Thailand, Reformasi Tak Kunjung Usai
Belum dua tahun setelah kudeta September 2006—dipimpin Jenderal Sonthi Boonyaratglin—gelombang protes kembali melanda Thailand.
Demonstrasi itu dimotori Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD). Demonstran menduduki kantor PM dan menutup beberapa bandara dan sebagian jaringan kereta api. Situasi memanas saat PM Samak mengumumkan negara dalam keadaan darurat pada 2 September lalu.
Gerakan PAD bertujuan membongkar gurita kekuasaan (dan bisnis) Thaksin Shinawatra. Thaksin memulai debut politik pada 1994 sebagai menteri luar negeri mewakili Partai Phalang Tham (Kekuatan Moral) pimpinan Mayjen (Purn) Chamlong Srimuang. Chamlong, mantan wali kota Bangkok yang terkenal bersih sejatinya mentor politik Thaksin. Saat Chamlong menarik diri dari politik, ia menyerahkan kepemimpinan Phalang Tham kepada Thaksin yang menjadi cikal bakal Thai Rak Thai/TRT (Phongpaichit dan Baker, 2004).
Badai krisis moneter membawa berkah bagi Thaksin; konglomerasinya termasuk sedikit dari gurita bisnis yang survive. Ia merambah politik. Pada pemilu pascakrisis, TRT memenangi mayoritas parlemen, mengantarkan Thaksin menjadi perdana menteri. Keberhasilan Thaksin ditopang penguasaan kampanye di media dan kemampuan memayungi elite-elite daerah. Struktur politik yang bertumpu pada elite lokal dan jao pho (mafia) dengan instrumen vote-buying dan kekerasan dilanggengkan.
Thaksin mengusung kebijakan populis nasionalis, mendorong entrepreneur domestik untuk bersaing dengan kapitalis asing. Namun, yang menikmati kemudahan hanya kroni-kroninya. Program kredit pedesaan dan pengobatan murah untuk memupuk dukungan pemilih pedesaan.
Praktis, reformasi politik sesuai konstitusi 1997 nihil. Keadaan ini membuat Chamlong, membentuk PAD untuk mendongkel Thaksin yang dinilai menyelewengkan demokratisasi.
Kemelut politik
Kudeta memaksa Thaksin mengasingkan diri. Pemerintahan sementara, Council for National Security, berjanji memulihkan keamanan dan mengembalikan kekuasaan pada pemerintahan sipil melalui pemilu.
Pemilu Desember 2007 yang digelar junta, Partai Kekuatan Rakyat (PPP) jelmaan TRT memenangi pemilu. Meskipun Thaksin dan 110 pimpinan TRT dilarang mengikuti pemilu, jaringan elite daerah dan kroni bisnis Thaksin memobilisasi suara. PPP membentuk koalisi pemerintahan bersama partai lain. Samak Sundaravej didaulat menjadi PM. Keadaan ini mendorong PAD beraksi dan melahirkan kemelut politik. Penyebabnya, pertama, kroni Thaksin kembali berkuasa, pemerintahan Samak hanya boneka Thaksin. Kedua, PAD mensinyalir pemerintah akan mengganti Konstitusi 2007 guna memuluskan Thaksin ke politik dan memutihkan kasus korupsinya. Ketiga, kemenangan PPP disinyalir akibat gencarnya vote-buying. Upaya merombak struktur politik Thailand terbelenggu perilaku old politic elite.
Samak pun beraksi. Ia mendekati beberapa jenderal dan meminta tentara bersikap tegas terhadap demonstran PAD dan mencegah kudeta militer.
”New politic”
Melalui new politic, PAD mengajukan solusi. Klausul utama, menetapkan 30 persen kursi parlemen diisi melalui pemilu. Sisanya, 70 persen, diisi politisi yang ditunjuk. Suriyasai Katasila, Presidium PAD, mengemukakan kepada penulis, langkah ini ditempuh demi meminimalkan dominasi elite lokal di parlemen.
Alasan lain, memotong sumber finansial bagi elite politik. Tanpa menduduki jabatan di parlemen dan kabinet, ”politisi busuk” ini kehilangan akses atas dana publik. Tanpa rente, mereka diyakini akan sulit mempertahankan hegemoni di daerah pemilihannya.
Tuntutan kedua, PAD hanya mengakui pemerintahan pimpinan Partai Demokrat, yang dipandang (relatif) bersih dan reformis serta didukung kelas menengah. New politic diyakini ampuh merombak struktur politik.
Demokrasi Thailand adalah pertarungan antarelite, berikut kisruh perebutan kekuasaan antarkelompok. Sondhi Limthongkul, tokoh Presidium PAD, semula kawan Thaksin.
Pertarungan antarelite mencakup simpul politisi-birokrasi-militer-pebisnis dalam merebut kekuasaan acap menimbulkan kemelut. Persaingan elite mengakibatkan pemerintahan tidak stabil dan timbul fenomena oposisi semu. Kelompok politik saling jegal demi menjadi anggota koalisi pemerintahan guna memperoleh rente (Ockey, 1994).
Pelajaran lain, pelanggengan kemiskinan struktural. Masyarakat di pedesaan terbelenggu kendali patron.
Isu penting lainnya, hubungan politisi dan pebisnis. Partai dan politisi Thailand akan menebus utang dana kampanye dengan memberi proyek dan fasilitas pemerintah kepada cukong.
Luky Djani Mahasiswa Doktoral pada Asia Research Centre, Murdoch University; Peneliti ICW
Tulisan ini disalin dari Kompas, 8 September 2008