Timtas Tipikor Periksa Dua Mantan Direksi Perumnas
JAKARTA - Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) memeriksa dua mantan direksi Perumnas di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, di Jakarta, Selasa (11/10) pagi. Pemeriksaan itu terkait kasus dugaan korupsi penjualan aset Perumnas di Cengkareng, Jakarta Barat, senilai Rp 300 miliar.
Menurut sumber Pembaruan, dua mantan direksi yang diperiksa sebagai saksi tersebut yakni mantan Direktur Wilayah II Achmad Solihin, mantan Direktur Keuangan, Asbin Siahaan. Selain dua mantan direksi itu, Timtas Tipikor juga memeriksa mantan Kepala Biro Perencanaan Perumnas, Mahdar Mulia.
Anggota Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo mengatakan, pihaknya menyambut baik langkah Timtastipikor tersebut, meskipun dinilai sudah terlambat. Sebab ICW sudah melaporkan kasus tersebut sejak enam bulan lalu. Laporan itu didukung data-data lengkap yang sudah cukup untuk melakukan penyelidikan.
Tetapi ketika kemarin kami mendapat informasi bahwa Timtas Tipikor memulai penanganan kasus ini dengan memeriksa tiga pimpinan Perumnas, itu sudah merupakan kemajuan. Timtas Tipikor perlu mendapat apresiasi, tutur Adnan.
Sementara itu jajaran Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung menyatakan belum mendapat data lengkap mengenai kasus dan proses pemeriksaan tiga pimpinan Perumnas tersebut.
Adnan melanjutkan, kasus ini perlu diusut tuntas sebab merugikan negara dengan menjual aset-aset Perumnas yang notabene perusahaan milik negara kepada pihak swasta dengan harga tdak wajar.
Aset yang seharusnya naik, dijual dengan harga murah. Manajemen Perumnas tahun 1998 hingga 2002 menerapkan logika bisnis keliru. Kami menduga ini dimanfaatkan orang-orang dalam Perumnas untuk keuntungan diri sendiri, tambah Adnan.
Dia menjelaskan, dalam kasus Perumnas, terjadi dua penyimpangan. Yakni adanya kerugian yang dialami Perumnas dengan adanya penurunan NJOP (nilai jual obyek pajak) untuk lahan seluas 1.800 hektare (ha) yang digunakan untuk perumahan di Cengkareng.
NJOP tanah tersebut semula sebesar Rp 660 ribu/meter persegi, namun diturunkan menjadi Rp 350 ribu/m2. Sementara harga jual tanah di wilayah tersebut ketika itu sekitar Rp 1 juta. Akibatnya Perumnas merugi Rp 300 miliar.
Padahal sesuai aturan dalam UU perpajakan khususnya soal PBB tidak ada aturan mengenai mekanisme penurunan NJOP. Kalaupun ada, hanya berupa pembebasan NJOP tetapi dengan persyaratan, salah satunya tanah itu dipakai untuk kepentingan publik atau orang-orang yang tidak memiliki pendapatan finansial yang mencukupi untuk membayar pajak, tutur Adnan.
Permasalahan kedua, tanah yang digunakan untuk pembangunan perumahan itu menyalahi izin prinsip yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi DKI Jaya. (Y-4)
Suara Pembaruan, 12 Oktober 2005