Tidak Semua Gratifikasi Suap
Ramai diberitakan di beberapa media massa (Jawa Pos 10 Oktober 2006 dan sebelumnya) polemik tentang larangan gratifikasi (pemberian hadiah) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Sebab, ada asumsi bahwa gratifikasi dipandang sebagai perbuatan suap (korupsi).
Larangan tersebut dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan disusul para menteri yang terkait dengan pegawai negeri (Men PAN, Mendagri, Mendiknas). Larangan itu tentu mempunyai dampak ekonomi yang luas, terutama penjualan parsel menjadi tidak laku, sampai-sampai perkumpulan parsel melakukan demo di Kantor KPK Jakarta.
Ada pemahaman yang keliru soal gratifikasi dan implikasinya jika gratifikasi diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara. Hal itu belum banyak diketahui khalayak karena masyarakat -tidak menutup kemungkinan juga bagi aparat penegak hukum- tidak memahami norma hukum yang terkait dengan gratifikasi. Jika dibiarkan tanpa ada kejelasan atas konsep tersebut, dikhawatirkan ada ketakutan yang luar biasa bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk menerima gratifikasi.
Apakah gratifikasi?
Gratifikasi diatur dalam pasal 12 B UU No 31/1999 jo. UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disingkat UU PTPK. Dalam pasal 12 B UU PTPK dinyatakan bahwa: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya,