Uang Untuk Gayus; Babak Baru Mafia Pajak?
Dugaan kasus mafia pajak yang ”diledakkan” mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Susno Duadji terus bergulir. Dugaan kasus itu disampaikan Susno kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum pada 18 Maret 2010 (Kompas, 19/3).
Menjelang akhir 2010, kasus yang diungkap Susno itu telah menyeret sejumlah aparat penegak hukum ke meja hijau, dari anggota polisi, hakim, hingga advokat yang diduga menerima suap dari Gayus HP Tambunan. Tahun 2011, kasus yang diungkap Susno itu pun kemungkinan akan terus bergulir, bagaikan bola api.
Mengapa? Saat ini penyidik kepolisian baru menjerat para tersangka dalam kasus mafia hukum. Para tersangka itu—beberapa tersangka dalam proses peradilan atau sudah divonis—diduga menerima suap dari bekas aparat pajak Gayus Tambunan.
Akan tetapi, siapa yang diduga menyuap Gayus sama sekali belum terungkap oleh penegak hukum. Pengungkapan asal-usul uang Gayus masih menjadi teka-teki saat ini.
Bagaimana pengusutan asal-usul uang Gayus sebesar Rp 25 miliar, termasuk Rp 74 miliar yang tersimpan dalam safe deposit box? Pengusutan asal-usul uang itu masih menjadi perkara yang ”gelap gulita” dan misteri. Jika ditotal, uang yang dimiliki Gayus sekitar Rp 100 miliar.
Pengusutan asal-usul uang Gayus itu sebenarnya sudah masuk ke ranah kejahatan atau manipulasi pajak. Singkatnya, mafia pajak.
Pengusutan asal-usul uang Gayus itu memang ibarat ”memainkan” bola api karena dapat membuat ”panas” telinga pihak-pihak yang diduga memberikan suap kepada Gayus. Gayus sendiri sempat menyebutkan pihak-pihak yang diduga memberikan uang kepada dirinya dalam persidangan.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terdakwa perkara tindak pidana korupsi, Gayus Tambunan, mengaku menerima 3,5 juta dollar AS (setara Rp 35 miliar) dari tiga perusahaan Keluarga Aburizal Bakrie yaitu PT Kaltim Prima Coal Tbk, PT Arutmin Tbk, dan PT Bumi Resources Tbk. Uang itu sebagai imbalan atas jasa Gayus membantu mengurus administrasi pajak ketiga perusahaan itu.
Terkait pengakuan Gayus itu, Lalu Mara Satriawangsa, juru bicara keluarga Aburizal Bakrie, membantah. ”Sejak awal tidak ada satu pun bukti konkret hubungan Gayus dengan berbagai pihak yang disebutnya. Siapa pun yang menuduh harus bisa membuktikan,” ujarnya (Kompas, 9/12).
Jika asal-usul uang dari tiga perusahaan yang diakui Gayus saat ini hanya Rp 35 juta dollar AS atau setara Rp 35 miliar, yang menjadi pertanyaan juga adalah dari mana asal-usul uang Gayus yang lain, yaitu sebesar Rp 65 miliar?
Jumlah uang sekitar Rp 100 miliar yang dimiliki Gayus sebenarnya bukan nilai yang kecil bagi pegawai negeri sipil setingkat Gayus. Dengan asumsi gaji Rp 10 juta per bulan dan gaji ditabung secara utuh tiap bulan, diperlukan waktu 10.000 bulan untuk mengumpulkan uang sebesar Rp 100 miliar.
Pertanyaan ”nakal” adalah apakah hanya Gayus yang diduga menerima suap dari wajib pajak? Atau, masih berapa banyak aparat pajak yang diduga menerima suap dari wajib pajak.
Oleh karena itu, pengusutan asal-usul uang Gayus menjadi kasus yang sangat menarik. Menarik karena tidak hanya terkait dengan teknis yuridis pembuktian dugaan penyuapan terhadap Gayus, tetapi juga terkait dengan berbagai kepentingan, baik bisnis maupun politis.
149 Perusahaan
Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana mengungkapkan, dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), terdapat 149 perusahaan yang berurusan dengan Gayus.
Akan tetapi, Ketua PPATK Yunus Husein mengungkapkan, angka 149 perusahaan yang berurusan dengan Gayus itu bukan berasal dari PPATK. PPATK memang menemukan beberapa perusahaan yang berurusan atau berkaitan dengan Gayus. Namun, ia tak menyebutkan jumlah perusahaan yang berurusan dengan Gayus itu.
