Trauma Korupsi Tak Beralasan
Ketakutan anggota dan staf Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum akan kembali terjebak korupsi dalam penyelenggaraan pemilu, seperti KPU sebelumnya, tidak beralasan. Selama mampu bekerja sesuai dengan aturan dan terbuka kepada publik atas setiap langkah yang mereka lakukan, potensi untuk terjerat dalam korupsi dapat dihindarkan.
Demikian diungkapkan Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto di Jakarta dan Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ibrahim Zuhdhy Fahmy Badoh di Denpasar, Minggu (20/7). Ketakutan terjebak dalam korupsi dinilai hanya sebagai alasan terselubung di balik keengganan komisioner dan staf Setjen KPU untuk diawasi publik.
”Jika bersedia menjadi pejabat publik yang baik, laksanakan pengadaan barang dan jasa sesuai dengan aturan yang ada. Jangan ada motif dan kepentingan pribadi lainnya yang justru membuat terjerat dalam korupsi. Jika tak sanggup, mundur saja sebagai pejabat,” kata Didik.
Sebelumnya, Ketua KPU A Hafiz Anshary seusai melantik Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan pejabat eselon II KPU, Sabtu malam di Jakarta, mengatakan masih ada trauma di KPU terkait banyaknya pejabat KPU periode sebelumnya yang menjadi tersangka korupsi. Akibatnya, KPU sulit mencari orang yang mau menduduki jabatan kepala biro yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Meskipun demikian, akhirnya jabatan itu terisi juga (Kompas, 20/7).
Didik menambahkan, yang membuat beberapa komisioner KPU dan staf Setjen KPU sebelumnya terlibat korupsi adalah proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan tidak melalui tender atau penunjukan langsung. Alasannya, hal itu dilakukan karena sempitnya waktu tahapan pemilu yang tidak sesuai dengan waktu tender.
Mengulur tahapan pemilu
Kondisi ini terjadi karena kesalahan KPU sendiri yang selalu mengulur waktu tahapan pemilu sehingga waktu pengadaan logistik pemilu menjadi sangat singkat. Jika KPU mampu mengantisipasinya sejak awal, proses tender tetap dapat dilakukan secara normal.
Secara terpisah, Ibrahim mengatakan, komisioner dan staf Setjen KPU harus belajar dari kasus masa lalu agar mereka tidak terjebak dalam kasus yang sama. Penunjukan langsung dalam pengadaan logistik pemilu bukan hanya melanggar aturan keuangan negara, tetapi juga mengancam kualitas pemilu yang dihasilkan. Rekanan pengadaan logistik pemilu umumnya tidak memiliki kompetensi sehingga kualitas logistik pemilu yang dibuat rendah. ”KPU perlu terbuka kepada publik dalam setiap kegiatannya sehingga publik dapat turut mengawasi tindakan mereka,” katanya.
Proses penyelenggaraan Pemilu 2009 hingga saat ini masih sering diwarnai ketertutupan KPU dalam melaksanakannya. KPU juga enggan menindaklanjuti saran dan usul publik atau pendapat ahli terkait proses pemilu.
Padahal, masukan dan kritik dari publik dilakukan untuk membuat KPU bekerja sesuai dengan prosedur yang benar, termasuk dalam pengadaan barang dan jasa. Kelompok masyarakat aktif mendorong dan mengawasi KPU karena mereka juga ingin dan peduli untuk menciptakan pemilu yang bersih dan berkualitas.
”KPU tidak perlu arogan dengan masukan publik. Perasaan paling benar menunjukkan masih kuatnya mental korup dalam KPU,” kata Ibrahim.
Ia berharap KPU kini semakin terbuka terhadap masukan publik. (MZW)
Sumber: kompas, 21 Juli 2008