Uang dalam Pilkada
Tulisan ini berupaya memperbincangkan fungsi uang dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal) yang akan digelar beberapa bulan lagi di hampir separo daerah Indonesia. Bagian pertama menyoroti fungsi uang dalam pilkadal dan bagian kedua memperbincangkan potensi penyalahgunaan uang (money politics).
Uang Tetap Penting
Aspek penting dalam pilkadal adalah para pemilih bisa secara langsung memilih kepala daerah (gubernur-wakil, bupati-wakil, dan wali kota-wakil) yang diinginkan. Implikasi dari sistem demikian adalah para calon yang lebih banyak dikenal (public figure) dan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakatlah yang akan diuntungkan. Figur-figur ini memiliki peluang besar terpilih.
Meski demikian, bukan berarti orang yang terkenal di daerah bisa begitu saja terpilih hanya dengan mengandalkan ketokohannya. Betapapun hebatnya seorang tokoh, kepopulerannya biasanya terbatas pada kelompok tertentu, seperti etnis, agama, partai, dan kategori kelompok lain. Artinya, kepopuleran itu belum tentu mampu melampui ambang minimal dukungan bagi calon untuk terpilih.
Selain itu, mengingat yang memperebutkan jabatan kepala daerah juga beranggapan bahwa dirinya merupakan tokoh, semua akan berlomba-lomba berusaha memperebutkan trust dari masyarakat. Untuk itu, para calon kepala daerah tidak cukup hanya mengandalkan modal sosial dan politik (social and political capital), tetapi juga material, terutama uang.
Dalam masyarakat yang sederhana, uang dalam pemilu, termasuk pilkadal, lebih banyak digunakan dalam memobilisasi dukungan. Misalnya, membayar korlap-korlap dan sewa kendaraan dalam pelaksanaan kampanye. Hal ini bisa terjadi karena dalam masyarakat demikian, model kampanye yang sering dipakai ialah arak-arakan atau pengerahan massa.
Dalam bentuk yang lebih kasar, uang atau materi itu dibagi-bagikan kepada pemilih sebagai alat persuasi untuk memilih. Hal ini, misalnya, terlihat dalam pelaksanaan pilkades (pemilihan kepala desa). Para calon pilkades biasanya membagi-bagikan barang atau uang agar terpilih.
Dalam masyarakat modern, uang itu lebih banyak digunakan untuk biaya iklan, baik melalui media elektronik maupun media massa. Hal ini terjadi karena model kampanye yang dipakai bukan pengerahan massa, tetapi melalui dua media komunikasi itu.
Para calon biasanya berusaha meyakinkan pemilih melalui iklan-iklan. Para calon yang mampu membayar iklan lebih banyak memiliki peluang lebih popular di kalangan pemilih.
Kondisi masyarakat kita memungkinkan penggunaan model kampanye secara campuran. Di kota-kota besar, model kampanye lewat iklan akan bercampur dengan model kampanye pengerahan massa. Sementara itu, di daerah-daerah lebih banyak menggunakan model kampanye pengerahan massa. Tetapi, semuanya tetap membutuhkan biaya besar.
Money Politics
Tetapi, yang jadi masalah adalah bagaimana penggunaan uang itu dilakukan secara adil, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan. UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6/2005 yang mengatur pilkadal memang berusaha mengatur masalah ini, berikut sanksi-sanksi kalau terdapat pelanggaran. Namun, yang lebih banyak diatur adalah mengenai dana kampanye dan upaya membujuk pemilih dengan uang atau barang.
Padahal, penggunaan uang dalam pilkadal tidak hanya berkaitan dengan kampanye dan saat pemilihan. Paling tidak, terdapat tiga proses pilkadal yang berpotensi adanya penyalahgunaan uang.
Pertama adalah tahapan pencalonan. Seperti diketahui, yang berhak mengajukan calon dalam pilkadal adalah partai atau sekumpulan partai yang memiliki 15 persen wakil di DPRD. Atau, partai atau sekumpulan partai yang memiliki suara 15 persen dari total pemilih yang sah.
Mengingat, partai atau sekumpulan partai itu hanya berhak mengajukan satu paket, sedangkan yang menginginkan cukup besar, terdapat potensi penyalahgunaan kekuasaan. Sementara itu, yang dijaring partai bisa saja bukan sekadar kader yang memiliki kualitas terbaik, tetapi orang yang mampu memberikan gizi (baca: uang) terbaik kepada partai atau individu-individu penguasa partai.
Fenomena ini jelas terlihat dari proses penjaringan calon yang dilakukan partai-partai. Tidak jarang para calon diharuskan untuk memberikan kontribusi puluhan, bahkan raturan juta rupiah. Konsekuensinya, hanya calon yang memiliki uang dalam jumlah besar yang bisa dicalonkan.
Kedua, tahapan kampanye. Kalau sebelumnya lebih banyak melibatkan penguasa partai, penyalahgunaan uang dalam proses kedua ini lebih banyak melibatkan massa. Penggunaan uang biasanya terkait upaya penggalangan massa.
Alasan yang sering dipakai adalah untuk membiayai t
ransportasi, uang lelah, dan uang makan. Tetapi, besarnya biaya yang dikeluarkan calon bisa melebihi biaya-biaya demikian dengan harapan para pemilih yang datang pada masa kampanye itu memilihnya saat pilkadal.
Ketiga, tahapan pemungutan suara. Fenomena yang sering muncul adalah serangan fajar. Istilah ini dipakai untuk menyebut proses pembelian para pemilih saat-saat terakhir menjelang pemilihan. Calon yang mampu membayar lebih banyak biasanya memiliki peluang terpilih.(Kacung Marijan, pengajar FISIP Unair, alumnus the Australian National University)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 18 April 2005