Tiap Hari Antikorupsi di Tiongkok
"SEMANGAT antikorupsi seharusnya jangan hangat-hangat tahi ayam. Begitu menggebu-gebu ketika di awal, di hari antikorupsi, namun melempem ketika Hari Antikorupsi sudah berlalu" (Afif Affandi, Gagasan, Jawa Pos, 9/12).
Kita tentu gembira melihat animo besar masyarakat di berbagai kawasan yang ikut berunjuk rasa pada Hari Antikorupsi Sedunia (9/12). Semoga spirit antikorupsi yang dikumandangkan akan terus bergaung. Kita gembira melihat perlawanan kultural terhadap korupsi mulai tumbuh dari rakyat. Spirit semacam itu semoga tidak layu tergusur beragam isu. Atau jatuh menjadi slogan atau retorika yang mati.
Terkait dengan itu, tak ada salahnya kita belajar dari Tiongkok (RRT). Di Negeri Tirai Bambu tersebut, setiap hari spirit antikorupsi selalu bergaung. Setiap hari selalu menjadi hari antikorupsi yang membuat para koruptor kian menjadi makhluk langka. Berita acara akan digelarnya eksekusi hukuman mati atas para koruptor yang selalu ditayangkan media pemerintah, baik TV, koran, atau radio benar-benar membawa efek jera yang efektif. Sementara negeri kita masih sibuk berpolemik tentang ayat-ayat hukum terkait korupsi, RRT langsung mengeksekusi mati para koruptor yang terbukti mengembat uang negara dan menghambat kemajuan bangsa.
Tidak ada toleransi sedikit pun bagi pejabat yang doyan korupsi. Tindakan tegas dan tanpa tawar-menawar dengan koruptor diyakini menjadi salah satu kunci kemajuan RRT. Sekitar 5.000 tempat pengaduan korupsi dibuka di seantero negeri. Setiap pengaduan masyarakat terkait korupsi pejabat akan segera dijawab dengan cepat.
***
Sejak berdiri pada 1 Oktober 1949, Tiongkok pernah sangat bermasalah dengan korupsi. Bahkan, ada yang menuduh sebagian nilai budaya dan adat istiadat Tiongkok turut menyuburkan korupsi. Seperti diketahui, sebagai ucapan terima kasih kepada orang lain yang dianggap berjasa, etnis Tionghoa memang biasa memberikan "uang teh".
Namun, sejak 1978, ketika Deng Xiaoping mencanangkan reformasi ekonomi dan keterbukaan Tiongkok (gaige kaifang), korupsi dinyatakan resmi sebagai musuh negara dan masyarakat.
Komitmen pemberantasan korupsi di RRT kian terkenal di dunia di era Perdana Menteri Zhu Rongji (1998-2002). Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu dengan lantang mengatakan, "Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama". Zhu tidak main-main. Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok, dihukum mati karena menerima suap USD 5 juta. Selama era Zhu, 4.000 orang dihukum mati, termasuk koruptor. Amnesti Internasional menyebutkan, jumlahnya bisa lebih banyak dari jumlah tersebut.
Pada era Zhu, birokrasi yang gemuk dirampingkan. Reformasi birokrasi benar-benar diterapkan. Kepastian hukum dijamin. Kebijakan ini mendorong iklim investasi yang mampu menghimpun dana asing senilai USD 50 miliar dolar setiap tahun.
Menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, kemajuan Tiongkok tak bisa lepas dari kontribusi Zhu dalam memberantas korupsi. Perang terhadap korupsi di era Zhu diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Korupsi memang membuat uang negara, yang antara lain dihasilkan dari pajak, bisa mengentas pendidikan bagi orang miskin.
Pada era Zhu, banyak sekali anak miskin yang diberi beasiswa untuk kuliah di berbagai negara. Selesai studi, mereka pulang membangun dan memajukan negaranya. Ah, andai uang korupsi di negeri kita bisa diselamatkan dan dimanfaatkan untuk beasiswa bagi kaum miskin, sungguh hebatnya!
Kini, pertumbuhan ekonomi negeri Tiongkok bisa berada pada kisaran 8-9 persen per tahun, terbesar di antara negara-negara lain. Bahkan, saat negara-negara maju (Barat dan AS) merosot pertumbuhannya akibat krisis keuangan global, RRT justru tetap bertumbuh.
Pada awal 2009, Robert Zoelick, direktur Bank Dunia, melontarkan gagasan bahwa krisis keuangan global hanya bisa diselesaikan oleh G-2. Maksudnya adalah AS dan Tiongkok. Untuk kali pertama posisi Tiongkok diperhitungkan setara dengan AS. Itu semua tercapai, antara lain berkat perang setiap hari melawan korupsi.
***
Meski demikian, bukan berarti Tiongkok saat ini menjadi seperti surga atau negara yang sudah sangat bersih sama sekali dari korupsi. Belum seperti itu. Pemerintah Tiongkok juga tidak pernah terlihat berpuas diri atau membanggakan prestasi di bidang pemberantasan korupsi. Tiap hari masih menjadi hari antikorupsi di Tiongkok.
Pada Oktober 2008 silam, mantan Men pan Taufiq Effendi berkunjung ke Beijing dan bertemu Menteri Supervisi (MOS) Tiongkok Ma Wen. Ketika itu Taufiq mengungkapkan, Indonesia siap belajar pemberantasn korupsi dari Tiongkok (Antara, 15/10/2008). Sayang pasca pertemuan itu, tidak ada gemanya. Yang terjadi kemudian justru ada upaya pelemahan KPK dan kekhawatiran tentang masa depan pemberantasan korupsi di tanah air.
Kita memang harus menyadari korupsi di negeri kita sudah begitu kronis dan Tiongkok pernah mengalaminya pada 1949-1979. Hanya dengan kemauan kuat dari semua pihak, terlebih pemerintah, untuk melawan korupsi, penyakit satu ini akan bisa diberantas. Tidak akan ada kemajuan diraih negeri ini selama masih ada korupsi. Kalau Tingkok bisa, kenapa kita tidak? (*)
Mustofa Liem, dewan Penasihat Jaringan Tionghoa untuk Kesetaraan dan Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi (Kompak)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 Desember 2009