Tidak Semudah Mengayunkan Kapak di Tangan
Kerusakan hutan di Indonesia dipandang sudah pada taraf sangat mengkhawatirkan akibat kian parahnya penebangan liar, sementara upaya pemerintah untuk mempertahankan kelestarian hutan dipandang jauh dari memadai. Sikap penuh keraguan pun ditunjukkan masyarakat menanggapi lemahnya upaya aparat terkait dalam memberantas pelaku penebangan hutan secara liar.
Mentalitas aparat, baik di lapangan maupun di tingkat pengadilan, untuk bersikap tegas menangani perkara menjadi kendala utama sulitnya memberantas tindak kriminal penebangan hutan secara liar. Beratnya tugas pengawasan di lapangan, ditambah dengan godaan iming-iming materi, kerap jadi dua faktor komplementer yang menyebabkan sistem pengelolaan hutan yang sehat tak berjalan. Semuanya, ditambah dengan ketidaktegasan pemerintah selama ini, menjadikan perkara penebangan kayu secara liar tak mendapat perhatian penuh untuk diatasi.
Tekad Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menindak siapa pun yang terlibat dalam mata rantai penebangan kayu secara liar tanpa memedulikan latar mereka disambut antusias berbagai kalangan pemerhati hutan. Berbagai pihak tampak sudah ikut berbenah mengikuti irama pemerintah baru. Sikap tegas kepolisian melakukan berbagai operasi pemberantasan penebangan kayu liar sebagaimana dilakukan di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Papua merupakan contoh upaya positif pihak Polri. Demikian juga langkah Departemen Kehutanan yang tak lagi membolehkan konversi hutan jadi lahan perkebunan. Dephut bahkan memperkuat kemampuan hukumnya dengan memasukkan draf rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang pemberantasan penebangan kayu liar yang akan terintegrasi dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Di pihak lain, publik melihat semangat dan kebijakan saja belum menjamin terlaksananya pemberantasan penebangan kayu liar secara maksimal. Penebangan liar sudah telanjur parah. Jika tahun 2000 laju kerusakan hutan 1,6 juta hektar per tahun, maka tahun 2004 mencapai 3,6 juta hektar dengan nilai kerugian Rp 30 triliun-Rp 45 triliun per tahun. Bahkan, angka peningkatan kasus penebangan hutan secara liar terus terjadi hingga dua bulan setelah pencanangan tekad oleh Presiden Yudhoyono.
Sikap mental dan disiplin aparat pelaksana ternyata jadi persoalan mendasar yang menghalangi upaya pemberantasan penebangan kayu liar. Dedikasi aparat, termasuk di dalamnya kejujuran dan kesungguhan dalam menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan pemberantasan penebangan liar, dipandang sebagai kendala terbesar sebagaimana pengakuan 60 persen responden jajak pendapat ini. Sementara itu, kebijakan dan sistem pengelolaan hutan yang dibangun pemerintah hanya diakui 24 persen responden sebagai faktor penyumbang kendala.
Meski terdengar umum, kenyataan menunjukkan pemberantasan pembabat hutan memang lebih banyak terkait dengan perilaku manusianya. Betapa tidak, lolosnya kayu gelondongan maupun kayu langka seperti kayu merbau ke luar negeri tak mungkin terjadi tanpa berbagai pihak terlibat. Terlebih, modus operandinya biasanya di areal yang luas dan dengan mudah dideteksi dari udara lewat teknologi pencitraan satelit yang kian canggih saat ini. Sementara, alat-alat yang terlibat dalam penebangan kayu liar skala besar merupakan alat-alat berat yang tak sembarangan dimiliki masyarakat sebagaimana terjadi pada kasus perambahan hutan oleh masyarakat sekitar hutan. Hasil temuan LSM PSDA Watch di Papua memperlihatkan sindikat penebang liar di Papua, misalnya, melibatkan mulai dari petugas dinas kehutanan, pejabat pemda, bea cukai, kepolisian, angkatan laut, angkatan darat, hingga anggota DPR. Jadi, upaya untuk menuntaskan kasus penebangan kayu liar memang tak semudah mengayunkan kapak di tangan.
