Tolak RPP Penyadapan: Babak Baru Upaya Melemahkan KPK
Terkait dengan rencana penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Penyadapan di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata dilakukan Konferensi Pers dengan tema: MENOLAK RPP PENYADAPAN sebagai bentuk Pelemahan KPK Gaya Baru. Narasumber: Emerson Yuntho, Wakil Koordinator ICW dan Febri Diansyah, Peneliti Hukum ICW. Dibawah ini ada RILIS MEDIA yang disampaikan tadi siang, dan di attachmen ada 13 persoalan hukum dalam RPP Penyadapan tersebut dan Berkas RPP Tata Cara Intersepsi per: 6 Oktober 2009.
Point Kritis Penyadapan
RPP Penyadapan
Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang ITE
PERNYATAAN PERS
TOLAK RPP PENYADAPAN: BABAK BARU UPAYA MELEMAHKAN KPK
Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi saat ini tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai tata cara penyadapan bagi penegak hukum (atau disebut RPP tentang Tata Cara Intersepsi). Pemerintah beralasan bahwa Rancangan ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan menertibkan kewenangan penyadapan karena sekarang patut dicurigai antar instansi saling melakukan penyadapan. RPP ini ditargetkan selesai enam bulan ke depan.
Gagasan atau ide pengaturan penyadapan ini muncul ketika KPK sedang dilemahkan dan dikriminalisasi. Padahal KPK dinilai relatif lebih berhasil menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan banyak aktor yang berasal dari kalangan eksekutif, legislative, yudikatif dan swasta. Prestasi ini tentu tidak bisa dilepaskan dari kewenangan luar biasa yang dimililikinya, khususnya “melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan” (Pasal 12 ayat (1) huruf a). Dengan kewenangan penyadapan tersebut, terbukti sejumlah koruptor berhasil dijerat dan tertangkap tangan oleh KPK. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan Mulyana W Kusumah, Artalyta Suryani, Al Amin Nasution, dan masih banyak lainnnya. Bahkan dugaan adanya Mafia Peradilan dan rekayasa hukum pada kasus Bibit dan Candra juga terungkap dalam persidangan MK. Bayangkan jika kewenangan penyadapan ini dipangkas dan dikontrol oleh penguasa yang diragukan komitmen pemberantasan korupsinya?
Inisiatif Menkominfo ini juga menimbulkan kesan bahwa ada upaya pemerintah untuk mengebiri kewenangan KPK. Apalagi ide ini muncul tidak lama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuka rekaman hasil penyadapan antara Anggodo dengan sejumlah kalangan. Penyadapan yang dilakukan oleh KPK pada akhirnya mengungkapkan fakta dugaan rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK.
Kesesatan Hukum
Selain mengancam pemberantasan korupsi, substansi RPP tersebut juga dinilai menyalahi konsep hukum dan tata negara Indonesi. Bahkan, MK melalui salah satu putusannya menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK sudah konstitusional. Atau kalaupun perlu diatur, harus dilakukan secara hati-hati, tidak berakibat melemahkan KPK dan diatur setingkat Undang-undang. Sehingga, jika RPP ini dipaksakan, kita bisa katakan, ada upaya sadar melawan putusan Mahkamah Konstitusi.
Ide RPP ini juga tidak populis, ketika publik menginginkan KPK diperkuat dan bukan justru membatasi. Pada sisi lain kami mempertanyakan komitmen Menkoinfo Republik Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi dan dukungan terhadap KPK.
Penyusunan regulasi ini juga harus dimaknai sebagai babak baru pelemahan KPK, setelah upaya melemahkan KPK melalui permohonan permohonan uji materiil (judicial review) di MK dan kriminalisasi pimpinan KPK mengalami kegagalan. Hanya koruptor dan pendukungnya yang terganggu dengan upaya penyadapan KPK dan tidak menginginkan KPK menjadi lebih kuat.
Pemerintah juga tidak perlu menerbitkan PP tentang Penyadapan. UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur secara tegas larangan penyadapan yang dilakukan selain untuk kepentingan penegakan hukum.
