Trust Building Polri, Apa Bisa?
Makelar Kasus Dilarang Masuk! Tulisan tersebut banyak terpampang di kantor-kantor polisi di tanah air. Tulisan itu sangat eye catching karena ditulis dengan huruf besar yang mencolok dan ditempelkan di lorong-lorong pintu masuk markas polisi. Terutama, ruang-ruang penyidikan reserse. Mulai Mabes Polril sampai mapolsek. Siapa pun yang masuk ke kantor polisi pasti bisa melihatnya. Peringatan tertulis itu merupakan semboyan dan representasi peneguhan hati Korps Bhayangkara dalam melawan segala bentuk praktik makelar kasus (markus).
Tulisan tersebut kini seolah tidak berarti setelah mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji tiba-tiba menyanyikan lagu sumbang soal kebobrokan di institusinya. Susno menuding keterlibatan tiga jenderal polisi di balik praktik markus dalam penanganan kasus money laundering dan korupsi dana wajib pajak.
Perbuatan curang itu terjadi ketika Direktorat II Ekonomi Khusus (Eksus) Bareskrim Polri mengusut dugaan kasus pencucian uang dengan tersangka inspektur pajak Gayus Tambunan. Sejumlah perwira menengah dan perwira tinggi Polri diduga kecipratan dana Rp 25 miliar yang disimpan di rekening tersangka. Rekening tersebut diblokir Susno, tapi belakangan diketahui dibuka setelah Susno tidak menjadi Kabareskrim. Susno mencurigai uang puluhan miliar rupiah itu merupakan setoran dari wajib pajak beberapa perusahaan.
Mabes Polri dan personel polisi yang pernah menangani kasus tersebut telah memberikan klarifikasi. Mereka membantah semua tuduhan Susno. Kini giliran Satgas Pemberantasan Mafia Kasus yang harus mengusutnya sampai tuntas. Termasuk, kemungkinan keterlibatan aparat penegak hukum lainnya di luar kepolisian. Sebab, orang awam pun merasakan adanya keganjilan dalam penanganan kasus Gayus Tambunan.
Pengadilan hanya menjatuhi hukuman enam bulan percobaan kepada Gayus. Dia juga tidak pernah ditahan selama kasusnya diproses di kepolisian dan kejaksaan. Yang juga sulit diterima akal sehat, tersangka hanya terbukti melakukan penggelapan. Tapi, itu tidak dibuktikan delik pencucian uang dan korupsinya.
Beda Sutanto dan BHD
Polri sudah merumuskan grand strategy untuk 2004-2015. Yaitu, trust building selama 2004-2009 dan dilanjutkan partnership building dalam kurun waktu 2010-2015. Pada fase trust building, polisi harus sekuat tenaga membangun kepercayaan kepada masyarakat. Jika institusi Polri sudah kredibel, diharapkan masyarakat respek dan mudah diajak kerja sama dalam membantu tugas-tugas kepolisian. Sayang, strategi mulia tersebut belum bisa diwujudkan. Performa polisi bukannya membaik, malah terpuruk.
Kapolri BHD (Bambang Hendarso Danuri) belum berhasil menjalankan strategi besar Polri itu. Dia bisa dikatakan gagal jika dibandingkan Kapolri Sutanto. Pada era Sutanto, konflik internal para petinggi Polri tidak sampai muncul ke publik. Tapi, pada masa Kapolri BHD, konflik-konflik antar petinggi Polri justru mencuat dan membuka dapur sendiri ke media massa. Mulai kasus cicak versus buaya, testimoni Susno di sidang mantan Ketua KPK Antasari Azhar, hingga yang baru-baru ini soal markus di Mabes Polri. Dalam konteks manajerial, BHD dianggap gagal mengendalikan Susno Duadji.
Seperti cerita bersambung, Susno sangat mungkin masih memiliki episode-episode lain mengenai borok-borok polisi yang akan diungkapkan kepada publik. Motifnya, bisa jadi Susno ingin balas dendam atau ingin menjadi pimpinan KPK menggantikan Tumpak Hatorangan.
Apa pun motifnya, pengakuan Susno patut diacungi jempol. Pengakuan mantan Kapolda Jabar itu semakin membuktikan betapa kuatnya pengaruh markus di istitusi penegak hukum. Mulai di level terendah sampai tertinggi seperti Mabes Polri. Kita menunggu keberanian petinggi Polri dan penegak hukum lainnya untuk mengungkapkan adanya markus di lembaganya seperti Susno.
Pengakuan Susno tersebut semestinya dijadikan bahan renungan dan momentum Kapolri BHD untuk bersih-bersih di lembaganya. Kapolri BHD pasti tidak ingin dikatakan telah gagal memimpin Polri. Sebab, dia berhasil menangkap sejumlah gembong narkoba, koruptor kakap, serta memberangus pimpinan dan jaringan teroris selama menjabat Kapolri. Masalahnya, semua keberhasilan itu tidak berarti selama wajah korps baju cokelat masih dikotori oleh ulah anggotanya sendiri.
Saat ini, citra Polri bisa dibilang sudah jatuh pada titik paling nadir. Tidak ada pilihan lagi, kecuali polisi harus terus dan sungguh-sungguh memperbaiki diri agar kembali bisa merebut simpati publik.
Banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan Kapolri. Selain harus mendengarkan nyanyian tak merdu Susno Duadji, Kapolri mesti menuntaskan kasus-kasus lama di internal kepolisian. Di antaranya, kasus pengadaan jarkom (jaringan komunikasi) dan alkom (alat komunikasi) yang melibatkan jenderal polisi serta kasus rekening tidak wajar milik para perwira polisi.
Kini, semuanya berpulang kepada Kapolri BHD. Dia mau serius atau tidak mengusut semua kasus tersebut. Tentu tidak sulit bagi BHD. Sebab, semua kecurangan itu terjadi di Bareskrim, yang pernah dipimpinnya sebelum menjadi Kapolri. BHD pasti tahu seluk-beluk segala permainan di badan yang tugasnya memerangi kejahatan tersebut.
Sejak menjadi orang nomor satu di Polri, BHD banyak mempromosikan mantan anak buahnya di Bareskrim ke pos-pos strategis. Jangan sampai muncul tudingan bahwa mereka dipilih karena semata-mata orangnya BHD. Kapolri harus profesional. Meski tidak dekat dengannya, polisi yang baik dan berprestasi harus mendapatkan promosi yang pantas. Sebaliknya, meski gerbongnya BHD, jika terbukti bersalah, si polisi brengsek itu wajib disikat habis. (*)
Imam Syafi'i, pemimpin Redaksi JTV dan mantan Pemred Indo.Pos
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 Maret 2010