Lalu, kinerja dan kemampuan aparat berbagai lapisan untuk mengatasi masalah penebangan liar diakui publik juga masih serba belum memadai. Kemampuan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) bidang kehutanan, polisi, jaksa, hingga hakim dipandang sebagian besar responden (70 persen) belum memadai mengatasi kasus penebangan kayu liar ini. Persoalan suap-menyuap kerap kali jadi faktor yang mementahkan prosedur resmi yang seharusnya dijalankan.
Besarnya godaan suap yang harus dihadapi aparat memang tidak main-main. Untuk meloloskan ke luar negeri muatan kayu seukuran satu truk, umpamanya, para cukong kayu diketahui berani membayar suap Rp 5 juta-Rp 8 juta. LSM Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) yang bergerak di bidang pengawasan penebangan kayu liar bahkan melaporkan bahwa nilai suap yang diberikan sindikat penebang liar untuk ukuran muatan satu kapal bisa mencapai Rp 1,8 miliar agar bisa keluar dari perairan Indonesia. Wajarlah bila 70 persen responden menilai aparat pemerintah tak akan mampu memberantas penebangan kayu liar ini sebab melibatkan pemain-pemain besar.
Kondisi parah juga terjadi pada aparat pengawasan lapangan. Di tingkat polisi, raibnya truk pengangkut kayu gelap yang sudah ditangkap dan diparkir di depan kepolisian resor atau kepolisian daerah secara tiba-tiba tanpa kejelasan adalah hal yang lumrah terjadi. Demikian pula di tingkat kejaksaan, berkas perkara kasus penebangan liar yang dipingpong karena tak kunjung lengkap hingga berbulan-bulan bisa jadi indikasi bermainnya oknum tak bertanggung jawab.
Keterbatasan kemampuan aparat itu masih ditambah dengan kemunculan resistensi sebagian masyarakat yang kadang kala merasa usaha yang mereka lakukan tak menyalahi hukum. Sebagaimana peristiwa unjuk rasa pemilik dan pengusaha truk pengangkut dan penggergajian kayu di kantor bupati Tebo, Jambi, maupun unjuk rasa ribuan orang ke kantor bupati Jambi yang menilai pemerintah daerah tak memberikan kebebasan kepada masyarakat bekerja di bidang perkayuan memperlihatkan bahwa dimensi penebangan kayu liar memang luas. Kondisi salah kaprah yang terjadi bertahun-tahun kini kronis, yang dinilai 80 persen responden sebagai wujud pengelolaan hutan yang buruk.
Berbelitnya permasalahan di balik pengelolaan hutan di Indonesia menyiratkan selama ini memang tidak ada visi dan kebijakan yang konsisten terhadap hutan di Indonesia. Mulai dari visi tentang pemanfaatan hasil hutan untuk ekonomi, penjagaan dari penjarahan, hingga penghijauan kembali hutan yang telah gundul dipandang sebagian besar responden tak pernah dijalankan dengan baik. Terkait dengan penggundulan hutan, hampir seluruh responden menilai buruknya kinerja pemeliharaan hutan oleh pemerintah.
Sebagai sumber kekayaan alam dan penyangga ekosistem, hutan di Indonesia tidak pernah memperoleh pemeliharaan yang memadai. Sejauh yang dilihat publik, hutan justru dipandang sebagai sumber eksploitasi karena tak bertuan. Tak ada rasa takut dan bersalah jika membuat kerusakan terhadap isi hutan karena tak ada kerugian langsung yang kasatmata.
Betapapun, keseriusan pemerintah menindak para penebang liar memang dinantikan publik. Sebagian besar publik (63 persen) sejauh ini masih memandang berbagai tekad yang disuarakan pemerintah belum menunjukkan keseriusan yang memadai. Paling tidak, belum terlihat gerakan nasional yang sungguh-sungguh menindak pelaku di tingkat cukong besar.
Padahal, seperti pengakuan lebih dari tiga perempat responden, kondisi penebangan kayu liar di Indonesia saat ini sudah parah dan mengancam tak hanya kelangsungan fungsi daya dukung hutan, juga manfaat ekonomi dan industri yang bergantung pada hasil hutan. Proses deforestasi yang mencapai sejuta hektar per tahun beberapa tahun terakhir ini merupakan ancaman yang sangat nyata bagi sektor industri yang bergerak di bidang perkayuan, kertas, perkebunan, dan berbagai industri lain. (Toto Suryaningtyas/ Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, 5 Maret 2005