Tren Penindakan Korupsi Sektor Pendidikan: Pendidikan di Tengah Kepungan Korupsi
Performa pelayanan pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata bermutu. Skor survei Program for International Student Assessment (PISA) pada 2018 lagi-lagi menempatkan Indonesia dalam peringkat belakang, yaitu 72 dari 77 negara. Skor PISA menunjukkan bahwa keterampilan dan kemampuan siswa di Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains masih lemah. Indonesia mendapat rata-rata skor 382, stagnan jika dibandingkan dengan skor pada 2003 (OECD, 2018).
Terdapat berbagai persoalan yang menyumbang buruknya pelayanan pendidikan di Indonesia. Persoalan yang kerap terjadi yaitu berkaitan dengan pengelolaan anggaran, kualitas tenaga pendidik, dan ketersediaan fasilitas belajar. Dalam konteks pengelolaan anggaran, besaran anggaran saja tak cukup. Penting untuk dilihat bagaimana anggaran tersebut direncanakan, diperuntukkan, dan digunakan. Masalahnya, sektor pendidikan tak luput dari persoalan belanja tak sesuai kebutuhan prioritas hingga korupsi. Dengan masalah ini, upaya peningkatan pelayanan pendidikan terancam berjalan lamban dan peningkatan anggaran tak banyak berdampak.
Kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai Tren Penindakan Kasus Korupsi yang dirilis setiap tahun menunjukkan korupsi sektor pendidikan konsisten menjadi salah satu sektor yang paling banyak ditindak oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Setidaknya dari 2016 hingga 2021 semester 1, sektor pendidikan masuk dalam lima besar korupsi berdasarkan sektor, bersama dengan sektor anggaran desa, transportasi, dan perbankan. Meski terdapat faktor keaktifan dan fokus APH dalam melakukan penindakan, data tersebut menunjukkan bahwa sektor pendidikan masih menjadi ladang korupsi.
Melihat masih tingginya korupsi sektor pendidikan, ICW mengkaji penindakan korupsi pendidikan tahun 2016-September 2021. Kami mengkaji lebih jauh program, pelaku, modus, dan faktor korupsi sektor pendidikan. Kajian ini penting untuk melihat pada aspek mana sektor pendidikan kita rentan dijadikan ladang korupsi. Dengan mengetahui hal tersebut, pengambil kebijakan dan Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) diharapkan dapat melakukan langkah-langkah pembenahan kebijakan, pencegahan, dan pengawasan yang diperlukan.
Korupsi Sektor Pendidikan: dari Sekolah Hingga Perguruan Tinggi, oleh Guru Hingga Kepala Daerah
Terdapat 240 korupsi pendidikan yang ditindak APH sepanjang Januari 2016 hingga September 2021. Kasus tersebut terjadi dalam rentang waktu 2007 hingga 2021 dan menimbulkan kerugian negara Rp 1,6 triliun. Kerugian negara kami yakini jauh lebih besar sebab terdapat kasus yang hingga kajian ini disusun belum diketahui besaran kerugian negaranya. Selain itu, dari observasi pengadaan barang/ jasa (PBJ) sektor pendidikan, kami menemukan terdapat pengadaan yang tak sesuai kebutuhan dan tak dapat dimanfaatkan, baik karena mangkrak maupun tidak lengkap.
Dilihat dari tahun terjadinya korupsi, korupsi sektor pendidikan diketahui terus terjadi di tengah pandemi Covid-19. 4 dari 12 kasus korupsi pendidikan yang terjadi pada 2020-2021 terkait dengan penanganan Covid-19. Kasus tersebut yaitu korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari Kementerian Agama (Kemenag) RI di Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Takalar, Kabupaten Wajo, dan Kota Pasuruan dengan modus pemotongan bantuan. Dari penelusuran ICW dan jaringan di Aceh dan Medan, kami menemukan potensi korupsi pada objek yang sama juga banyak terjadi dengan beragam modus, mulai dari disalurkan pada lembaga penerima yang tak memenuhi persyaratan, penerima fiktif, hingga BOP digunakan tidak sesuai peruntukan.
240 korupsi pendidikan terbanyak berkaitan dengan penggunaan dana BOS, yaitu terdapat 52 kasus atau 21,7% dari total kasus. Korupsi dana BOS bahkan masih tetap terjadi meski skema penyaluran dana telah diubah sejak 2020, dari yang sebelumnya ditransfer oleh Kementerian Keuangan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) menjadi ditransfer langsung ke rekening sekolah. Sejauh ini, terdapat 2 korupsi dana BOS tahun anggaran 2020 yang telah ditindak oleh kejaksaan, yaitu di Kota Bitung, Sulawesi Sulawesi Utara, dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan modus pemotongan oleh oknum Dinas Pendidikan dan kegiatan fiktif di sekolah.
