Track Record Tak Jamin Kredibilitas
SKANDAL suap dalam jual beli tanah Komisi Yudisial (KY) kembali menorehkan tinta merah dalam penegakan hukum di Indonesia. Tinta merah itu muncrat saat Irawady Joenoes, koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat, dan Perilaku Hakim KY, pada Rabu (26/9) pekan lalu tertangkap basah menerima uang pelicin dari Freddy Santoso, bos PT Persada Sembada (Jawa Pos/27/09/07 ).
Setelah dikagetkan oleh penggerebekan Mulyana W. Kusumah terkait dengan korupsi pengadaan surat suara KPU beberapa tahun lalu, sekali lagi, dunia hukum dikejutkan oleh skandal suap pejabat tinggi negara. Apalagi, itu menimpa KY selaku lembaga tinggi dengan tugas yang membutuhkan integritas selangit, mengemban fungsi kontrol atas kinerja hakim Indonesia.
Krisis Legitimasi
Pada mulanya, KY lahir sebagai respons atas buruknya kualitas hakim Indonesia dalam tiap penyelesaian kasus di pengadilan, seperti tercantum dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2004 tentang KY. Pada pasal 20 disebutkan bahwa KY bertugas mengawasi perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat.
Pasal 14 bahkan memberikan wewenang kepada KY untuk menyeleksi calon hakim agung. Kuat dugaan, kurang optimalnya kinerja hakim-hakim tersebut disebabkan proses rekrutmen yang amburadul serta maraknya kultur jual beli kasus (baca: KKN). Karena tuntutan akan hakim bermental baja dan anti-KKN itulah, KY diplot sebagai elemen sensorik untuk kualitas hakim.
Dalam perkembangannya, skandal korup pengawas hakim KY justru membalik seluruh bangunan misi mulia tersebut. Adalah rasional jika KY banjir kecaman: apabila pengawas hakim sebagai input dari tegaknya hukum Indonesia saja tidak kredibel, bisa diprediksi sampai sejauh mana output hakim yang nanti beredar.
Sebagai mantan jaksa yang dikenal punya napas panjang, skandal Irawady adalah titik balik bagi cemerlangnya track record. Meskipun terdengar spekulatif, track record tidak secara otomatis menjadi jaminan bagi kredibilitas penegak hukum. Kasus Mulyana, misalnya, membelalakkan mata kita karena pelaku adalah seorang kriminolog universitas besar di Indonesia.
Selain menambah daftar panjang korupsi, skandal tersebut menjadi sinyal sedang terjadinya korupsi multidimensi, multiruang, dan multilembaga. Tak peduli apa jenis kelamin lembaga tersebut. Pendeknya, kita tak bisa membatasi korupsi hanya dalam ranah terbatas, tetapi justru dalam wilayah yang hampir tanpa batas. Sekalipun itu dalam wilayah lembaga penegak hukum. KY adalah buktinya.
Kecelakaan yang menimpa Irawady Joenoes akan membawa pengaruh cukup luas bagi kelanjutan karirnya sendiri dan lembaga yang menaunginya (KY). Dibaca secara sekilas, dapat diprediksi bahwa skandal itu akan meruntuhkan citra baik yang sudah susah payah dibangun KY.
Andai dibiarkan mencapai tahap kronis, bukan tidak mungkin konstruksi citra buruk akan meluas hingga stadium krisis legitimasi. Itu realistis mengingat aktor korupsi tersebut, Irawady, memegang posisi dengan jabatan yang membutuhkan idealisme melengking, pengawas kehormatan, keluhuran, serta perilaku hakim.
Untuk saat ini, langkah paling tepat ialah secepat mungkin mengembalikan kepercayaan publik. Pengambilan keputusan penonaktifan Irawady dalam sidang pleno (mau tak mau) harus diambil KY untuk menyelamatkan muka.
Kontrol ke Dalam
Jika dianalisis lebih jauh, KY belum memiliki instrumen ampuh untuk mengawal kinerja anak buahnya sendiri. Akibatnya, terjadi ketimpangan dalam sirkulasi kerja, yakni tenaga tersedot untuk agenda eksternal (pengawasan hakim), tetapi agenda internal terabaikan. Anggota KY akhirnya merasa leluasa dalam menafsirkan prosedur kerja yang berlaku karena tak ada sensor yang mengawasinya.
Bunuh diri KY tersebut sebenarnya bisa dicegah dengan optimalisasi sistem pengawasan yang ketat dari tubuh KY sendiri. Selain berperan menjalankan fungsi kontrol ke luar, bila perlu dibentuk divisi khusus untuk mengambil fungsi kontrol ke dalam.
Dalam hal ini, yang dimaksud tak lain adalah untuk menjaga prinsip keseimbangan (balance) dalam suatu organisasi. Dengan pemberlakuan kontrol ketat, tercipta pola kontrol yang seimbang dan membawa organisasi pada kredibilitas yang diakui masyarakat.
Selain itu, patut diapresiasi kinerja KPK yang untuk kali kesekian berhasil membuka borok lembaga tinggi negara. Seperti diungkapkan Wapres Jusuf Kalla, penegakan hukum kita sudah menunjukkan indikasi positif (JawaPos/29/09/07). Itu ditandai dengan peningkatan signifikan terhadap penangkapan pejabat-pejabat korup yang menjadi penyakit negara.
Meski pada satu sisi KY menjadi potret cacatnya pengelolaan hukum di negeri kita, penelanjangan kasus-kasus KKN hendaknya diberi input berupa dukungan publik. Dengan begitu, secara bersama-sama, masyarakat menjadi partner sekaligus pengontrol lembaga-lembaga penegak hukum. Itu akan menjadi optimisme baru bagi perjalanan penegakan supremasi hukum ke depan.
Rendy Pahrun Wadipalapa, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unair. Aktif dalam komunitas baca Puspita (Pustaka Pemikiran dan Imajinasi Terbuka), Surabaya (E-mail: bos_rendy@yahoo.com)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 2 Oktober 2007