. Jasin menjelaskan, uang dari Antasari tersebut kemudian ia laporkan sebagai gratifikasi. "Uangnya sudah dikembalikan ke kas negara sebelum 30 hari, dan pimpinan KPK mengetahui hal itu." FAMEGA SYAVIRA
Sumber: Koran Tempo, 7 Agustus 2009