Uang Panas dalam Pemilihan Gubernur
Setelah terjadi tarik-menarik politik yang cukup panjang dan kompleks, akhirnya pemilihan kepala daerah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta hanya akan diikuti oleh dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur.
Keduanya adalah pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar dan Fauzi Bowo-Prijanto. Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang akan dilaksanakan di tempat bercokolnya elite penguasa dan elite bisnis akan sangat kuat tarik-menarik kepentingannya, yang tidak dapat terlepas dari peran uang. Kondisi ini seakan menjadi dilematis dengan kondisi pemilih Jakarta yang lebih independen dan mudah memberikan sanksi politik. Maraknya praktek dagang sapi yang terungkap dari para mantan kandidat calon wakil gubernur adalah indikasi kuat adanya peredaran uang panas. Hal ini, jika tidak segera dibereskan, akan menjadi preseden buruk bagi pemilih DKI dan akan memunculkan politik biaya tinggi untuk memenangi dukungan pemilih.
Belajar dari pemilihan kepala daerah di daerah lain, beredarnya uang sering kali terjadi pada beberapa tahapan penting. Pada tahapan pencalonan kandidat oleh partai politik, transaksi terjadi antara elite partai atau broker politik dan calon kandidat yang ingin mendapatkan tiket atau perahu dari parpol. Edaran uang juga marak pada saat verifikasi syarat pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum daerah. Transaksi ini terjadi antara pihak-pihak yang menyediakan syarat-syarat, seperti syarat pendidikan serta kesehatan, dan pihak yang mengesahkan lengkapnya persyaratan, dalam hal ini KPUD. Edaran uang juga kerap terjadi pada saat kampanye untuk mengumpulkan orang dan membeli dukungan dari pemilih.
Maraknya peredaran uang pada saat rekrutmen calon kandidat pemilihan kepal daerah disebabkan oleh dua hal. Pertama, sistem rekrutmen kandidat pasangan calon yang akan bersaing dalam pemilihan kepala daerah harus berdasarkan restu parpol. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur hanya parpol atau gabungan parpol yang memiliki jumlah kursi atau perolehan suara pemilu minimum 15 persen yang dapat mengusulkan pasangan calon. Determinasi parpol dalam penentuan kandidat akan sangat dipengaruhi oleh mekanisme internal parpol dalam penentuan kriteria calon yang dipandang layak didukung. Kedua, politik dagang sapi juga dapat dipicu oleh para calon kandidat yang ingin menempuh jalan pintas dengan membayar para pembuat keputusan di masing-masing parpol. Kedua hal ini dapat memunculkan korupsi pemilu dan dapat terjerat dengan sanksi sesuai dengan UU Parpol dan UU Pemerintahan Daerah.
Proses rekrutmen
Fakta ketiadaan sistem rekrutmen yang transparan dan demokratis menyebabkan proses ini lebih banyak dipengaruhi oleh elite parpol dan broker politik. Uang kemudian menjadi faktor yang dominan dalam penentuan calon dengan berbagai alasan. Semestinya setiap parpol mengumumkan kriteria yang jelas soal bakal kandidat yang dipilih dan dapat diakses oleh media yang populer, terutama di kalangan konstituen parpol. Ketiadaan mekanisme kontrol publik yang memadai terhadap proses rekrutmen menyebabkan munculnya kecurigaan bahwa uanglah yang mengambil peran terbesar atas terpilihnya para kandidat.
Memang proses ini membutuhkan uang, terutama untuk menjalani mekanisme konvensi internal parpol. Tapi yang mengherankan dari pemilihan kepala daerah DKI adalah adanya testimoni dari para kandidat bahwa beberapa orang yang dekat dengan elite parpol telah meminta sejumlah uang untuk mendapatkan tiket. Di antaranya Mayor Jenderal (Purnawirawan) Slamet Kirbiyantoro yang mengaku memberikan Rp 1,5 miliar kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Mayjen (Purn) Djasri Marin yang mengaku memberikan Rp 2 miliar kepada PDIP serta Partai Persatuan Pembangunan. Testimoni dari para mantan bakal calon wakil gubernur ini menunjukkan absennya kejelasan sistem rekrutmen, bahkan kepada para bakal calon sendiri. Soal untuk apa uang sebesar itu dan siapa yang nantinya akan membelanjakannya menjadi gelap.
Fakta ini juga menunjukkan bahwa secara tidak langsung dominasi parpol dalam pencalonan kandidat telah memunculkan pasar gelap yang tidak hanya akan merusak kredibilitas para pasangan calon di mata pemilih, juga kualitas pemilihan kepala daerah DKI nantinya. Pemilihan langsung yang menghendaki semakin besarnya kedaulatan pemilih dan meminimalisasi peran parpol yang masih oligarkis justru terganjal oleh dominasi parpol.
Politik biaya tinggi
Hal ini akan menjadi bumerang di kemudian hari, terutama bagi pasangan calon, karena karakter pemilih Jakarta--belajar dari Pemilu 1999 dan 2004--yang mampu memberikan sanksi politik. Angka pemilih yang tidak memilih atau dikategorikan golongan putih (golput) yang cukup besar, di atas angka 20 persen dan dengan mudahnya terjadi perubahan preferensi dari 1999 yang dimenangi PDIP dan 2004 yang dimenangi Partai Keadilan Sejahtera, harus menjadi pelajaran berharga. Maraknya praktek dagang sapi yang terungkap pada saat pencalonan kandidat akan sangat mempengaruhi psikologi pemilih Jakarta. Jika pemilih memiliki persepsi yang buruk terhadap pasangan calon yang melakukan dagang sapi, angka golput akan semakin tinggi, bahkan dapat lebih tinggi daripada Pemilu 2004 karena ketiadaan pilihan alternatif.
Hal ini juga akan sangat terasa bagi tim kampanye dalam mempengaruhi pemilih. Ketiadaan alternatif dalam pemilihan kepala daerah akan menimbulkan apatisme, permisivisme, bahkan anarkisme. Dengan dilandasi sikap ini dan dengan karakter pemilih perkotaan yang lebih mandiri serta independen, pemilihan kepala daerah DKI akan memunculkan politik biaya tinggi (high cost politics). Tim kampanye dan pasangan calon harus berupaya mati-matian mengubah citra yang tercoreng dengan kampanye besar-besaran.
Di tempat-tempat yang tingkat apatismenya tinggi, permainan uang akan sangat mungkin terjadi dan tidak terelakkan. Tingkat permisivitas yang tinggi juga akan memunculkan sikap tidak mendukung satu kandidat pun, dengan tetap mau terlibat dalam prosesi kampanye--dengan cukup menerima uang atau aksesori pasangan calon--tapi tanpa jaminan akan memilih. Hal yang paling ekstrem adalah kemungkinan terjadinya anarkisme jika warga justru merasa terganggu dengan kemeriahan pemilihan kepala daerah yang bagi dirinya tidak memiliki harapan lagi. Hal ini harus diwaspadai karena dapat memunculkan anarkisme massa dalam bentuk perusakan atribut kampanye atau bahkan merusak fasilitas umum yang digunakan untuk kepentingan kampanye.
Ibrahim Fahmy Badoh, KOORDINATOR DIVISI KORUPSI POLITIK INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan sini disalin dari Koran Tempo, 21 Juni 2007