Dalam Pasal 31 ayat (1) UU 11 tahun 2008, lanjutnya, yang mengatur BAB VII tentang Perbuatan Yang Dilarang adalah termasuk setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Dan dalam ayat (2) menyebutkan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik. Dalam UU tersebut, juga Pasal 47 juga mengatur mengenai sanksi dalam Pasal 31 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Dengan demikian tata cara penyadapan diserahkan kembali pada UU yang berlaku.Ketentuan Penyadapan KPK diatur dalm UU KPK dan aturan turunan di internal KPK.
Selain itu jika dicermati kembali secara subtansi RPP Penyadapan (intersepsi) yang disusun oleh Depkominfo memiliki sejumlah kelemahan atau persoalan (Terlampir). Beberapa diantaranya adalah adanya keharusan izin atau penetapan Ketua Pengadilan ketika melakukan penyadapan. Proses izin atau penetapan Ketua Pengadilan sebagai syarat dalam melakukan penyadapan menjadikan proses menjadi sangat birorkartis dan berlarut-larut. Keberhasilan KPK (dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian) selama ini karena tidak mengalami hambatan terkait dengan proses perizinan mulai dari pemeriksaan anggota dewan atau kepala daerah hingga membuka rekening perbankan seorang tersangka.
Untuk kondisi praktek mafia peradilan yang masih marak di pengadilan maka proses izin atau penetapan ini berpotensi menjadi “dagangan” oknum Ketua Pengadilan. Pertanyaan mendasar lainnya adalah ketika KPK ingin menyadap Hakim atau Ketua Pengadilan atau pejabat pengadilan bahkan pimpinan MA apakah izinnya akan keluar atau …?
Pada intinya RPP yang ada justru mempersempit ruang KPK, memperpanjang birokrasi sehingga proses menjadi berlarut-larut, potensial terjadi kebocoran mulai dari tahap permintaan hingga hasil penyadapan, membuka peluang praktek korupsi diperadilan, pembentukan Pusat Intersepsi Nasional dan Dewan Intersepsi Nasional memberikan peluang adanya intervensi dan membuat proses penegakan hukum menjadi tidak efektif dan cenderung gagal. KPK adalah institusi yang paling dirugikan dari terbitnya regulasi ini dan berdampak pada upaya pemberantasan korupsi akan mengalami kemunduran.
Menjebak SBY
Kami berpendapat, RPP yang nantinya akan ditandatangani Presiden SBYdapat dikategorikan sebagai langkah yang berpotensi menjebak Presiden jika substansi RPP justru mengandung kesesatan hukum dan melemahkan pemberantasan korupsi. Meskipun insiatif RPP berasal dari Menkominfo, akan tetapi PP tersebut tetaplah akan dilihat sebagai kerja Presiden SBY. Dan, jika PP itu justru mengkebiri KPK, maka diperkirakan pemerintah akan kembali tergoncang seperti saat ini. Karena masyarakat Indonesia sudah sangat sadar efek korupsi yang sangat buruk bagi kehidupan, sedangkan institusi yang mulai berhasil adalah KPK. Ketika lembaga ini mulai sangat dicintai rakyat, maka segala pihak yang mencoba melemahkan dan mengkebiri kewenangan pamungkasnya akan menjadi musuh pemberantasan korupsi. Musuh dari harapan rakyat Indonesia yang ingin koruptor dijerat dan dihukum seberat-beratnya.
Karena itulah, jika Presiden SBY masih berkomitmen dengan penguatan KPK dan pemberantasan korupsi, maka RPP ini harus dihentikan. Dan perlu ada teguran dan sanksi terhadap pihak yang mencoba menyerang pemberantasan korupsi. KPK seharusnya diperkuat, bukan dipreteli upaya-upaya melemahkan kewenangannya. Jika KPK lemah, koruptorlah pihak yang paling diuntungkan.
Berdasarkan uraian diatas, maka kami menyatakan:
-
Mengingatkan Presiden SBY agar tidak terjebak dengan agenda pelemahan KPK dan Pemberantasan Korupsi.
-
Menolak RPP tentang Penyadapan (Tata Cara Intersepsi). Proses ini dinilai harus dibaca sebagai masih terusnya terjadi upaya pelemahan KPK.
-
Proses atau mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh KPK tetap mengacu pada UU KPK yang saat ini berlaku, dengan tetap mendoorong penerapan standar operasional procedure (SOP) dan check and balance internal yang ketat serta adanya audit secara regular.