Transparansi Badan Usaha Milik Negara
Setelah Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada Mei 1998, kelompok prodemokrasi di Indonesia bergegas menyiapkan seperangkat rancangan undang-undang yang dianggap dapat menjamin terbukanya arus informasi setelah dikendalikan lebih dari tiga dasawarsa di bawah pemerintah Soeharto.
Ketiga RUU tersebut masing-masing tentang pers, penyiaran, dan kebebasan memperoleh informasi. RUU tentang pers melewati jalan yang relatif mulus, karena hanya butuh waktu sekitar setahun sampai ditetapkan sebagai UU pada September 1999. RUU tentang penyiaran menempuh jalan yang agak lebih panjang, sekitar empat tahun, sebelum disahkan pada November 2002.
Adapun RUU tentang kebebasan informasi harus melewati jalan yang jauh lebih panjang dan berliku. Sejak rancangan pertama diajukan di awal 2001 silam, hingga kini Dewan Perwakilan Rakyat belum juga mengesahkannya. Penyebab utama tersendatnya proses kelahiran UU kebebasan informasi ini adalah banyaknya kepentingan yang terlibat. Di satu pihak, ada kelompok yang ingin melihat ruang keterbukaan yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam mengakses dan memanfaatkan informasi publik. Adapun di pihak lain, ada pihak pemerintah yang secara umum masih khawatir terhadap akses yang luas dan transparan itu, entah karena alasan ketidaksiapan perangkat dan tata laksana, entah karena memang tak ingin praktek-praktek sulapan dan tak terpuji yang selama ini terjadi akan tampil telanjang berkat UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) tersebut.
Beberapa bulan terakhir ini, kelompok penganjur RUU KIP meningkatkan kembali lobi dan advokasi mereka, terutama ke DPR, agar proses pembahasan RUU tersebut dapat diselesaikan sebelum tutup tahun 2007. Dorongan ini dilandasi alasan pragmatis: tahun depan anggota DPR sudah mulai disibukkan oleh urusan kampanye Pemilihan Umum 2009. Berkat lobi gencar ini, proses pembahasan menggelinding lebih kencang.
Namun, pada saat yang sama muncul pula beberapa hal yang agak memprihatinkan, antara lain perkara judul. RUU yang semula diajukan dengan judul Kebebasan Memperoleh Informasi, berubah menjadi Keterbukaan Informasi Publik, yang mencerminkan kekhawatiran sebagian pihak yang tampak alergi terhadap kata kebebasan. Selain itu, muncul usul agar badan usaha milik negara (BUMN, lalu juga badan usaha milik daerah/BUMD) dikecualikan dari cakupan UU itu nantinya.
Usul Sofyan Djalil
Keinginan untuk mengecualikan BUMN dari UU KIP merupakan usul yang didengungkan--antara lain--oleh Sofyan Djalil, Menteri Negara BUMN, yang sebelumnya menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika. Sofyan mengemukakan beberapa alasan mengapa BUMN (dan juga BUMD) harus dikecualikan. Pertama, BUMN adalah entitas bisnis, sedangkan UU KIP adalah entitas politik. Kedua, sudah ada perangkat hukum dan peraturan yang mengurusi BUMN, di antaranya UU Pasar Modal yang, menurut Sofyan, sudah menyediakan begitu banyak rambu-rambu untuk menjamin transparansi BUMN.
Kedua alasan yang dikemukakan Sofyan tadi tentu bisa dimentahkan. Untuk alasan yang pertama, kontra-argumen yang dapat diajukan adalah bahwa tidak benar UU KIP tersebut hanya akan mengatur wilayah politik. Sebab, yang dimaksudkan dengan informasi publik tentu saja informasi yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak, yang bisa merambah ke berbagai bidang, dari politik, sosial, hingga ekonomi. BUMN adalah lembaga yang mengelola dana yang berasal dari dana negara ataupun dari publik. Dari sini saja wajar apabila BUMN menjadi bidang yang masuk dalam cakupannya pula.
