Ujian Nasional Hambat Terwujudnya Pendidikan Yang Berkualitas dan Berkeadilan
Aktivis pendidikan dan organisasi pendidikan berkumpul di ICW, siang ini, 17 April 2011 pukul 13, untuk mengkritisi tetap dijalankannya Ujian Nasional oleh pemerintah. Mereka membuat pernyataan bahwa Ujian Nasional (UN) telah menghambat terwujudnya Pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di Indonesia.
Sejumlah aktivis pendidikan antara lain Lody Paat, Jimy Paat, Retno Listyarti, Jumono, Bambang Wisudo, Utomo Dananjaya, Febri Hendri, dan organisasi pendidikan seperti Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Koalisi Pendidikan, STB, KKPT, Institute for Education Reform (IER) Univ. Paramadina, Aliansi Orangtua Murid (APPI), dan ICW.
Menurut para aktivis pendidikan ini, UN memiliki banyak sekali kelemahan dan tidak perlu dilanjutkan lagi. Utomo Dananjaya (IER Paramadina) : “UN yang diselenggarakan pemerintah tidak memiliki dasar hukum kuat. Lihat saja Pasal 58 ayat 1 UU sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa Evaluasi hasil belajar peserta didik,bukan penilaian akhir penyelesaian jenjang pendidikan. ini menggambarkan bahwa kebijakan Un tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung (melanggar Hak Asasi Anak. Fenomena istigasah yang dilakukan hampir seluruh sekolah di Indonesia menunjukan bahwa kondisi kejiwaan kepala sekolah, guru-guru & murid merasa terancam ketekutan oleh kegagalan UN yg akan di laksanakan. ”.
Selain itu, Lody Paat menyatakan bahwa UN tidak memiliki korelasi atas peningkatan prestasi belajar siswa apalagi mutu pendidikan. “Asumsi pemerintah yang menyatakan bahwa UN akan mendorong siswa dan guru bekerja lebih giat sehingga berprestasi lebih baik sungguh tidak bisa diterima. Apakah betul ada korelasi positif antara pemberlakuan ujian yang distandardkan secara nasional dengan prestasi siswa? Sebuah studi yang dilakukan Sharon L. Nicols, Gene V. Glass, dan David C. Berliner terhadap data tes NAEP (the National Assessment of Educational Progress) di 25 negara bagian di Amerika Serikat (Techniques, 2006) justru menyangkal premis tersebut, sebab hasil studi tersebut tidak menemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa tekanan ujian yang dipakai untuk mengukur keberhasilan siswa dan sekolah benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa. Artinya, ujian nasional bukanlah faktor penting yang secara signifikan mampu mendorong siswa untuk berprestasi”, urai Lody Paat yang merupakan Koordinator Koalisi Pendidikan.
Menurut Retno Listyarti (Ketua FMGJ), “penyelenggaraan UN beberapa tahun ini justru makin menunjukkan bahwa Pemerintah hanya mencemaskan tetang kejujuran dari para kepala sekolah, guru dan murid---bukan mencemaskan kualitas--- di buktikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) melibatkan polisi sebagai pengawas dan para pejabat tinggi serta dinas pendidikan wilayah menanda tangani akta kejujuran. Bahkan tahun ini dibuat lima jenis soal untuk satu mata pelajaran yang di UN-kan, mungkin hal ini untuk menghindari bocornya jawaban. Juga begitu rahasianya surat tugas pengawas silang untuk guru, guru baru mengetahui ditempatkan mengawas di suatu sekolah 1 hari menjelang hari pengarahan pengawas di sekolah tempatnya mengawas, itupun belum menerima surat tugas. Surat tugasnya baru bisa diambil di sekolah tempatnya bertugasmengawas”.
Sikap Pemerintah yang selalu mencurigai sekolah dan guru serta berbagai kasus kecurangan UN yang mencuat selama ini adalah dampak ketika UN dijadikan penentu kelulusan. Berbagai kasus kecurangan UN yang terjadi selama ini di sebabkan oleh:
- Penekanan yang berlebihan pada hasil, dan bukan pada proses belajar. Akibatnya, hasil menjadi tujuan utama. Ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses, segala cara pun dihalalkan demi memperoleh nilai tinggi. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang seperti itu melalui ujian nasional. Di satu sisi, ujian nasional seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan siswa tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka.
