Tunjangan Naik, DPR Nodai Hati Rakyat
Jakarta, antikorupsi.org (17/09/2015) – Permintaan kenaikan tunjangan DPR akhirnya dikabulkan oleh pemerintah melalui surat Menteri Keuangan (Menkeu) No S-520.02/2015. Cukup ironis, kenaikan tunjangan yang fantastis justru terjadi di saat angka kemiskinan di Indonesia semakin meninggi. Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar buat kita, di mana komitmen kerakyatan yang seharusnya dimiliki pemerintah dan DPR? Padahal semenjak dilantik, masyarakat tidak pernah merasakan kerja-kerja DPR sesuai dengan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Dikutip dari Koran Tempo, Kamis (17/09/2015) bahwa pada 9 Juli 2015, kementerian keuangan mengesahkan kenaikan tunjangan DPR dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2015. Ada jenis empat tunjangan yaitu tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan, dan bantuan langganan listrik dan telepon.
Tunjangan Kehormatan |
Tunjangan Komunikasi Intensif |
Tunjangan Peningkatan Fungsi Pengawasan |
Bantuan Langganan Listrik dan Telepon |
|
Ketua Badan Komisi |
Rp. 6.69 juta |
Rp. 16.4 juta |
Rp. 5.2 juta |
Rp. 7.7 juta |
Wakil Ketua |
Rp. 6.46 juta |
Rp. 16 juta |
Rp. 4.5 juta |
|
Anggota |
Rp. 5.58 juta |
Rp. 15.55 juta |
Rp. 3.7 jut |
Menurut peneliti di Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, patut dipertanyakan apakah DPR pantas menerima tunjangan dikala tingkat kemiskinan terus meningkat? Jika diperhatikan DPR tidak memperlihatkan kinerja yang signifikan semenjak dilantik. Tentu saja kenaikan tunjangan bagi DPR sangat melukai hati masyarakat.
Pemerintah dan DPR terkesan diam-diam dalam proses penganggaran kenaikan tunjangan DPR ini. Setelah Kemenkeu ketok palu, DPR juga mengusulkan kenaikan gaji Presiden. Hal ini menimbulkan kesan ada proses transaksional antara DPR dan pemerintah, karena sama-sama memiliki peran menggolkan kenaikan tunjangan ini.
Tentunya hal ini tidak sejalan dengan komitmen presiden yang pernah berencana memperbaiki kualitas belanja negara. Bila kita lihat di dalam kebijakan Presiden Joko Widodo disebutkan APBN harus digunakan dengan baik serta dialokasikan secara adil dan merata terutama diprioritaskan untuk sektor pembangunan yang langsung dirasakan oleh rakyat.
Menaikan tunjangan DPR dipastikan akan menambah beban negara. IBC telah menghitung besaran nilai take home pay setiap anggota DPR baik ketua komisi, wakil komisi, dan anggota memiliki besaran sebagai berikut;
Sebelum |
Sesudah |
|
Ketua Komisi |
Rp. 52 juta |
Rp. 60.5 juta |
Wakil Ketua Komisi |
Rp 51,3 juta |
Rp. 59 juta |
Anggota |
Rp.50,2 juta |
Rp. 57 juta |
Data di atas menunjukkan, kenaikan tunjangan untuk anggota DPR sebesar Rp 13,4 persen. Sedangkan untuk wakil komisi tunjangan yang diterima naik sebesar 15,1 persen dan tunjangan untuk ketua komisi naik sebesar Rp 16,4 persen. Jadi setiap anggota DPR mendapatkan kenaikan tunjangan rata-rata Rp 6-8 juta.
Tentu saja kenaikan indeks tunjangan DPR ini akan berdampak besar pada beban negara melalui APBN. Negara harus mengeluarkan dana ekstra dalam anggaran APBN.
Sebelum |
Sesudah |
|
1 bulan |
Rp. 14.48 miliar |
Rp. 18.27 miliar |
1 tahun |
Rp. 173,39 miliar |
Rp. 219.26 miliar |
5 tahun |
Rp. 886.95 miliar |
Rp. 1.1 triliun |
Kenaikan tunjangan ini bukan nilai yang kecil. Menurut perhitungan di atas maka negara terbebani sebesar Rp 26 persen atau Rp 45,87 miliar per tahunnya. Setiap bulannya negara harus mengeluarkan anggaran sebesar RP 18.27 miliar untuk 550 anggota DPR, di luar lima pimpinan yang sudah memiliki budget tertentu. Jumlah tersebut setara anggaran yang bisa dipakai untuk membiayai sekolah gratis bagi 38.227 siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) atau membangun jalan sepanjang 14 km dalam meningkatkan infrastruktur di daerah-daerah.
Tentu saja hal ini menimbulkan pertanyaan atas komitmen kerakyatan yang seharusnya dimiliki Presiden dan DPR. Ke depan dalam pembahasan anggaran seharusnya pemerintah dan DPR harus terbuka kepada rakyat dengan membuka proses-proses setiap proses perencanaan anggaran. Karena kenaikan tunjangan DPR sama saja artinya pemerintah dengan sengaja telah membebani inflasi kepada rakyat. (Ayu-Abid)