Selanjutnya, korupsi terbanyak yaitu korupsi pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang/ jasa non infrastruktur, seperti pengadaan buku, arsip sekolah, meubelair, perangkat TIK untuk e-learning, pengadaan tanah untuk pembangunan fasilitas pendidikan, dan lainnya. Pengadaan yang dikorupsi ini berasal dari beragam program dan sumber anggaran, seperti Dana Alokasi Umum (DAU), dana otonomi khusus, anggaran Kemendikbud, anggaran Kemenag, dan APBD. Sebagian diduga bersumber dari DAK, sebab terdapat kasus-kasus yang tidak disebutkan dengan jelas sumber anggarannya. Sedangkan kasus yang dapat diidentifikasi bersumber dari DAK berjumlah 34 kasus.
Kasus korupsi pendidikan yang ditindak APH pada 2016-September 2021 ini melibatkan 621 tersangka. Dilihat dari latar belakangnya, tersangka didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Pendidikan dan instansi lain (di luar ASN di sekolah), yaitu sebanyak 288 atau 46,3%. Secara lebih rinci, ASN yang dimaksud merupakan ASN Staf di Dinas Pendidikan (160 tersangka); ASN instansi lain seperti kementerian, Dinas Sosial, Dinas Syariat Islam, Dinas Komunikasi dan Informasi, dll (84 tersangka); dan Kepala Dinas Pendidikan (44 tersangka).
Tersangka terbanyak kedua berasal dari pihak sekolah, yaitu 157 tersangka atau 25,3% dari total tersangka. Kepala dan wakil kepala sekolah adalah pihak sekolah yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (91 orang) dan disusul pihak lain seperti guru, kepala tata usaha, dan penanggung jawab teknis kegiatan (36 orang), serta staf keuangan atau bendahara sekolah (31 orang). Data ini menunjukkan fakta bahwa korupsi pendidikan juga marak terjadi di sekolah, tempat peserta didik menuntut ilmu yang seharusnya mengajarkan sekaligus mencontohkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan keadilan.
Penyedia pengadaan menempati posisi ketiga terbanyak yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi pendidikan. Penyedia yang dimaksud mencakup penyedia/ rekanan terpilih untuk membangun bagunan fisik dan non fisik maupun penyedia sub kontrak. Terdapat 125 tersangka atau 20% yang berasal dari penyedia. Terdapat pula kepala dan wakil kepala daerah yang menjadi tersangka (7 orang). Mereka adalah Bupati Jembrana I Gede Winasa, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, dan Pejabat Bupati Lampung Timur Tauhidi yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2016 serta Bupati Hulu Sungai Tengah Harun Nurasid yang ditetapkan sebagai tersangka pada 2017.
Selaras dengan data yang menunjukkan korupsi pendidikan banyak dilakukan oleh ASN Dinas Pendidikan dan pihak sekolah, posisi teratas tempat terjadinya korupsi juga ditempati oleh Dinas Pendidikan di peringkat pertama dan sekolah di peringkat kedua. Terdapat 124 kasus (51,6%) kasus korupsi pendidikan yang terjadi di level Dinas Pendidikan dengan kerugian negara mencapai Rp 225,2 miliar. Korupsi di Dinas Pendidikan umumnya berupa mark up anggaran (20%), penggelapan anggaran (15%), dan pungutan liar (pungli) atau pemerasan (12,6%).
Sedangkan korupsi di sekolah kerap terjadi berkaitan dengan penggunaan dan laporan pertanggungjawaban dana BOS (49% atau 37 dari 75 kasus). Kasus korupsi di sekolah terbanyak kedua merupakan pungli. Mulai dari pungli penerimaan siswa baru, dana UN, operasional Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), sertifikasi guru, penebusan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL), hingga keperluan kelas.
Meski dari sisi jumlah kasus tak sebanyak korupsi di Dinas Pendidikan dan sekolah, korupsi di perguruan tinggi cukup banyak ditindak APH dan menempati posisi ketiga. Namun meski demikian, korupsi di perguruan tinggi jika dilihat dari nominal kerugian negaranya jauh lebih besar dibanding korupsi di Dinas Pendidikan. 20 kasus korupsi perguruan tinggi yang ditindak oleh APH telah merugikan negara Rp 789,8 miliar.
Hal yang sangat disayangkan dan melukai semangat penegakan hukum, terdapat 2 kasus yang didalangi oleh oknum kejaksaan negeri, yakni kasus korupsi proyek pembangunan SDN 2 Bangunrejo, Yogyakarta, dan kasus pemerasan dalam proses pencairan dana BOS TA 2019 di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.
Pengadaan Asal dan Tidak Tepat Guna
Kasus korupsi yang datanya disajikan dalam kajian ini merupakan korupsi yang telah ditindak APH. Korupsi yang ditindak ini masih jauh lebih kecil dari penyelewengan dana pendidikan yang ada. Selain itu, problem lain yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti dengan serius oleh pemerintah yaitu penggunaan anggaran dan pengadaan yang tidak tepat guna.