- Hasil ujian nasional berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah, termasuk di dalamnya kepala sekolah dan para guru, di mata masyarakat umum. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhan, segala cara untuk mempertahankannya seolah-olah sah untuk dilakukan.
- Masyarakat terlanjur beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat kelulusan siswa di sebuah sekolah semakin baik sekolah tersebut. Jika tingkat ketidaklulusan sebuah sekolah tinggi, jatuhlah reputasi sekolah tersebut. Masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena pandangan mereka itu, sebab pemerintah sendiri secara tidak langsung menanamkan cara pandang itu ke dalam benak masyarakat.
- Bahwa perubahan formula penentuan kelulusan dalam kebijakan UN masih bersifat permukaan dan tidak menyentuh persoalan inti, khususnya berkaitan kecurangan yang bersifat masif dan sistematis dalam pelaksanaan UN. Bahkan saat ini, ketika UN belum dilaksanakan laporan kecurangan telah muncul di berbagai daerah berupa mark-up/manipulasi/cuci raport atau nilai raport akibat kekhawatiran sekolah terhadap kemungkinan ketidaklulusan siswanya jika nilai UN jatuh. Ini merupakan praktek buruk dan merusak pola pikir dan moralitas dalam pendidikan yang menjauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Para pemerhati dan penggiat pendidikan sepakat bahwa berbagai persoalan akhirnya muncul akibat tetap dipaksanakannya penyelenggaraan UN oleh pemerintah, mulai dari pengabaian produk hukum yaitu Putusan Mahkamah Agung (MA), aspek pemborosan biaya hingga lebih dari Rp 500 miliar, ditambah kecenderungan degradasi moral akibat praktik kecurangan UN. Untuk itu, para aktivis pendidikan tersebut menyerukan:
- Pemerintah harus menghentikan pelaksanaan Ujian Nasional yang distandarkan tahun depan. Karena ujian yang distandardkan hanya menghasilkan siswa dan guru paranoid yang takut dan cemas menghadapi ujian. Ujian yang distandardkan menghasilkan siswa yang giat belajar atau guru yang giat mengajar semata-mata demi nilai. Kecurangan-kecurangan yang terjadi di beberapa daerah selama pelaksanaan UN juga menjadi indikasi bahwa ujian yang distandardkan dan tersentralisasi telah menyebabkan siswa dan guru melupakan tujuan hakiki pendidikan. Pendidikan telah diperlakukan tak ubahnya seperti kegiatan mekanis untuk mencapai tujuan jangka pendek. Bukankah pendidikan semestinya diarahkan untuk mewujudkan cita-cita idealnya, yakni menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang secara intelektual, emosional, dan sosial, sebagaimana diamanatkan undang-undang, dan bukan semata-mata demi skor UN?
- DPR RI khusunya Komisi X harus menghentikan anggaran UN dan mengakomodir masukan banyak pihak untuk mencari alternatif lain dari UN yang distandarkan. Oleh karena itu, perlu ada diskusi dan perdebatan yang panjang dan mendalam untuk mencari alternatif UN dan semua bentuk testing yang merugikan perkembangan anak menjadi manusia yang cerdas dan utuh. Tentu saja dengan melibatkan para guru, pakar pendidikan dan stakeholder yang lain. Birokrasi dan politisi tinggal menerima saja hasil dialog tersebut dalam membuat kebijakan politik tentang pengujian.
- Para Guru di seluruh Indonesia harus menolak segala perintah dan ajakan untuk melakukan kecurangan UN, jangan kita mempertontonkan ketidakjujuran pada anak didik kita, jangan budayakan ketidkajujuran pada generasi muda, kita harus menamakan keberanian, mau bekerja keras dan sikap anti korupsi pada penerus bangsa agar kelak budaya korupsi dapat kita hilangkan di negeri ini. Para guru harus berani melawan kecurangan UN, FSGI dan LBH Jakarta siap memback-up jika para guru mendapat tekanan ketika menolak berbuat curang.
Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), KKPT, Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, ICW, STB, dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), APPI (Aliansi Orang Tua Murid Peduli).
CP: 081389890613 (Retno); Febri (087877681261),Utomo (0811815322),