Alasan kedua bahwa UU Pasar Modal telah cukup mengatur sepak terjang BUMN tentu saja terdengar naif. Sudah bukan rahasia lagi bahwa ada sejumlah kejadian yang menunjukkan praktek-praktek tidak terpuji yang berlangsung di pasar modal (mulai kasus Semen Gresik beberapa tahun silam sampai pada kasus penjualan saham Perusahaan Gas Negara yang terjadi beberapa bulan lalu). Juga ada sejumlah kejadian yang diduga mengandung unsur korupsi-kolusi-nepotisme yang terjadi di lingkungan BUMN, dari praktek menjadikan BUMN sebagai sapi perah dan mesin uang untuk kepentingan politik yang sudah berlangsung sejak era Soeharto hingga peristiwa pelepasan sebagian saham Indosat ke perusahaan Singapura beberapa tahun lalu, misalnya.
Jadi, jika BUMN tidak dicakup oleh UU KIP, akan membawa lebih banyak kemudaratan ketimbang kemaslahatan dibanding jika ia dicakup oleh UU KIP. Dikecualikannya BUMN akan berakibat pada berkurangnya peluang untuk menghadirkan transparansi lingkaran BUMN, sehingga perannya dalam menyejahterakan masyarakat dapat ditingkatkan seoptimal mungkin.
Peran media massa
Percaturan kekuatan dalam proses pembahasan RUU KIP ini kelihatan tidak sederhana setelah muncul wacana soal posisi BUMN berhadapan dengan RUU KIP itu. Di satu sisi, kelompok promotor UU KIP tentu menginginkan agar BUMN tidak dikecualikan. Mereka pasti menginginkan praktek-praktek sulapan di ruang yang remang-remang, seperti yang pernah menimpa BUMN sebelum ini, akan sirna setelah diterangi cahaya dari UU KIP. Namun, mengubah posisi pemerintah bukan pula perkara gampang. Posisi DPR juga bisa menjadi tanda tanya, karena bukan mustahil sebagian unsur di tubuh DPR pun berkepentingan menjaga keremang-remangan di lingkaran BUMN itu mengingat peran BUMN yang potensial untuk dijadikan mesin uang saat berlangsungnya kampanye pemilu.
Dalam keadaan seperti ini, salah satu dari sedikit tempat untuk menggantungkan harapan adalah media massa (cetak ataupun siaran). Media memiliki kesempatan untuk membangun kesadaran publik, dan selanjutnya bersama-sama publik memberikan tekanan kepada pemerintah dan DPR bahwa BUMN (dan juga BUMD) harus dimasukkan dalam cakupan mandat UU KIP. Salah satu yang dapat dan semestinya dilakukan oleh media massa adalah secara teratur dan terus-menerus menyoroti berbagai praktek yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas yang mungkin telah, tengah, atau akan berlangsung di tubuh BUMN dan BUMD. Sorotan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai analisis pakar yang mengetahui asam-garam dunia BUMN dan BUMD sampai ke liputan-liputan investigatif yang melacak praktek-praktek tak terpuji dan merugikan masyarakat luas yang terjadi di lingkungan BUMN serta BUMD.
Langkah semacam ini tentu saja telah dilakukan sebelumnya oleh sejumlah media massa. Tapi, dalam situasi genting di saat-saat proses pembahasan RUU KIP ini kian mendekati ujungnya, langkah tadi layak ditingkatkan, terutama oleh media massa yang memiliki pengaruh luas sehingga tekanan yang dihasilkan pun akan memadai untuk membuat mereka yang keberatan terhadap dimasukkannya BUMN dan BUMD dalam cakupan UU KIP mempertimbangkan kembali posisi mereka. Sumbangsih media massa ini tentu akan terus dikenang apabila UU KIP yang lahir kelak tidak memberikan perlakuan istimewa terhadap BUMN dan BUMD.
Arya Gunawan, PEMERHATI MEDIA DAN JURNALISME
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 13 Juni 2007