Uji Nyali Memberantas Korupsi
Mulutmu adalah harimaumu! Itulah pepatah bijak yang menyadarkan kita untuk berhati-hati dalam berbicara. Konflik antara DPR dan Kejaksaan Agung (17/2/2005) membenarkan pepatah bijak itu.
Pernyataan Anhar, anggota Komisi II dari F-PBR, yang mengiaskan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sebagai ustadz di kampung maling dan reaksi dari yang bersangkutan dan jajarannya serta kinerja Kejaksaan masih menyisakan persoalan panjang di kalangan elite politik dan kekuasaan Republik ini.
Di balik konflik itu, pada mulanya adalah korupsi. Ia ada bersama-sama dengan kekuasaan. Dan, pemegang kekuasaan cenderung bertindak korup. Power tends to corrupt. Segala sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi busuk oleh virus korupsi. Demokrasi menjadi rapuh. Keadilan dikerdilkan. Etika dinafikan! Namun, bila lembaga yang mestinya bersih dan akuntabel sekelas Kejaksaan Agung pun sudah dikiaskan sebagai kampung maling, bagaimana proses pemberantasan korup- si bisa tuntas dan adil?
Adegan memalukan antara anggota legislatif versus yudikatif sebagaimana tergambar dalam perang mulut, main gebrak, dan sumpah serapah dalam raker DPR-Kejagung, secara nyata memanifestasikan betapa virus korupsi telah mengaburkan kearifan para pejabat Republik ini. Peristiwa itu menegaskan, korupsi bukan lagi sekadar mencuri uang negara demi memperkaya diri, tetapi tipu daya dan kerakusan yang merebak ke segala aspek kehidupan.
Benar yang disampaikan Rachland Nashidik, Direktur Eksekutif Imparsial, bukan lagi rahasia bahwa kejaksaan adalah institusi hukum yang sejak lama dikotori praktik korupsi, yang seharusnya diperangi. Di lain pihak, DPR pun populer sebagai kandang politisi busuk yang menggunakan mandat elektoralnya untuk mengeruk kekayaan pribadi (Kompas, 22/2/2005).
MAKA, akar persoalan dari pertikaian itu tidak lain virus korupsi yang sudah amat parah di negeri ini. Kita tak lagi tahu siapa yang bersih siapa yang kotor, siapa maling, siapa bukan maling!
Bahwa Anhar, menyebut Jaksa Agung Abdul Rahman seperti seorang ustadz di kampung maling, pernyataan itu bukan sekadar slip of the tongue alias keseleo omong! Pernyataan itu merupakan buah kesadaran! Meminjam bahasa J