Penelusuran ICW bersama jaringan CSO di Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Merauke menemukan 4 temuan utama dalam hal PBJ sektor pendidikan:
- Masih terdapat PBJ yang tidak sesuai kebutuhan penerima manfaat (sekolah);
- Terdapat PBJ yang tidak dapat digunakan karena belum dilengkapi sarpras atau bahkan mangkrak;
- Terdapat PBJ berupa bangunan fisik yang kualitasnya kurang baik/ tidak tahan lama;
- Pemda kurang transparan dalam menginformasikan realisasi PBJ sektor pendidikan melalui kanal Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Simpulan
Maraknya korupsi sektor pendidikan patut dilihat sebagai persoalan yang mengkhawatirkan. Perilaku koruptif dan pemborosan anggaran yang sebenarnya terjadi juga diyakini jauh lebih masif dibanding jumlah kasus yang telah ditindak APH. Semakin banyak kasus, semakin besar kerugian negara, dan semakin suram pula layanan pendidikan serta pengembangan sumber daya manusia. Terlebih pendidikan merupakan layanan dasar yang berkontribusi besar dalam membentuk karakter dan sikap seseorang.
Dilihat dari kasus-kasus yang telah ditindak oleh APH maupun observasi yang ICW dan jaringan lakukan disimpulkan bahwa:
- Penindakan korupsi pendidikan dari tahun ke tahun dan patut dilihat sebagai indikasi bahwa korupsi sektor pendidikan juga masih masif terjadi. Korupsi yang ditindak APH ini masih jauh lebih kecil dari masalah pengelolaan pendidikan yang sebenarnya terjadi, melihat banyaknya PBJ mangkrak dan berkualitas buruk. Meski belum tentu disebabkan korupsi, PBJ mangkrak atau PBJ tak dapat dimanfaatkan perlu dilihat sebagai masalah dalam pengelolaan anggaran dan pengadaan sektor pendidikan yang perlu dibenahi.
- Korupsi pendidikan tak mengenal batas nilai kemanusiaan. Anggaran bantuan untuk siswa kurang mampu dan gaji guru honorer tak luput dikorupsi. Bahkan, korupsi tetap berlanjut di tengah pandemi Covid-19 dan terkait BOP untuk penanganan Covid-19.
- Terdapat indikasi adanya korelasi antara petty corruption dengan korupsi yang lebih besar. Kasus yang ditindak APH sejauh ini banyak yang berupa korupsi kecil-kecilan yang dilakukan oleh sekolah dan staf Dinas Pendidikan. Namun jika ditelusuri lebih jauh, salah satu penyebab korupsi kecil-kecilan ini yaitu adanya pungli dari instansi/ pejabat yang mempunyai kewenangan lebih, seperti kepala daerah dan penegak hukum. Faktor lainnya dikarenakan ada jual beli jabatan sehingga ada kebutuhan untuk mengembalikan uang suap yang mereka keluarkan.
- Tanpa peran substansial dari komite sekolah dalam perencanaan dan pengawasan dana BOS serta tanpa transparansi dana BOS kepada warga sekolah dan publik, dana BOS tetap akan sangat rentan dikorupsi. Kerentanan ini tetap tinggi meski dana BOS telah langsung ditransfer ke sekolah.
Dari kajian ini, peningkatan penerapan prinsip keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan urgen dilakukan. Dalam ruang lingkup yang paling kecil, kewajiban transparansi harus dipertegas dalam pengelolaan dana BOS. Meski kewajiban mengumumkan laporan telah ada dalam juknis dana BOS, perlu ada penegasan berupa pengecekan dan bahkan sanksi bagi sekolah yang tidak terbuka dalam pengelolaan dana BOS nya.
Keterbukaan informasi juga penting diterapkan dalam proses PBJ. Selain wajib mempublikasikan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dalam Sistem Informasi RUP (SiRUP), pemerintah dan LKPP perlu terus mendorong komitmen dan kedisiplinan SKPD dalam menginput dan mempublikasikan realisasi PBJ di LPSE daerah. Sejauh ini, data pengadaan masih belum sepenuhnya dipublikasikan, padahal sistemnya sudah tersedia.
Inspektorat daerah juga penting dikuatkan perannya, baik dalam mengawasi anggaran hingga menindaklanjuti aduan dugaan penyalahgunaan anggaran pendidikan dan penyalahgunaan wewenang pejabat daerah (pungli, pemerasan, dan permintaan setoran). Beriringan dengan aspek pengawasan, peningkatan kapasitas pengelolaan anggaran penting dilakukan, khususnya kepada pihak sekolah. Dengan demikian, kesalahan penggunaan anggaran atau pelaporan dapat semakin diminimalisir.