Tolak Surat Edaran Mendagri No. 555 TAHUN 2009
Meski telah di penghujung masa jabatan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak lekang dirundung masalah. Di tengah gencarnya tuntutan publik untuk pengembalian asset daerah yang digunakan seperti rumah dan mobil dinas, muncul juga rekayasa mendapatkan rapelan tunjangan komunikasi intensif (TKI) dan Bantuan Penunjang Operasional (BPO). Isu yang diawali dengan munculnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini sangatlah kontroversial. Selain dipandang menerobos Peraturan Pemerintah, Edaran ini juga dinilai sebagai intervensi politik terhadap proses hokum. Ujung-ujungnya jika edaran ini diterapkan, Negara terancam dirugikan hingga triliunan rupiah. Koalisi GUGAT (Gerakan Tuntut Pengembalian Tunjangan) mengeluarkan sikapnya. Berikut Press Release Koalisi yang disampaikan di kantor ICW, 3 September 2009.
TOLAK SURAT EDARAN MENDAGRI NO. 555 TAHUN 2009
Meski telah di penghujung masa jabatan, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tak lekang dirundung masalah. Di tengah gencarnya tuntutan public untuk pengembalian asset daerah yang digunakan seperti rumah dan mobil dinas, muncul juga rekayasa mendapatkan rapelan tunjangan komunikasi intensif (TKI) dan Bantuan Penunjang Operasional (BPO). Isu yang diawali dengan munculnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri ini sangatlah controversial. Selain dipandang menerobos Peraturan Pemerintah, Edaran ini juga dinilai sebagai intervensi politik terhadap proses hokum. Ujung-ujungnya jika edaran ini diterapkan, Negara terancam dirugikan hingga triliunan rupiah.
Surat Edaran Mendagri
Seakan sedang merayakan hari kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 2009 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran yang ditujukan kepada Kepala Daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota. Inti dari Surat Edaran No. 555/3032/SJ yang ditandatangani H. Mardiyanto tersebut adalah untuk membatalkan ketentuan di dalam Surat Edaran yang telah dikeluarkan sebelumnya (No.700/08/SJ tertanggal 5 Januari 2009). Ketentuan angka 3 di dalam Surat Edaran mendagri No. 700 tersebut menyebutkan bahwa “Apabila sampai batas waktu yang ditetapkan di dalam PP 21 tahun 2007 dan Permendagri No. 21 tahun 2007 Pimpinan dan Anggota DPRD terkait, yang belum juga melunasi penyelesaiannya dilimpahkan kepada aparat penegak hukum’.
Surat edaran No. 555 ini di awali dengan setidaknya 4 pertimbangan, yaitu:
- Adanya keberatan Uji Materil yang dimohonkan oleh Drs. Petrus Boliana Keraf dan kawan-kawan dengan Kuasa Hukum Petrus Balla Pattyono terhadap PP No. 21 tahun 2007 tertanggal 11 Juni 2009.
- Surat dari Ketua Asosiasi DPRD Propinsi Se-Indonesia No. 42 tertanggal 31 Juli 2009.
- Di dalam surat edaran ini juga dijelaskan posisi Depdagri terkait dana TKI dan BPO, sebagai berikut:
- Depdagri sedang melakukan pemetaan atas pengembalian dana TKI dan BPO Pimpinan dan Anggota Propinsi dan Kabupaten/Kota.
- Permohonan pembebasan atau perpanjangan pengembalian TKI dan BPO harus melalui perubahan PP No. 21 tahun 2007 yang di tingkatan Depdagri masih dalam pengkajian dengan memperhatikan berbagai aspek.
Terhadap dikeluarkannya Surat Edaran No. 555/3032/SJ tertanggal 18 Agustus 2009 ini, Koalisi GUGAT (Gerakan Tuntut Pengembalian Tunjangan) menilai sebagai berikut:
1. SE Mendagri Melanggar Hukum
Di dalam Pasal 29 Ayat (1) PP No. 21 tahun 2007 menyatakan bahwa:” Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima tunjangan komunikasi intensif dan pimpinan DPRD yang telah menerima dana operasional sebagaimana dimaksud di dalam PP 37 tahun 2006 (Pasal 10A.) harus menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti anggota DPRD periode 2004-2009”.
Dengan adanya SE Mendagri ini jelas terlihat bahwa ketentuan yang ada di dalam SE telah melampaui atau bertentangan dengan ketentuan yang PP No. 21 tahun 2007 yang berada di atasnya. Dengan demikian, ketentuan di dalam SE ini dapat dianggap cacat dan harus dibatalkan demi hukum. SE ini telah melanggar ketentuan Pasal 7 ayat (5) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang menjelaskan bahwa; “kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki...” sebagaimana dijabarkan di dalam penjelasan ayat ini bahwa: “yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundangan yang didasarkan pada azas bahwa peraturan perundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi”.
