Tolak Seleksi (ulang ) Pimpinan KPK
Terkait dengan pemberhentian (sementara) Antasari Azhar sebagai Ketua KPK, DPR terburu-buru akan melakukan seleksi ulang pimpinan KPK. ICW menolaknya. Berikut press release ICW.
Pernyataan Pers
TOLAK SELEKSI (ULANG) PIMPINAN KPK
Beberapa kalangan khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai mewacanakan mengenai seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menggantikan posisi Antasari, yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direkur Utama PT Putra Rajawali Banjaran. Terkait dengan proses seleksi, saat ini berkembang tiga wacana besar. Pertama, percepatan seleksi untuk pengganti Antasari selaku Ketua KPK. Kedua, upaya memangkas proses seleksi tidak lagi melalui panitia seleksi yang dibentuk pemerintah namun DPR dapat langsung memilih pimpinan berdasarkan peringkat saat fit and propert test di Komisi III DPR. Ketiga, karena posisi Antasari dinilai mewakili unsur kejaksaan maka penggantinya juga harus dari kejaksaaan.
Ada beberapa hal yang penting untuk disikapi dari wacana seleksi ulang pimpinan KPK tersebut.
1.Terburu-buru
Saat ini status Antasari baru tersangka, berdasarkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) langkah hukum yang dapat dilakukan hanya pemberhentian sementara sebagai pimpinan KPK melalui Keputusan Presiden dan Pemberhentian tetap setelah berstatus Terdakwa. Seharusnya DPR menghormati proses hukum yang sedang berjalan, dan tidak justru melakukan intervensi pada penegakan hukum yang sedang dilakukan Kepolisian.
2.KPK tidak mengalami kekosongan kepimimpinan
Bunyi pasal 33 UU KPK , tentang kekosongan pimpinan masih menimbulkan penafsiran. Pasal 33 ayat 1 menyebutkan “Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” Apakah benar ada kekosongan pimpinan? Dengan masih adanya 4 orang pimpinan KPK yang dapat menjalankan tugas dan fungsi KPK maka tidak dapat diartikan terjadi sebagai terjadi kekosongan hukum.
3.Mekanisme fit and propert test oleh DPR dipertanyakan
Belajar dari pengalaman fit and proper test calon Pimpinan KPK oleh Komisi III DPR yang dilakukan sekitar akhir tahun 2007 lalu, ICW mencatat sejumlah persoalan dalam proses tersebut. Sikap DPR yang cenderung tidak mempertimbangkan masukan dari publik terkait rekam jejak calon memperkuat dugaannya adanya politik transaksional dibalik pemilihan tersebut. Khusus Antasari Azhar, bahkan ICW sudah merekomendasikan pansel dan DPR untuk tidak memilih. Karena sejumlah catatan, hasil investigasi dan rekam jejak menunjukkan kelemahan dan potensi korup caln tertentu. Akan tetapi DPR terlihat tidak peduli dengan masukan masyarakat dan cenderung tetap memilih calon yang sudah disiapkan sejak awal.
Tingginya tingkat dan persepsi publik tentang korupsi di DPR membuat masyarakat ragu, jika proses seleksi pimpinan KPK kali ini tetap dilakukan oleh DPR periode 2004-2009. Bukan tidak mungkin, arena percaturan dan ”jual beli” posisi kembali terjadi jika fit and proper test tersebut tetap dilakukan secara terburu-buru..
Demikian halnya pada saat fit and proper test, muncul favoritisme, perbedaan perlakuan, dukungan secara langsung terhadap calon, tekanan terhadap satu calon tapi tidak terhadap calon yang lain, beberapa isu pokok terkait dengan calon yang bersumber dari laporan masyarakat tidak muncul sebagai bahan pertanyaan bagi Komisi III DPR.
Untuk kondisi saat ini kami menilai DPR periode saat ini belum dapat diharapkan menghasilkan calon pimpinan KPK yang diharapkan (memiliki integritas yang tinggi, kemampuan/kualitas diatas rata-rata dan keberanian luar biasa dalam memberantas korupsi serta tidak punya interest politik) .
4. Mekanisme seleksi sistem kilat, berdampak pada hasil seleksi menjadi cacat hukum.
UU KPK jelas menyebutkan adanya prosedur yang panjang dalam melakukan proses seleksi pimpinan. Pasal 33 ayat (2) menyebutkan ” Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31” . Merujuk pasal-pasal tersebut setidaknya proses seleksi butuh waktu kurang lebih 6 bulan. Selain itu tidak ada pengeculian seleksi ini dapat disimpangi atau dipersingkat. Ide-ide percepatan akan berdampak pada hasil seleksi menjadi cacat hukum dan dapat dibatalkan.
5.Pimpinan KPK dipilih tidak mewakili atau harus berasal dari institusi tertentu
Munculnya ide atau wacana bahwa pengganti Antasari harus orang kejaksaan adalah ide yang keliru. Penjelasan UU KPK jelas menyebutkan bahwa pimpinan KPK terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat. Unsur pemerintah tidak dapat dipersempit dengan hanya dengan institusi kejaksaan. Dengan dasar bahwa institusi KPK adalah bersifat independent maka orang-orang yang terpilih bukan mewakili kepentingan pemerintah. Oleh karenanya mekanisme seleksi - jikapun dilakukan tetap harus mendasarkan aturan dalam UU KPK membuka peluang masuknya calon dari unsur masyarakat maupun pemerintah.
Berdasarkan uaraian diatas, maka kami menolak proses seleksi (ulang) pimpinan KPK yang dilalukan oleh Pemerintah dan atau DPR.
Jakarta, 6 Mei 2009
Indonesia Corruption Watch
Emerson Yuntho (Wakil Koordinator Badan Pekerja) - Febri Diansyah (Peneliti Hukum)