Tokoh Nasional Desak KPK Panggil Kabareskrim

Keluarkan Petisi, Tokoh Nasional Imbau Jasin dan Haryono Tidak Mundur

Kehilangan ketua dan dua pimpinan lain karena terjerat kasus hukum bakal melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Tidak. Lembaga antikorupsi tersebut tidak akan kehilangan taring. Setidaknya, itulah penegasan dua pimpinan KPK tersisa, M. Jasin dan Haryono Umar, kemarin (16/9).

Mereka menyatakan masih memiliki wewenang memberantas korupsi. Di antaranya, menindak dan mencegah. Penegasan tersebut disampaikan langsung Wakil Ketua KPK M. Jasin di Gedung KPK kemarin.

''Yang pasti, UU KPK (UU No 30 Tahun 2002) tidak menyinggung batas minimal tentang pimpinan KPK yang berhak mengambil keputusan,'' jelasnya. Karena itu, dua pimpin­an yang tersisa pun masih bisa melakukan dua fungsi utama KPK, yakni mencegah dan menindak korupsi

Jasin menegaskan, merujuk pa­sal 36 huruf b UU KPK, bila pimpinan KPK terlibat kasus hu­kum, mereka tidak boleh meng­ambil kebijakan. ''Merujuk pasal itu, dalam mengambil keputusan, pimpinan tidak harus lengkap,'' ujarnya. Dengan begitu, meski tersisa dua pimpinan, KPK belum bisa dikatakan lumpuh.

Namun, selama ini berkembang pendapat bahwa kepemimpinan KPK bersifat kolektif kolegial. Pimpinan harus berjumlah lima orang. Artinya, setiap keputusan harus diambil bersama. Bila pimpinan tersisa dua orang, mereka tidak bisa lagi mengambil keputusan. Sebab, bila terjadi perbedaan pendapat, keputusan mereka tak bisa final.

Hal tersebut juga pernah dipersoalkan saat rapat dengar pendapat (RDP) DPR dengan KPK pas­ca penahanan Antasari. Saat itu, pimpinan KPK tinggal empat orang. Kalangan DPR mempersoalkan sifat kolektif kolegial tersebut. Mereka mendesak agar KPK tak mengambil keputusan strategis.

Rapat internal KPK, kata Jasin, juga telah memutuskan bahwa dua pimpinan yang berstatus ter­sangka tidak dibolehkan me­ngambil keputusan. ''Berdasar rapat internal bersama biro hukum, mereka tidak mengambil keputusan dulu,'' ucapnya.

Pemberhentian itu akan ditegaskan presiden dengan mengeluarkan keputusan penonaktifan. Sama halnya saat Antasari Azhar menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan.

Jasin menambahkan, sifat kolektif kolegial tersebut digunakan saat mengambil keputusan penindakan dan pencegahan. ''Jadi, dalam penindakan itu kami merapatkan mulai penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan,'' jelasnya.

Hal-hal lebih teknis seperti pengeluaran surat cekal dan pencabutan cekal cukup dilakukan seorang pimpinan. ''Dulu, pembagian tugas saat pimpinan masih lengkap bisa diatur dengan surat keputusan,'' ungkapnya.

Ketua Dewan Penasihat Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis mene­gaskan bahwa dua pimpinan KPK masih bisa mengambil keputusan. ''Undang-undang tidak mengatur berapa pimpinan bisa mengambil keputusan,'' katanya.

Di tempat terpisah, sejumlah tokoh nasional kemarin juga menyelenggarakan pertemuan di Gedung KPK. Mereka berupaya mencermati pelemahan yang terjadi di lembaga antikorupsi tersebut akhir-akhir ini. Mereka adalah sosiolog UI Imam B. Prasodjo, To­dung Mulya Lubis, Ketua MUI Amidhan, ekonom Faisal Basri, praktisi manajemen Rhenald Ka­sali, Ketua PB NU Masdar F. Mas'udi, serta mantan pimpinan KPK Taufiqurrahman Ruki dan Tumpak Hatorangan Panggabean.

Mereka merumuskan petisi untuk menyelamatkan KPK dari ambang kehancuran. Mereka juga menolak bila M. Jasin dan Haryono Umar akhirnya memilih mengundurkan diri dari KPK. ''Anda tidak bisa memilih meng­undurkan diri. KPK masih butuh orang seperti Anda,'' seru mereka.

Dalam pembahasan tersebut, muncul desakan agar KPK segera memanggil Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji (SD). Dia diduga memiliki konflik kepentingan dalam penanganan penyalahgunaan we­wenang yang menyeret Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah. ''Saya ingin melihat dua pimpinan KPK yang tersisa se­gera memanggil pejabat kepolisian berinisial SD,'' tegasnya.

Mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki mengungkapkan, dalam menghadapi konflik, KPK harus lebih jeli. ''Kalau konflik dengan kepolisian itu merupakan konflik hukum, harus dihadapi dengan hukum. Kalau politik, hadapilah dengan cara politik,'' ucapnya. Karena itu, KPK harus membentuk komite etik yang menilai apakah yang dilakukan Bibit dan Chandra termasuk pe­nyalahgunaan wewenang.

Akhirnya, sejumlah tokoh tersebut menelurkan sembilan petisi. Di antaranya, menolak upaya pengerdilan KPK lewat berbagai cara yang salah satunya melalui pembahasan Rancangan UU Pengadilan Tipikor karena telah menyimpang dari amanat reformasi. Juga, menolak RUU Peng­adilan Tipikor yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Kelompok tersebut juga mendesak pengkajian ulang atas tuduhan dan penetapan dua pimpinan KPK sebagai tersangka oleh tim independen. Mereka juga me­minta menunda pemberhentian sementara dua pimpinan KPK oleh presiden sampai hasil tim komite etik rampung.

SBY Cari Solusi
Di bagian lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan, tugas KPK akan terganggu jika hanya dikendalikan oleh dua pimpinan. Karena itu, dia sedang mencari kons­truksi hukum dan administrasi yang tepat agar tidak terjadi kekoso­ngan kepemimpinan KPK.

''Saya sedang mencari konstruksi hukum dan administrasi yang paling tepat bagaimana agar tidak terjadi kevakuman dalam kepemimpinan KPK, sehingga bisa tetap menjalankan tugasnya,'' kata SBY di Kantor Presiden kemarin (17/9).

Kapolri Bambang Hendarso Danuri turut mengikuti rapat terbatas bidang polkam itu di Kantor Presiden. Namun, saat SBY memberikan keterangan pers, Bambang tidak ikut serta. SBY didampingi Menko Polhukam Widodo A.S., Menkum HAM Andi Mattalatta, Mensesneg Hatta Rajasa, serta Menseskab Sudi Silalahi.

SBY berniat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk me­ng­atasi kekosongan kepe­mim­pinan di KPK. Sebelum mengambil langkah tersebut, dia akan berkonsultasi dengan DPR, MK, serta MA. ''Kandungan perpu itu supaya KPK tetap berjalan dan tidak ada kekosongan hukum,'' jelasnya.

Dia menuturkan, jika undang-undang tidak memungkinkan hanya ada dua pimpinan KPK, harus ada pemilihan kembali. Namun, pemilihan kembali baru bisa dilakukan jika pimpinan KPK diberhentikan tetap ketika sudah menjadi terdakwa. Penggantian pun akan memakan waktu lama. ''Karena itu, saya berpikir untuk mengisi kekoso­ngan ini dengan konstruksi hukum yang paling tepat,'' katanya. (git/sof/rdl/pri/iro)

Sumber: Jawa Pos, 17 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan