Topo Santoso:
Untuk memperjelas kasus mengalirnya dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang menyeret mantan menteri Rokhmin Dahuri, ICW menyelenggarakan press briefing pada tanggal 22 Mei 2007.
Hadir dalam acara yang diselenggarakan di kantor ICW jalan Kalibata Timur IV/D No. 6 tersebut, Ibrahim Fahmy Badoh (manajer program korupsi politik ICW), Topo Santoso (mantan anggota panwaslu 2004 dan doktor hukum pidana pemilu Universitas Indonesia), serta Teten Masduki (koordinator badan pekerja ICW). Lais Abid merangkum sekaligus menuliskan rekaman diskusi tersebut untuk antikorupsi.org. Berikut catatannya:
Fahmy: Terkait dengan aliran dana DKP ke beberapa politisi kita telah mencoba membahasnya dari berbagai sisi. Beberapa saat lalu bersama beberapa rekan NGO telah melaporkan temuan-temuan ini ke badan kehormatan DPR. Terkait dengan pengusutan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terungkap ada sebagian dana yang mengalir ke kandidat presiden-wakil presiden dan tim suksesnya pada pemilu 2004. Kali ini kita akan membahas dana yang mengalir ke presiden maupun calon presiden pada pemilu tahun 2004 tersebut. Di sini akan dipaparkan data-data dan fakta-fakta yang akan memperkuat pengakuan Rokhmin Dahuri di KPK, yang mengungkapan adanya aliran dana dari DKP dan telah diakui oleh beberapa tim sukses. Data-data ini adalah hasil pemantauan ICW pada saat pemilu presiden. Harapan kami bisa memperjelas aliran dana DKP. Bahwa memang ada persoalan yang krusial dalam pelaksanaan pemilu presiden.
Untuk memperjelas persoalan, kita lihat dulu pengaturan dana kampanye yaitu diatur dalam undang-undang pemilihan presiden No. 23 tahun 2003. Sumber dana itu bisa bersumber dari pasangan calon, parpol dan gabungan parpol yang mencalonkan, badan hukum dan perorangan. Kemudian ada sumber dana yang dilarang diantaranya adalah dana dari pihak asing yang bisa berupa negara, lembaga swasta, LSM, atau warga negara asing. Jadi ini bisa untuk memperdalam apakah dana asing yang dilontarkan salah satu mantan kandidat itu asing yang dimaksud dalam undang-undang. Kemudian juga pasangan calon presiden juga tidak boleh menerima dana dari pemerintah. Karena dilarang maka ada ketentuan bahwa dana itu harus dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), kalau KPU menyatakan itu tidak boleh diterima, maka harus disetor ke kas negara. Sanksi administratif bagi penerima dana yang dilarang sangat berat, hingga bisa dibatalkan sebagai kandidat pasangan presiden dan wakil presiden. Untuk besarnya sumbangan diatur perorangan sebesar 100 juta dan badan hukum swasta 150 juta.
Ketentuan pidana bagi penerima sumbangan dana kampanye lebih dari 100 juta rupiah dari perorangan dan atau lebih 750 juta rupiah diancam dengan penjara antara 4 hingga 24 bulan dan/ atau denda antara Rp 200 juta hingga 100 milyar rupiah.
Dalam pemilu presiden 2004 ada konglomerat yang menyumbang berkali-kali. Masalahnya KPU tidak punya mekanisme sanksi administratif. Tidak ada tindak lanjut audit dari akuntan publik. Ada sumbangan yang tidak terkonfirmasi. Akibat tidak jelasnya aturan ini maka dana kampanye mudah dimasuki dana tidak jelas, termasuk dari dana taktis departemen. Kandidat mudah dikooptasi oleh penyumbang besar yang bisa dipakai untuk mendapat konsesi proyek pemerintah. Kemudian juga merusak kualitas demokrasi.
Kasus DKP memperkuat atau mengkonfirmasi temuan-temuan ICW. Menurut pengakuan Rohkmin Dahuri, aliran dana DKP total terkumpul sejak September 2001 hingga Maret 2005 sebesar Rp 23,842 milyar. Uang itu bersumber dari dana operasional menteri 100 juta rupiah per bulan, ditambah setoran eselon I sebesar 100