Uang Haram Partai Politik
Tudingan mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin bahwa sejumlah politikus, termasuk elite pengurus di bekas partainya, telah menerima uang dari beberapa proyek yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara membuat geger seisi negeri ini. Walau mereka yang dituduh ramai-ramai membantah, keterlibatan politikus dalam kasus korupsi sebenarnya bukanlah hal baru.
Sepanjang 2004-2010, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menangani 43 perkara terkait dengan politikus. Sebanyak 26 perkara menyangkut anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 17 perkara berkaitan dengan anggota dewan perwakilan rakyat daerah.
Pada politikus tersebut ada yang menerima suap, seperti dalam proyek alih fungsi hutan Pantai Air Telang di Kabupaten Banyuasin dan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Ada pula yang terlibat dalam markup tender sarung dan sapi di Departemen Sosial, ataupun pengadaan kapal cepat di Departemen Perhubungan.
Namun korupsi politikus jarang dikaitkan dengan partai politik. Jika dikaitkan pun, tidak ada upaya serius mengungkap aliran uang haram yang masuk ke partai politik. Korupsi yang dilakukan politikus selalu diasumsikan hanya bertujuan memperkaya diri sendiri. Akibatnya, partai selalu lolos dari hukuman dan tidak muncul tekanan untuk membersihkan korupsi.
Padahal korupsi yang melibatkan politikus merupakan bagian dari perburuan rente partai politik. Dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, misalnya, Max Moein mengaku uang yang diterimanya untuk kepentingan pemilihan presiden (http://detiknews.com/read/2010/10/05). Begitu pula Nazaruddin, yang disebut-sebut memberi sumbangan Rp 13 miliar kepada Partai Demokrat. Itu sebabnya, partai politik dengan segala cara akan melindungi kadernya yang terjerat korupsi.
Partai butuh modal besar guna merebut, mempertahankan, atau memperluas kekuasaan. Mereka harus menyediakan uang yang banyak agar memenangi persaingan dalam pemilihan umum, terutama untuk "membeli" dukungan dari rakyat. Sumber yang paling empuk adalah anggaran negara.
Setidaknya ada tiga celah yang biasa digunakan partai untuk mengeruk uang dengan politikus sebagai mesinnya. Pertama, kementerian dan badan usaha milik negara. Caranya dengan menempatkan kader di posisi strategis. Dikuasainya lembaga-lembaga atau badan usaha, terutama yang "basah", merupakan jaminan lancarnya pendanaan bagi partai.
Berbagai program dan kegiatan di kementerian dan BUMN bisa dikapitalisasi untuk kepentingan partai. Apalagi menjelang pemilu, alokasi pos belanja sosial (bantuan sosial) di kementerian biasanya meningkat dan program-programnya digunakan untuk memobilisasi dukungan atau membeli suara (voters buying).
Modus lain yang digunakan adalah membajak anggaran di kementerian atau BUMN. DPR bisa turut menentukan alokasi anggaran untuk kementerian atau daerah hingga satuan terkecil, termasuk menentukan spesifikasi barang dan kegiatan dalam proyek pembangunan serta pengadaan. Karena itu, sangat mudah bagi anggota DPR mengarahkan proyek kepada kelompok tertentu.
Jika dikaitkan dengan latar belakang anggota DPR yang mayoritas pengusaha (44,6 persen), bukan mustahil proyek-proyek akan diarahkan kepada mereka sendiri. Tidak mengherankan apabila Nazaruddin, yang berstatus sebagai anggota DPR sekaligus elite di Partai Demokrat, sangat mudah mendapatkan proyek di kementerian basah, seperti Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan.
Kedua, partai pun menjadikan proyek-proyek untuk daerah sebagai sasaran. Dalam kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah yang dipermasalahkan anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, anggota DPR yang memiliki hak menentukan besaran dan kriteria daerah penerima anggaran, diduga melakukan tender suap. Daerah yang bisa memberi fee besar, yaitu 7-15 persen, akan dipilih untuk menerima proyek.
Selain itu, partai diduga mencari rente dengan "menjual" dukungan dalam seleksi kandidat kepala daerah. Kandidat yang mampu menyetor uang kepada partai, sekalipun berbeda partai, apalagi ideologi, akan mendapat dukungan. Akibatnya, banyak calon kepala daerah, yang merupakan kader atau direkomendasikan oleh pengurus wilayah partai, malah dianulir pengurus pusat.
Celah ketiga ada di DPR. Selain "memainkan" fungsi anggaran, fungsi legislasi dan kewenangan dalam pemilihan pejabat publik kerap digunakan untuk mendapatkan rente. Hilangnya "ayat rokok" dalam Undang-Undang Kesehatan bisa menjadi contoh adanya dugaan praktek transaksi jual-beli ayat dalam penyusunan peraturan.
Adapun kasus suap dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia secara terang-benderang memperlihatkan adanya transaksi dalam penentuan pejabat publik. DPR menggunakan kewenangannya untuk mencari rente dari calon pejabat publik. Mereka membanderol dukungan. Sangat jelas bahwa korupsi yang melibatkan politikus yang kini terus terungkap merupakan bagian dari perilaku korup partai politik. Karena itu, melawan korupsi oleh politikus harus sejalan dengan upaya membersihkan korupsi di tubuh partai politik.
Caranya dengan mulai mengusut aliran uang haram kepada partai politik dan memberi sanksi jika terbukti menerima. Dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan politikus, penelusuran tidak berhenti hanya pada politikus. KPK bisa meminta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Di sisi lain, ketergantungan partai pada uang haram harus dihilangkan. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011, partai semestinya mengandalkan dukungan dana dari iuran anggota dan sumbangan konstituen. Selain sebagai wujud konkret dukungan kepada partai, akan memaksa partai ataupun politikus bertanggung jawab kepada anggota dan konstituennya.
Pengelolaan keuangan partai pun harus dipaksa agar transparan dan akuntabel. Selain secara yuridis diwajibkan oleh Undang-Undang Partai Politik dan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, keterbukaan dapat mencegah penyelewengan serta munculnya para pemodal yang akan membajak partai.
Terakhir, partai yang bebas korupsi tentu tidak akan pernah mentoleransi, apalagi membela, para pengurus dan anggotanya yang terlibat dalam korupsi. Partai yang mandiri, transparan, dan akuntabel tidak bisa dijadikan bunker oleh politikus korup.
Partai butuh modal besar guna merebut, mempertahankan, atau memperluas kekuasaan. Mereka harus menyediakan uang yang banyak agar memenangi persaingan dalam pemilihan umum, terutama untuk "membeli" dukungan dari rakyat. Sumber yang paling empuk adalah anggaran negara.
Ade Irawan, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 9 Agustus 2011