Perusahaan-perusahaan yang disebut-sebut pernah berurusan dengan Gayus itu memang tidak dapat digeneralisasi seakan-akan atau diduga memberikan suap kepada Gayus. Namun, fokus pengusutan terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga memberikan suap kepada Gayus seperti yang diakui Gayus sendiri juga kurang adil.
Oleh karena itu, pengusutan atau pengungkapan asal-usul uang Gayus yang diduga berasal dari wajib pajak secara profesional, proporsional, dan transparan, menjadi sangat penting. Dengan demikian, kasus dan perkara menjadi terang benderang.
Selain itu, praktik manipulasi pajak yang membuat negara dirugikan dapat dicegah. Perusahaan-perusahaan besar yang diduga memanipulasi pajak pun dapat dikenai sanksi.
Lalu, apakah penegak hukum dapat mengungkap asal-usul uang Gayus yang diduga berasal dari wajib pajak itu? Tidak ada satu ahli hukum pun yang dapat menjamin.
Beberapa kalangan mengusulkan agar penanganan dugaan kasus mafia pajak, khususnya terkait dengan pengungkapan asal-usul uang yang diduga diterima Gayus, diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Akan tetapi, usulan itu mental. Dalam gelar perkara koordinatif antara KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, Polri, dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, disepakati dugaan kasus mafia pajak itu tetap ditangani penyidik Polri.
Meskipun demikian, Polri tetap akan bersinergi dengan penegak hukum lain, seperti KPK, Kejaksaan, termasuk PPATK, untuk menuntaskan penanganan dugaan kasus mafia pajak itu.
Beberapa kalangan pun meragukan kemampuan penyidik Polri dapat mengungkap atau menuntaskan asal-usul uang Gayus. Johnson Panjaitan dari Indonesia Police Watch (IPW) menilai polisi tidak akan mampu menangani dugaan kasus mafia pajak.
Sejak awal, Johnson menilai pihak kepolisian sudah melokalisasi pengungkapan dugaan kasus mafia hukum dan mafia pajak yang diduga melibatkan Gayus. Hal itu terlihat dari para tersangka yang diproses dan diajukan ke persidangan.
Komitmen Polri
Terkait dengan penilaian terhadap kinerja kepolisian dalam menangani dugaan kasus mafia pajak itu, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengungkapkan, orang dapat saja berpendapat karena kebebasan berpendapat dilindungi undang-undang.
Akan tetapi, menurut Boy Rafli, Polri tetap berkomitmen dan konsisten menangani dugaan kasus mafia pajak. Dalam menangani dugaan kasus mafia pajak itu, Polri tetap berpegang pada pembuktian dengan alat bukti.
Penyidik Polri, lanjut Boy, tidak dapat berpegang pada pengakuan seseorang, seperti Gayus. Oleh karena itu, penyidik Polri tetap berupaya mencari alat bukti untuk dapat menentukan orang yang dapat dipersangkakan melakukan suatu tindak pidana.
Hal yang sama diungkapkan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Ito mengilustrasikan, jika si F memberikan suap kepada I, apakah polisi dapat memeriksa F sebagai tersangka kalau tidak ada alat bukti.
Masalah pembuktian memang sudah masuk ke ranah penyidikan dan teknis yuridis. Namun, publik tentu tetap mempertanyakan dari mana asal-usul uang Gayus Tambunan?
Di sinilah pertaruhan pemimpin institusi penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan Agung, maupun KPK. Apakah kepemimpinan baru dari tiga institusi penegak hukum itu mampu membuat terang benderang asal-usul uang Gayus.
Jika tidak mampu, kemungkinan publik memiliki penilaian, interpretasi, dan spekulasi sendiri terhadap penanganan kasus mafia pajak. Atau, dari segi alat bukti, seperti bukti transfer uang miliaran rupiah, memang benar-benar sulit ditemukan penyidik.
Jika tidak ada alat bukti, itu berarti, dugaan praktik penyuapan di negeri ini menggunakan metode yang jauh lebih ”canggih” daripada transaksi di dunia perbankan modern, yaitu metode cash-and-carry, yaitu ”menerima uang dan barang di tempat”, tanpa jasa pengiriman. [Simon Ferry]
Sumber: Kompas, 20 Desember 2010