Uang Sekolah Disebar ke Pejabat
Tingginya biaya pendidikan terjadi karena korupsi sudah sedemikian menggurita. Sekolah berupaya menghimpun dana dari orangtua siswa untuk membiayai sistem yang korup.
Ketua Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) Handaru Sudjatmiko mengungkapkan kasus dugaan gratifikasi di SMAN RSBI 1 Tambun Selatan, Bekasi, terhadap sejumlah pejabat Dinas Pendidikan. Handaru memperlihatkan bukti kwitansi pembayaran "uang transport" senilai rata-rata Rp 500 ribu hingga Rp 2 juta yang dibagikan kepada pejabat. Terdapat juga kwitansi pemberian sumbangan dari sekolah kepada Dinas Pendidikan senilai Rp 2 juta. Selain itu, ada kwitansi yang menerangkan sekolah membayar Rp 15 juta sebagai dana sharing untuk mendapatkan dana bantuan APBD sebesar Rp 3 miliar.
Dana-dana sumbangan ini, menurut Handaru, diduga dilakukan untuk mengegolkan proyek pembangunan laboratorium yang sedang dilakukan sekolah tersebut. "Agar dana proyek segera turun, sekolah harus menyogok ke atas," kata Handaru dalam jumpa pers bersama Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP) di kantor ICW, Jakarta, Selasa (12/7/2011).
Sumbangan ini tak tertera dalam dokumen Rencana Anggaran Belanja Sekolah tahun 2010/2011. Artinya, sekolah telah melakukan misalokasi anggaran. Dana yang dihimpun dari orangtua siswa tidak digunakan untuk kepentingan pendidikan, tapi disinyalir digunakan untuk melakukan penyuapan. "Untuk menutupi praktik itu, sekolah bersama Dinas Pendidikan sengaja tidak berupaya melakukan transparansi pengelolaan anggaran," kata Handaru.
Korupsi di sektor pendidikan terjadi karena tidak ada mekanisme kontrol dari masyarakat. Komite sekolah dan orangtua siswa tidak diberi akses untuk turut mengawasi pengelolaan dana sekolah.
Mantan ketua Komite Sekolah SMAN 70 Jakarta, Musni Umar, megatakan, dirinya dilengserkan dari posisi ketua komite karena bersikap kritis terhadap pengelolaan dana yang dihimpun dari orangtua siswa. Sebagai sekolah RSBI, SMAN 70 memungut iuran hingga Rp 15 miliar setiap tahun. "Namun tidak ada laporan pertanggung jawaban," kata Musni.
Melihat ada kejanggalan, Musni meminta Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit investigatif. Hasilnya, BPKP menemukan adanya aliran dana senilai Rp 1,2 miliar yang masuk ke rekening liar. Kasus ini kini telah ditangani Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Kejadian serupa terjadi di SMPN 1 Cikini dan SDN RSBI 12 Rawamangun Jakarta. Komite Sekolah dan orangtua siswa tidak berhasil mendapatkan informasi pengelolaan dana pendidikan dari pemerintah dan iuran orangtua siswa.
Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW Febri Hendri mengatakan, korupsi dan gratifikasi yang terjadi di sekolah bukan lagi terjadi dalam bentuk korupsi kecil karena desakan kebutuhan. Lebih dari itu, korupsi terjadi secara masif dan sistematis. "Sekarang kecenderungannya sogokan dari bawah ke atas. Sekolah menyetor ke atas untuk mengegolkan proyek. Selain itu, untuk menyenangkan hati pejabat dan menjaga hubungan baik," kata Febri.
Korupsi di sekolah hanya bisa dilawan dengan transparansi sistem pengelolaan anggaran, mulai dari perencanaan, pengawasan dalam pelaksanaan, hingga laporan pertanggungjawaban. "Untuk menjamin transparansi, perencanaan APBS harus dilakukan secara partisipatif, diawasi bersama-sama," pungkas Febri. Farodlilah