Tunjangan Ketua MA Rp 31 Juta
Program Birokrasi Reformasi agar Para Hakim Tak Korupsi
Senin, 17 Mar 2008,
Program Birokrasi Reformasi agar Para Hakim Tak Korupsi
Pundi-pundi para hakim, mulai ketua Mahkamah Agung hingga hakim di pengadilan negeri, akan bertambah tiap bulan. Para pemegang palu keadilan itu mulai mendapatkan remunerasi (tunjangan khusus kinerja) di luar gaji dan tunjangan tetap yang mereka peroleh selama ini.
Tunjangan remunerasi yang mulai berlaku Maret ini adalah bagian dari reformasi birokrasi. Tujuannya, mereka lebih sejahtera sehingga bisa bekerja efektif dan tak tergoda korupsi. MA dan jajaran hakim adalah institusi kedua yang mendapatkan remunerasi. Sebelumnya, bonus tambahan tiap bulan itu sudah diberlakukan di jajaran Departemen Keuangan.
Tunjangan untuk MA itu berdasarkan Perpres No 19 Tahun 2008 tentang kinerja hakim dan pegawai negeri di lingkungan MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya. Dalam pepres itu, terlampir 15 degre (tingkat) besaran tunjangan khusus, mulai yang paling besar, yakni Ketua MA, yang pundi-pundinya per bulan bakal bertambah Rp 31,1 juta, hingga hakim paling bawah (hakim baru di pengadilan negeri dan agama kelas II) yang penghasilannya bertambah Rp 4,2 juta (selengkapnya lihat grafis, Red).
Bagaimana pegawai nonhakim? Dalam pasal 8 ayat 2 Perpres disebutkan, soal itu akan diatur lebih lanjut dengan peraturan ketua Mahkamah Agung.
Dengan adanya tambahan remunerasi itu, mari kita hitung kira-kira jumlah gaji para hakim. Ketua MA, misalnya. Per 28 Januari 2005, gaji ketua MA Rp 24.390.000 yang terdiri atas gaji pokok Rp 5,040 juta, tunjangan jabatan Rp 18,9 juta, dan uang paket Rp 450 ribu. Jika ditambah tunjangan khusus (Rp 31,1 juta), sebulan Bagir Manan akan membawa pulang Rp 55.490.000.
Sedangkan gaji terendah hakim dengan pengalaman 0 tahun, sesuai PP No 10 Tahun 2007 tentang gaji hakim adalah Rp 1,796 juta. Sedangkan rata-rata penghasilan (plus tunjangan tetap) hakim pengadilan negeri Rp 2,2 juta hingga Rp 4,6 juta ditambah remunerasi Rp 4,2 juta (paling rendah).
Untuk gaji pertama, para hakim akan langsung menerima rapelan tujuh kali sekaligus. Meski baru berlaku 10 Maret 2008, dalam pasal 6 Perpres diatur pemberian tunjangan khusus terhitung mulai 1 September 2007. Sebelumnya, DPR setuju menaikkan tunjangan pegawai lembaga peradilan mulai 1 September 2007, sedangkan pencairannya menunggu keppres.
Sekretaris MA Rum Nessa mengungkapkan, pencairan dana remunerasi tak penuh, namun hanya 70 persen dari besaran yang ditetapkan. Ada beberapa program yang harus dilakukan, ujarnya kemarin (16/03). Dalam pasal 3 ayat 2 Perpres memang diatur, sebelum ada penilaian lebih lanjut dari Tim Reformasi Birokrasi, tunjangan yang boleh dibawa pulang hanya 70 persen dari besaran yang ditentukan. Tunjangan penuh baru diberikan jika dianggap layak oleh tim. Meski demikian, nilainya tetap besar.
Rum Nessa menambahkan, pihaknya akan membahas besaran tunjangan untuk nonhakim bersama dengan menteri PAN, Menkeu, dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Yang jelas, ujarnya, nilainya tak sama, tetapi berbasis kinerja. Sampai saat ini belum cair, tambahnya.
