Tiga Pos APBD di Luar Ketentuan PP; Amirudin: Dugaan Korupsi DPRD Cukup Kuat [23/06/04]
Dugaan adanya korupsi di DPRD Jateng berkaitan dengan penggunaan dana APBD 2003 cukup kuat, jika melihat adanya tiga pos anggaran yang muncul di luar ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110/2000. Ketiga pos tersebut adalah sarana khusus, biaya rumah tangga DPRD, dan seragam. Kuatnya dugaan korupsi itu disampaikan dosen FISIP Undip Amirudin di sela-sela Sarasehan ''Menjaga Netralitas Anggota Korpri dalam Pilpres 2004'' di Gedung Pers, Selasa (22/6).
Dia mengemukakan, persoalan dugaan korupsi di tubuh DPRD bermula dari perbedaan persepsi antara KP2KKN dan Dewan dalam menginterpretasikan sebuah aturan. ''Saya setuju itu didorong ke proses hukum karena nantinya akan diketahui kejelasan tentang siapa yang benar dan yang salah,'' kata dia.
Pada saatnya nanti, bila Dewan dinyatakan bersalah maka kenyataan itu harus diterima. Sebab, institusi tersebut telah mengambil kebijakan dengan menetapkan perda menyangkut keuangannya. Dari sisi KP2KKN, ujar dia, ada penilaian DPRD telah melanggar. Sebab meski terbungkus oleh perda, aturan itu dianggap tak populis serta hanya menguntungkan institusi dan pribadi anggota DPRD.
Berdasarkan informasi dan pengamatannya, ada tiga pos anggaran yang muncul dalam APBD 2003 di luar ketentuan PP Nomor 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan Anggota dan Pimpinan DPRD. Ketiganya adalah sarana khusus, biaya rumah tangga, dan seragam. ''Jumlahnya cukup besar dan yang menjadi sengketa adalah itu.''
Soal sejauh mana kewenangan DPRD mengatur keuangannya dalam perda, tutur dia, sejak pemberlakuan otonomi daerah, Pemerintah Pusat hanya memberikan rambu-rambu. Dengan demikian, secara legal formal sulit untuk bisa mengatakan terjadi korupsi. Namun yang terlupakan, ada tiga pos yang di luar rambu-rambu tersebut tetap muncul dalam perda. ''Itu yang menjadi dasar teman-teman di KP2KKN melaporkan ke aparat penegak hukum.''
Berkaitan dengan perda yang di dalamnya juga mengatur keuangan DPRD, ujar Amirudin, perlu uji materiil. Dalam hal ini perlu diuji, perda itu sebenarnya menguntungkan DPRD sebagai institusi atau pribadi para anggotanya atau publik secara luas.
Soal posisi eksekutif, dia menilai, hanya sebagai pengelola setelah perda disahkan. Adapun yang paling dominan adalah DPRD. ''Mereka (eksekutif-Red) lebih tepat jadi saksi, bukan tersangka,'' tandas dia.
Potensial Disalahgunakan
Sementara itu, secara terpisah dalam Diskusi ''Mengungkap Modus Dugaan Penyelewengan APBD Jateng yang digelar oleh KP2KKN, Asisten Intelijen Kejati Jateng Zulkarnain SH mengungkapkan, masalah APBD Jateng sangat potensial memenuhi unsur disalahgunakan. Tak hanya masalah materiil tetapi juga kepatutan. Namun, ada berbagai kendala yang dihadapi kejaksaan dalam menuntaskan berbagai kasus dugaan korupsi.
Di persidangan, lanjutnya, jaksa penuntut umum harus menghadapi tiga orang hakim, terdakwa, dan pengacara. ''Bahkan, pengacaranya kadang-kadang berderet-deret dan diberi kesempatan berbicara semua. Kami harus menghadapi itu dan bisa menjadi kendala,'' ujanya.
Nyoman Sarekat mengemukakan, untuk membawa kasus itu ke pengadilan harus dipenuhi unsur-unsur normatifnya agar tidak salah langkah. Kejati tidak perlu terburu-buru karena di persidangan bisa ditemukan kelemahan.
Susilo Yuwono mengatakan, dugaan tindak pidana korupsi dalam anggaran publik ada dalam dua faktor, yaitu permainan dalam penyusunan anggaran untuk menyetujui pos-pos tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat dan kemungkinan adanya anggaran yang digunakan secara menyimpang sehingga menambah kekayaan pribadi atau seseorang. ''Untuk itu, dibutuhkan keberanian dan ketajaman analisis, penafsiran yang antisipatif dan inovatif dari pelaksana hukum.''
Adapun Rektor Universitas Wahid Hasyim Drs Noor Achmad MA yang juga anggota DPRD Jateng mengatakan, proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Jateng yang ditetapkan dengan peraturan daerah (perda) pada dasarnya melibatkan eksekutif. Setelah eksekutif menyusun anggaran dengan berbagai masukan, anggaran itu disodorkan ke legislatif melalui nota keuangan yang disampaikan gubernur.
Selanjutnya, DPRD Jateng membahas nota keuangan tersebut dalam rapat-rapat komisi serta oleh panitia anggaran. Finalnya, disampaikan dalam pandangan akhir fraksi melalui sidang paripurna setelah digodok panitia anggaran.
Karena itu, keputusan Dewan adalah keputusan kelembagaan. Pembuatan perda itu juga melalui proses yang demokratis. ''Jadi, ini persoalan yang debatable dan variatif, tergantung (pada cara) melihatnya dari sudut mana. Dari aspek aturan, hal itu tidak ada salahnya kecuali masalah kepatutan yang mungkin multitafsir,'' papar anggota DPRD Jateng itu.
Tentang apakah eksekutif seharusnya ikut diperiksa, dia menekankan, hal itu diserahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jateng. ''Itu wewenang Kejati, apakah eksekutif perlu dipanggil atau tidak.''
Menanggapi hal itu, Zulkarnain mengemukakan, pengusutan kasus dugaan korupsi itu dilakukan bertahap. ''Proses penyelidikan tidak bisa dilakukan tergesa-gesa,'' katanya.
Selain Zulkarnain dan Noor Achmad, hadir pula sebagai pembicara pakar hukum pidana Undip Dr Nyoman Sarekat Putra Jaya, praktisi hukum dan kandidat hakim ad hoc korupsi Susilo Yuwono SH, serta Divisi Monitoring dan Investigasi KP2KKN Boyamin. Acara yang dipandu Koordinator KP2KKN Muhajirin itu dihadiri pula oleh anggota Divisi Tindak Pidana Korupsi Polda Jateng, LSM, dan mahasiswa.(G1, G7-83, 69j)
Sumber: Suara Merdeka, 23 Juni 2004