Tommy Dibidik Kasus Mobnas; Kejagung Bentuk Tim, Juga Incar Monopoli Cengkih
Hutomo Mandala Putra alias Tommy bebas pada September mendatang. Namun, jerat hukum baru siap menghadang putra bungsu mantan Presiden Soeharto tersebut. Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang menyiapkan jerat hukum bagi Tommy dalam kasus pembebasan pajak impor program mobil nasional (mobnas) Timor yang merugikan negara Rp 3 triliun.
Langkah Kejagung itu dilakukan untuk menindaklanjuti desakan berbagai kalangan, termasuk Komisi III DPR, agar kasus yang melibatkan kroni Soeharto juga diusut. Saya sudah memerintahkan dimulainya penyelidikan kasus mobnas. Bahan-bahannya kan sudah ada, kata JAM Pidsus Hendarman yang ditemui di Gedung Bundar, Jakarta, akhir pekan lalu. Instruksi tersebut akan diikuti pembentukan tim penyelidik yang beranggota jaksa di Kejagung.
Dalam kasus mobnas Timor, pintu masuk yang akan dipersoalkan oleh Kejagung adalah terbitnya Inpres No 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Mobnas yang disusul Keppres No 42 Tahun 1996. Dalam keppres yang terbit pada Juni 1996 itu, PT Timor Putra Nasional (TPN) milik Tommy mendapatkan privilege untuk mengerjakan mobnas tersebut. Tentu, menurut bahasa pemerintah saat itu, untuk mendukung mobnas, TPN diberi berbagai fasilitas.
Nah, berbagai fasilitas untuk perusahaan Tommy itulah yang kini dipermasalahkan. Fasilitas tersebut, antara lain, bea masuk nol persen untuk mengimpor mobil CBU (completely built up) dari KIA Motor Corp, Korea Selatan. PT TPN juga dibebaskan dari pembayaran PPnBM (pajak penjualan barang mewah).
Namun, fasilitas itu diberikan dengan syarat. Di antaranya, TPN harus mempekerjakan tenaga Indonesia sekaligus memproduksi mobil berkandungan lokal 60 persen dalam tempo tiga tahun. Namun, hal tersebut tidak pernah bisa dipenuhi PT TPN. Akhirnya, awal 1998, Ditjen Pajak menagih pajak BM atas 39 ribu unit mobil.
Menperindag waktu itu, Tunky Aribowo, pasang badan dengan meminta agar Ditjen Pajak lewat Depkeu mengeluarkan pembebasan bea masuk mobil tersebut. Ditjen Pajak tidak menggubris. Tetapi, Dirjen Bea Cukai Soehardjo (adik Ibu Tien) justru memberikan pembebasan BM plus PPnBM. Seiring perubahan rezim, pada Desember 1998, pemerintah tetap mewajibkan PTN membayar utang atas penjualan mobnas Timor, baik yang terjual maupun yang belum, senilai Rp 3 triliun.
Kejagung pernah mengusut kasus mobnas pada era Jaksa Agung A.M. Ghalib pada 1999. Tim Kejagung saat itu telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk Soeharto dan Tommy. Hasil pemeriksaan disimpulkan, keppres tersebut bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi sekaligus merugikan negara Rp 3 triliun. Tetapi, setelah Ghalib lengser, penanganan kasus tersebut menjadi tidak jelas.
Selain kasus mobnas, Hendarman menyatakan, Kejagung berencana mengusut dugaan keterlibatan Tommy selaku bos Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) dalam kasus monopoli tata niaga cengkih semasa Soeharto berkuasa. Kasus ini relatif rumit (dibandingkan kasus mobnas, Red), katanya.
Maklum, kasus yang diduga merugikan negara Rp 2 triliun itu sebelumnya diusut Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTK).
Berdasar temuan Indonesia Corruption Watch (ICW), selain Tommy, pihak yang diduga terlibat kasus monopoli cengkih tersebut, antara lain, Soeharto, mantan Direktur Inkud Nurdin Halid, mantan Menperdag Arifin Siregar, mantan Menteri Muda Perdagangan J. Soedrajat Djiwandono, serta mantan Menperindag T. Ariwibowo. Juga, mantan Menkeu J.B. Sumarlin, mantan Menkop Bustanil Arifin, dan mantan Menkop Subiakto Tjakrawerdaja.
Jenis dana hak dan milik petani yang diselewengkan mencapai Rp 2 triliun. Berupa, dana SDTC (1992-1997) sekitar Rp 76 miliar yang dikelola pemda tingkat I, dana SWKP (1992-1995) sekitar Rp 671 miliar yang dikelola BPPC/Inkud, DPM (1992-1997) sekitar Rp 1,1 triliun yang dikelola BPPC/Inkud, serta dana konversi (1996-1997) sekitar Rp 74 miliar yang dikelola BPPC/BCN.
Indikasi penyalahgunaan itu adalah pemberian hak monopoli dengan mengabaikan kesejahteraan petani cengkih sekaligus ketidakjelasan pertanggungjawaban dalam pengelolaan dana hak dan milik petani cengkih.
Reaksi Pengacara
Sementara itu, salah seorang pengacara Tommy, Elza Syarief, mengaku belum tahu rencana Kejagung mengusut lagi kasus mobnas tersebut. Tim pengacara menunggu informasi resmi dari Kejagung.
Kami sih terserah saja. Kita lihat saja nanti. Sejauh ini kami melihat tidak ada indikasi pelanggaran dalam kasus mobnas, tegasnya yang dihubungi tadi malam.
Tim pengacara berpijak pada putusan PK (peninjauan kembali) kasus TPN yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) pada 2004. Menurut Elza, dalam putusannya, MA menegaskan bahwa TPN tidak punya tunggakan utang pajak terkait dengan program mobnas.
Kami mengajukan PK dan dimenangkan. Dalam PK tersebut, TPN tidak punya utang (termasuk BM). Yang dibebaskan adalah pajak BM (bea masuk). Pembeli (mobil) Timor tidak dibebani pajak karena semua ditanggung TPN. Itulah yang membuat harga Timor relatif lebih murah, jelasnya.
Dia menyatakan, dengan adanya putusan PK tersebut, praktis tidak ada kerugian negara. Sebaliknya, TPN berhak menagih dana deposito perusahaan Rp 3 triliun yang ditempatkan di Bank Mandiri yang hingga sekarang belum bisa dicairkan. Kami justru sedang mengajukan gugatan perdata ke Bank Mandiri agar bisa mencairkan uang tersebut, ujar Elza.
Dana Rp 3 triliun tersebut adalah milik TPN yang ditempatkan sebagai deposito di Bank Mandiri. Bank Mandiri lewat Depkeu menahan pencairan uang itu karena TPN -selaku perusahaan di bawah pengawasan BPPN- dinilai masih mempunyai tunggakan utang dalam program mobnas.
Menurut data di BPPN, pada Agustus 1997, empat bank pemerintah dan 12 bank swasta nasional bersedia mengucurkan kredit USD 690 juta di antara USD 840 juta yang diminta Tommy. Uang tersebut digunakan untuk pembiayaan proyek pembangunan pabrik perakitan mobnas di Cikampek.
Namun, hingga proyek mobnas tuntas dan diperparah oleh pemidanaan Tommy terkait dengan kasus penembakan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita, utang plus bunga tersebut belum dilunasi. Nilainya mencapai USD 466,624 juta. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 5 Juni 2006