Hal ini sangat riskan karena posisi Surat Edaran Mendagri tidak termasuk di dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti yang dimaksud di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 10 tahun 2004.
2. SE Mendagri Adalah Intevensi Terhadap Proses Hukum
Dengan pertimbangan hukum seperti termaktub di atas, juga terlihat bahwa SE yang dibentuk ini tidak memiliki kejelasan tujuan secara substansial. Di satu sisi SE ini seakan menjadi jembatan sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah yang baru. Di sisi yang lain, surat edaran ini mengakomodir kondisi sebelum dikeluarkannya keputusan Mahkamah Agung (MA) terkait hasil uji materil dan juga mengakomodir surat asosiasi DPRD Propinsi.
Di dalam konteks ini terlihat bahwa SE ini sangat kuat mengandung nuansa intervensi politik di tengah ketidakjelasan posisi aturan main terkait dana TKI dan BPO. SE juga terkesan mengandung kepentingan kuat para politisi di DPRD untuk terbeubas dari ketentuan Pasal 29 ayat (1) PP No. 21 tahun 2007.
Padahal ketentuan di dalam PP jelas-jelas mendukung proses hukum atas penerimaan dana TKI dan BPO yang oleh PP ini dipandang ”haram” untuk diterima. Batas waktu yang ditetapkan bagi anggota DPRD periode 2004-2009 juga sudah lewat, yaitu pada periode Juli - Agustus 2009 (DPRD Kab/Kota Juli 2009 dan DPRD Propinsi Agustus 2009 – Peraturan KPU terkait tahapan Pemilu 2009 No. 9 tahun 2008).
Dengan demikian posisi SE selain dapat dipandang sebagai bentuk intervensi terhadap proses hukum atas dugaan Korupsi bagi anggota DPRD yang tidak mengembalikan dana TKI dan BPO.
3. SE Mendagri Memicu Pemborosan dan Legalisasi Korupsi Anggaran Negara
Dikeluarkannya SE ini jika tidak segera dicabut oleh Pemerintah dapat dipandang sebagai bentuk legalisasi atas pemberian dana TKI dan BPO kepada anggota DPRD yang mana oleh ketentuan SE ini soal pengembalian telah turut dilemahkan karena tidak disertai oleh ketegasan konsekuensi hukum sebagaimana diatur di dalam PP No. 21 tahun 2007.
SE ini juga dapat dianggap melegalkan pembelanjaan anggaran negara yang telah jelas dilarang oleh peraturan pemerintah sehingga dapat dianggap sebagai bagian dari upaya melegalkan korupsi.
Tidak dapat dibayangkan jika SE juga memicu penolakan pengembalian dana TKI dan BPO. Karena jika tidak dikembalikan akan memicu pemborosan anggaran sebesar total Rp 1,46 triliun per tahun atau sebesar Rp 5,84 triliun.
4. SE Mendagri Adalah Preseden Buruk bagi Parlemen Indonesia
SE Mendagri yang keluar di penghujung akhir masa jabatan DPRD 2004-2009 akan menjadi preseden buruk bagi wajah parlemen Indonesia. Karena pengembalian dana TKI dan BPO merupakan wujud dari kejujuran, integritas, sikap anti-korupsi dan kepedulian terhadap rakyat miskin yang diwakilinya. Tidak dikembalikannya dan TKI dan BPO dapat mencoreng wajah dan kinerja DPRD.
Berdasarkan penilaian seperti yang dijabarkan di atas, maka Koalisi GUGAT menyatakan MENOLAK!! Diberlakukannya SE Mendagri No. 555 tahun 2009.
Terkait dikeluarkannya SE ini kami menyampaikan:
- Presiden untuk mengambil sikap politik yang pro-rakyat di akhir masa jabatan pemerintahan.
- Agar supaya Pemerintah segera meninjau kembali SE ini dan segera mencabutnya.
- Presiden memberikan teguran kepada Menteri Dalam Negeri karena SE ini dipandang telah melampaui kewenangan dan mengantarkan Presiden pada posisi yang berbahaya.
- Agar Ketentuan Pengembalian dana TKI dan BPO tetap dilaksanakan sesuai dengan PP No. 21 tahun 2009 secara transparan ke Kas Daerah masing-masing.
- Bagi anggota DPRD yang tetap menolak mengembalikan untuk segera diproses secara hukum sebagai dugaan korupsi.
- Menghimbau seluruh masyarakat untuk segera menuntut pengembalian dana TKI dan BPO di seluruh daerah.
Jakarta, 3 September 2009
Koalisi GUGAT (Gerakan Tuntut Pengembalian Tunjangan)
IBC, Initiative Institute, Indonesia Corruption Watch, Indonesia Parliamentary Center, LBH – Jakarta, Transparency Internatioanal Indonesia (TII)
Kontak:
Arief Nur Alam (IBC) : 08159590511
Ibrahim Fahmy Badoh(ICW): 081319684443
Sulastio (IPC) : 0811193286
Ibeth Koesrini : 08176001040