Tudingan Mafia Peradilan, Ada Asap Tentu Ada api
Kini, Bagir Manan tampaknya harus berjuang keras memadamkan api yang asapnya terlanjur membuat geger masyarakat setelah tertangkapnya lima pegawai MA dan seorang penasehat hukum oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atas dugaan penyuapan.
Masih ingat dengan ucapan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan pada tahun 2003. ''Tak ada istilah mafia peradilan di Indonesia. Kalau memang ada buktikan dan tidak hanya sekedar bicara di koran,'' ujarnya. Tidak sekali, dua kali, Bagir membantah mafia peradilan. Dalam bukunya yang berjudul Teori dan Politik Konstitusi secara implisit, mantan Rektor Universitas Islam Bandung ini membantah adanya `mafia peradilan`.
Dalam bukunya itu, ia menuliskan ''Sinyalemen mengenai mafia peradilan atau lain-lain tindakan tidak terpuji, bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Walaupun sulit dibuktikan, tetapi tidak masuk akal, semua orang sepakat membuat kebohongan, mengada-ada sekedar untuk memfitnah atau meburuk-burukkan pengadilan. Ada asap tentu ada api.''
Kini, Bagir Manan tampaknya harus berjuang keras memadamkan api yang asapnya terlanjur membuat geger masyarakat setelah tertangkapnya lima pegawai MA dan seorang penasehat hukum oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) atas dugaan penyuapan.
Tidak tanggung-tanggung, para pegawai MA yang telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap itu mengaku menerima uang senilai 500.000 dolar AS atau Rp 5 miliar dari penasehat hukum konglomerat Probosutedjo, Harini Wiyoso, yang juga mantan hakim tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rencananya uang akan diserahkan kepada Bagir selaku salah seorang anggota majelis hakim yang menangani perkara Probosutedjo di tingkat kasasi.
Bagir Manan telah membantah pernyataan para tersangka tersebut dan menyatakan dirinya selaku ketua MA secara struktural sangat jauh untuk berurusan langsung dengan lima pegawai MA yang tertangkap itu.
Kelima pegawai itu adalah staf wakil sekretaris KORPRI Sudi Ahmad, staf bagian perjalanan Pono Waluyo, Wakil Sekretaris KORPRI Suhartoyo, staf bagian perdata Sriyadi dan Kepala Bagian Umum Biro Kepegawaian Malam Pagi Sinuhadji. Bahkan, Bagir berpendapat pernyataan para tersangka tersebut sebagai perkataan orang yang terdesak untuk menyelamatkan diri.
Dalam salah satu kesimpulan sejumlah pejabat MA, pemberian uang tersebut untuk pembuatan keputusan palsu. Artinya perbuatan penyuapan itu hanyalah ulah nakal kelima pegawai MA tanpa melibatkan para hakim agung yang menangani perkara.
Namun, kesimpulan MA tersebut dibantah para tersangka. Sudi Ahmad dan Sriyadi. Secara tegas, mereka menyatakan penyerahan uang tersebut untuk mempengaruhi keputusan majelis hakim dan mereka tidak bermaksud untuk membuat putusan palsu.
Penanganan kasus penyuapan tersebut memang masih gelap dengan keterangan para tersangka yang simpang siur dan saling berbantahan. Harini melalui kuasa hukumnya, Firman Widjaja, mengatakan penyerahan uang tersebut berdasarkan instruksi Pono Waluyo. Harini hanya mengikuti instruksi tersebut. Keterangan tersebut dibantah oleh Pono yang menyatakan Harini yang menghubunginya untuk meminta tolong agar perkaranya 'diurus'.
Mafia peradilan di Indonesia memang sulit untuk dibuktikan, selama ini hanya terdengar dan tercium baunya. Namun dengan terungkapnya kasus penyuapan di tubuh peradilan tertinggi di Indonesia ini, setidaknya bisa membuka mata bahwa mafia peradilan memang ada dan sudah menjamur sampai melibatkan pegawai yang tidak berurusan langsung dengan perkara.
Pengamat hukum dan pengadilan Indonesia, Deni Indrayana, dari Indonesian Court Monitoring (ICM) menyatakan MA adalah salah satu lembaga yang paling tertutup dalam menangani perkara. Publik sangat sulit memperoleh akses informasi terhadap putusan perkara. Lembaga yang tidak menerapkan transparansi ditambah oleh kuatnya monopoli akan memudahkan terjadinya korupsi, termasuk korupsi pengadilan dalam bentuk mafia peradilan, katanya.
Deni mengkhawatirkan pengungkapan kasus jual-beli perkara hanya akan menyentuh para makelar saja seperti yang sudah banyak terjadi sebelumnya. Ia mempertanyakan sekaligus mengkritik tindakan KPTPK yang membongkar kasus penyuapan yang dilakukan Harini saat aliran uang baru mencapai tingkat perantara. Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas pun memiliki kekhawatiran senada dengan Deni. Ia mengatakan selama ini yang sering terjadi adalah bawahan yang `dikorbankan` oleh atasan. ( wed/ant/one )
Sumber: Republika, 10/10/2005