Sesuai pasal 7 Perpres, uang yang bakal diterima pegawai peradilan sudah bersih dari pajak. Tak hanya nilai tunjangan yang dibebankan kepada APBN, namun juga pajak penghasilannya.
Deputi SDM Kementerian PAN Tasdik Kinanto mengungkapkan, kendati tak diatur dalam perpres, semua pegawai di lingkungan MA jelas mendapat tunjangan khusus. Itu berlaku untuk semua pegawai di lingkungan MA, ujarnya.
Tak Efektif Berantas Korupsi
Terpisah, anggota Badan Pekerja ICW Febri Diansyah mengungkapkan, aturan dalam Perpres No 19 Tahun 2008 yang berlaku surut tak ubahnya PP No 37 Tahun 2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah dianulir pemerintah. Itu kebijakan koruptif, ujarnya.
Tak hanya retroaktif, aturan Perpres No 19 Tahun 2008 akan membebani keuangan negara jika diberlakukan. Alasan reformasi birokrasi memberantas korupsi dengan cara menaikkan gaji dinilai tak tepat. Kenaikan gaji tak menjawab persoalan korupsi di dunia peradilan, tambahnya.
Apalagi, yang diatur baru hakim. Justru panitera dan pegawai pengadilan yang rentan melakukan korupsi, ujarnya. Meski demikian, jika memang diberlakukan tunjangan khusus, tak ada alasan bagi pengawai peradilan untuk korupsi. Tunjangan khusus harus diikuti perbaikan kinerja.
Alumnus Fakultas Hukum UGM itu menambahkan, perlu ada pengawasan eksternal yang efektif untuk mencegah perbuatan nakal para oknum lembaga peradilan. Jangan hanya pengawasan internal. Penegak hukum juga harus diefektifkan membersihkan lembaga peradilan, tambahnya.
Soal perpres, salah satu sumber di MA menyesalkan belum adanya aturan soal tunjangan khusus pegawai non-hakim. Apalagi soal perpres yang dinilai lamban dikeluarkan. Jelas mengandalkan tunjangan, apalagi dirapel tujuh bulan. Bahkan, ada pegawai yang membayar DP (down payment) mobil, sekarang malah bingung nyicilnya, ujarnya.
Sementara itu, salah seorang panitera di Jawa Timur memilih tak menanggapi belum jelasnya besaran tunjangan yang bakal diterima dengan alasan tak etis. Dia mengungkapkan, sekitar Oktober 2007, ada selebaran yang beredar soal rincian besaran tunjangan yang bakal diterima, mulai hakim hingga karyawan pengadilan. Tapi, itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Tiba-tiba ada di meja saya, Bukan atasan yang ngasih, katanya.
MA adalah lembaga kedua setelah Depkeu yang mendapatkan tunjangan khusus. Sedikit berbeda dengan MA, sesuai keputusan menteri keuangan, ada 27 peringkat atau 27 grading, mulai yang terbawah peringkat pertama atau grade 1 hingga yang tertinggi peringkat 27. Tertinggi Rp 49,33 juta dan terendah Rp 2,091 juta.
Lembaga berikutnya yang akan menikmati remunerasi itu adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut perhitungan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), gaji hakim sejak 2001 naik per dua tahun. Persentase kenaikannya pun cenderung konstan, yakni 10 persen. Peningkatan signifikan hanya terjadi saat PP No 8 Tahun 2000 diubah kali pertama oleh PP No 27 Tahun 2001, yakni mencapai 80 persen. Selebihnya, sejak diterbitkannya PP No 12 Tahun 2003, persentase kenaikan gaji hakim konstan di angka 10 persen. Tunjangan hakim naik pada 2001 melalui Keppres Nomor 89 Tahun 2001 tentang Tunjangan Hakim yang menggantikan Keppres No 19 Tahun 2000. (ein/nue/tof)
Sumber: Jawa Pos, 17 Maret 2008