Ubah Bentuk Tak Solutif
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (17/4). Terkait rencana pembangunan gedung baru, pimpinan DPR khawatir dituduh melakukan tindak pidana korupsi jika rencana pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,138 triliun dibatalkan. Hal itu terkait pertanggungjawaban dana sekitar Rp 9 miliar yang sudah dikeluarkan dalam persiapan.
jakarta, kompas - Mengubah bentuk gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat dinilai bukan jalan keluar agar masyarakat bisa menerima rencana tersebut. Keinginan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membangun gedung baru sebaiknya dihentikan sampai masyarakat memperoleh kembali kepercayaan terhadap wakilnya tersebut.
Penolakan masif masyarakat membuat Ketua DPR Marzuki Alie mempertimbangkan kemungkinan gedung baru menyerupai kantor DPR sekarang di Kompleks Gedung Nusantara I (Kompas, 16/4). Namun, menurut Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Sebastian Salang, masyarakat sudah cenderung menolak apa pun rencana DPR membangun gedung baru.
”Kalau dari awal membuat konsep yang jelas dan menyampaikan alasannya masuk akal, mungkin publik juga memahami. Tapi ketika mereka ngotot mempertahankan membangun gedung baru, publik mencurigai ada sesuatu di balik ini,” kata Sebastian dalam diskusi bertajuk ”DPR, Gedung Baru dan Ulat Bulu” di Jakarta, Sabtu (16/4).
Menurut Sebastian, jika awalnya disampaikan konsep gedung yang sederhana dan tak membutuhkan anggaran triliunan rupiah, mungkin saja masyarakat masih bisa menerima.
”Jangan lupa DPD (Dewan Perwakilan Daerah) membangun gedung satu provinsi anggarannya Rp 30 miliar-Rp 40 miliar. Bayangkan berapa yang dihabiskan untuk 33 provinsi. Jadi yang kita tolak sebenarnya perilaku dari elite yang di legislatif yang gemar menghamburkan anggaran untuk sesuatu yang supermewah,” katanya.
Keinginan mengubah bentuk gedung baru menjadi lebih sederhana dan berbiaya lebih murah dari rencana awal juga dianggap terlambat. ”DPR sudah hancur di mata publik. Kalau mau, stop dulu, buat perencanaan matang, lebih sederhana dan perencanaan jangka panjang. Kalau sekarang semua masyarakat sudah marah,” ujarnya.
Cenderung bebal
Psikolog politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan, perilaku DPR yang cenderung bebal dan tak mau mendengarkan kritik publik seperti tercermin dalam kengototan membangun gedung baru lahir karena masyarakat juga tak menghukum mereka.
”Di Indonesia konstituen tidak mengerti siapa yang mereka pilih sehingga mereka juga tak bisa menghukum untuk tidak memilih lagi anggota DPR yang kelakuannya seperti itu,” katanya.
Pembicara lain, sosiolog dari Universitas Sriwijaya, Alfitri, mengatakan, anggota DPR sekarang cenderung seperti aktor drama. Mereka bisa setiap waktu memainkan peran yang bagus di mata publik demi menarik perhatian dari kelakuan yang sebenarnya tak pernah prorakyat.
Senada dengan Alfitri, Sebastian mengatakan, yang bermain drama tak hanya DPR, tetapi juga eksekutif. ”Bagaimana mungkin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengatakan tak setuju, tetapi Marzuki Alie yang satu perahu dengannya malah ngotot membangun,” ujarnya. (BIL)
Sumber: Kompas, 18 April 2011